Satu satunya yang tidak saya suka adalah berdebat. Mengapa ? acap kali saya dan lawan bicara saya akan seperti dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya. Lantas apa tujuan sebuah perdebatan? Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? ”Kalah pintar” tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai. Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.
Saya malas berdebat. Kecuali saya hanya ingin menulis secara literal dengan menjawab berbagai issue dalam keseharian, yang siap dibantah orang dan bahkan dicuekin orang. Kalaupun saya membantah, saya tak bermaksud untuk mengalahkan orang, apalagi mempermalukannya. Saya hanya ingin menggugah orang untuk berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya dan menjadi lebih bijaksana sedikit. Mengapa ? Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang ”rasional” akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan debat di sosmed dan kritis tidak dengan sendirinya akan membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat. Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan pendirian.
Orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula, dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas berbeda, mereka akan makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap, juga bagi diri sendiri, dalam kalimat. Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya lebih sederhana bahwa percakapan di sosial media punya momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh jadi bagian dari keramahan. Kadang lucu bila kebencian dan kecintaan kepada penulis hadir silih berganti hanya karena persepsi atas tulisan yang berbeda. Mungkin saya pahami tulisan saya dengan baik namun saya tidak jamin orang lain yang membacanya akan menerima baik.
Karenanya saya berusaha dalam setiap postingan menghindari munculnya perdebatan yang bisa memancing emosi. Atau kalau issue yang sensitif dan sulit dipahami saya sampaikan lewat kisah fiksi untuk saya bebas dan mudah dipahami orang lain tanpa ada kesan menggurui. Tentu berbeda dengan sebagian penulis facebook yang sengaja memancing emosi agar lebih banyak like dan komen sehingga viral. Sama halnya dengan acara ILC, yang lebih cenderung mengangkat issue yang mudah menimbulkan perdebatan dan memang itu tujuannya agar bisa menghibur orang banyak. Tidak mengherankan bila televisi dan sosial media mengambil peran besar dalam debat politik. Creator acara hanya menginginkan sesuatu untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan pertandingan gladiator.
Suka atau tidak suka, Politik telah jadi sebuah tempat bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi, dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial, pendangkalan itu makin tak terelakkan apalagi ada sosial media yang murah meria sebagai ajang kampanye.
Saya malas berdebat karena menguras emosi apalagi atas dasar kebencian dan ketidak sukaan satu sama lain untuk dipertontonkan dihadapan orang banyak. Apapun itu, namanya ya bertengkar dan itu buruk. lebih baik saya hindari. Mengapa ? Didunia ini tidak ada yang lebih penting kecuali bagaimana hidup bisa bahagia. Menjauhi bertengkar atau debat kosong adalah pilihan smart untuk meraih bahagia dengan cara mudah dan tentu murah. Ini soal pilihan.
No comments:
Post a Comment