Mereka menembak mati Monginsidi di Pacinang, Makassar, tanggal 5 September 1949.Ada yang mencatat bahwa beberapa menit sebelum dieksekusi, pemimpin gerilya yang ditakuti tentara pendudukan Belanda itu memberi maaf kepada regu serdadu yang bertugas menghabisi nyawanya. Mungkin saat itu ia menukil Injil Lukas yang merekam apa yang dikatakan Yesus di saat-saat penyaliban. Tapi mungkin juga ia – yang tak mau meminta grasi kepada pemerintahan kolonial — sudah lama menerima apa yang datang bersama zamannya. Dalam sepucuk surat untuk seorang gadis yang tinggal di Jakarta, Milly Ratulangi — sepucuk surat yang ditulisnya empat hari sebelum hukuman mati itu dijalaninya — ia menggambarkan, dengan kalimat puitis yang menggetarkan, anak-anak muda zamannya “sebagai bunga yang sedang hendak mekar…digugurkan oleh angin yang keras”. Tentu ia berbicara tentang generasinya. Umur Robert Wolter Monginsidi baru 24 tahun. Seorang bekas gurunya, Sugardo, menuliskan kenangannya tentang Si “Woce” di majalah Mimbar Indonesia 17 September 1949, dan dari sana kita tahu ia terakhir bersekolah di Sekolah Pertama Nasional di Jalan Goa 56 – sekolah yang ditinggalkannya sejak Juli 1946. Sejak itu ia menghilang. Sejak itu orang tahu, dan berbisik-bisik, ia ikut memimpin pasukan gerilya di daerah Polombangkeng, pusat yang dipilih para pejuang kemerdekaan untuk melawan pendudukan Belanda di Sulawesi Selatan. Pada suatu hari ia luka. Pada suatu hari ia ditangkap. Ia melarikan diri. Ketika ia ditangkap lagi, hukuman mati pun dijatuhkan oleh “Raad van Justitie”. Empat bulan sebelum Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah dimaklumkan empat tahun sebelumnya, anak muda itu mati untuk Republik yang muda – untuk sebuah harapan yang belum punya kebimbangan.
Ia memang bagian dari apa yang digambarkan sebagai “Revolusi Pemuda” oleh Benedict Anderson: babakan sejarah Indonesia ketika pemuda mengambil peran utama dan jadi mithos tersendiri. Ia termasuk sepucuk “bunga yang sedang hendak mekar, [yang] digugurkan oleh angin yang keras”. Tapi “angin yang keras itu” membuat yang dilakukannya dikenang, sebab pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakannya. Sejarah selalu menyimpan sesuatu yang menakjubkan pada laku manusia. Penyair A.E. Housman pernah menulis sebuah sajak lain. Kali ini bukan untuk seorang anak muda yang tewas oleh senjata api, melainkan untuk seorang atlit yang mati muda: Dua baris yang selalu saya ingat dari To an Athlete Dying Young adalah kalimat ini:
Smart lad, to slip betimes away
From fields where glory does not stay...
Sajak ini adalah sebuah tribut bagi sang atlit: ia anak pintar, smart lad, ia mati muda. Ia telah memenangi sebuah pertandingan, ia telah menerima tepuk tangan yang gemuruh, namanya telah jadi harum, dan pada saat itu ia pergi, meluputkan diri “dari medan di mana kejayaan tak bertahan”, from fields where glory does not last.. Seandainya ia hidup terus, akan ada atlit baru yang akan mengalahkannya dan mencopot kehormatannya sebagai sang johan. Kini dalam kematian ia selamat. Ia tak lagi tergabung ke dalam mereka yang pernah jaya tapi “namanya mati sebelum orangnya”, “the name died before the man”. Tapi Housman tak seluruhnya benar. Nama tak selamanya mati sebelum yang empunya.. Kejayaan tak selamanya gampang hilang. Harum nama Jesse Owens, pemenang empat medali emas di Olympiade Berlin, tetap tak pudar meskipun Michael Johnson tercatat lebih unggul dalam Olympiade Atlanta di tahun 1996 sebagai orang pertama dalam sejarah yang memenangi lomba lari 400 dan 200 meter sekaligus.
Memang, seperti tulis Housman dalam sajaknya, silence sounds no worse than cheers diam yang menyertai mereka yang mati, sehabis “bumi menutup kuping” — tak lebih buruk ketimbang tempik sorak yang mengelu-elukan seorang juara yang hidup. Tapi itu karena di situ diam tak sendirian. Dalam kematian mereka yang telah melakukan sesuatu yang berarti, diam adalah sebuah sikap hormat. Tepuk tangan diberikan kepada sang hero — yang berubah, fana dan berdosa — tapi sikap hormat ditujukan buat tindakan yang heroik, dari mana inspirasi lahir dan tumbuh selama-lamanya. Pahlawan adalah sesuatu yang berlebih. Sebuah komunitas tak dikukuhkan orang-orang hebat seperti dia, melainkan oleh tindakan-tindakan hebat. Dengan kata lain: perbuatan baik. Monginsidi kekal bukan sebagai tokoh luar biasa, tapi sebagai kesediaan untuk berkorban bagi sebuah harapan bersama. “Monginsidi”, dengan kata lain, jadi penanda sesuatu yang mengagumkan. The name does not die with the man.
Juga Chairil Anwar. Mungkin kebetulan, mungkin tidak, bahwa dialah yang menuliskan kalimatnya yang terkenal: “sekali berarti, sudah itu mati”. Ia menuliskan kata-kata itu dalam sajak Diponegoro, tapi tentu ia tak bermaksud merekam sebuah kejadian sejarah. Kita tahu Diponegoro, yang lahir di tahun 1785. memimpin perang perlawanan ketika ia telah berusia 40 hingga ia dikalahkan Belanda lima tahun kemudian. Kita memang bisa bayangkan maut hadir begitu rapat di sekitar sang pangeran di kancah perang abad ke-19 yang mengguncang kekuasaan Kompeni dan membawa korban 200.000 manusia itu. Namun kata-kata “sekali berarti (se)sudah itu mati” — kalimat dramatik yang menunjukkan dekatnya jarak antara perbuatan yang berarti dan hidup yang berakhir – agaknya tak berlaku buat riwayat hidup Diponegoro. Pemimpin perlawanan itu ditangkap dan dibuang ke Sulawesi dan baru wafat 25 tahun setelah itu. Ia sempat merampungkan otobiografinya dalam bentuk tembang. Usianya 70..
Mungkin ”sekali berarti, (se)-sidah itu mati” lebih tepat buat Chairil Anwar sendiri. Ia meninggal pada usia 27 tahun. Ia tak memimpin gerilya dan ditembak mati regu eksekusi penguasa kolonial seperti Monginsidi. Tapi seperti anak muda yang aktif dalam perjuangan bersenjata di Polobangkeng itu Chairil menimbulkan pertanyaan yang penting buat zaman ini: kenapa anak semuda itu bisa membuat sesuatu yang begitu berarti dan dikenang terus? Karena “angin yang keras” tahun 1940-an? Hanya dengan beberapa belas sajak, Chairil telah mengubah seluruh paradigma puisi Indonesia. Sejak karya-karyanya terbit, tak ada lagi penyair yang menulis seperti para sastrawan Pujanggga Baru di tahun 1930-an menulis.. Bagi saya sumbangannya bagi perombakan pandangan sastra dan dunia jauh lebih mendalam ketimbang sumbangan S. Takdir Alisyahbana, yang pernah mencemooh puisi Chairil sebagai “rujak” belaka: segar tapi tanpa gizi.
Persoalan yang hendak dibawakan pandangan Chairil justru: apa salahnya “segar”? Kenapa sesuatu harus dinilai dari segi ada atau tak ada “gizi”? Tidakkah dalam “segar” ada sesuatu yang lebih berarti – yakni hasrat untuk membuat hidup tak hanya dibebani Sabda dan Guna? Tidakkah dunia seharusnya selalu bagai ditemukan buat pertama kalinya, penuh kejutan yang menarik, seperti digambarkan Chairil dalam sajak pendek Malam di Pegunungan: sementara aku berpikir mencari jawab tentang sebab dan akibat, seorang “bocah cilik” menemui hidup dengan “main kejaran dengan bayangan.” Kiranya memang hanya si “bocah” – dan mereka yang masih punya ke-bocah-an dalam dirinya — yang tak takut untuk melakukan hal-hal yang ganjil; “main kejaran dengan bayangan”. Merekalah yang tahu akan sia-sia untuk berkejaran dengan hal-hal yang mustahil dikejar, tapi asyik. Mereka di luar batas.
Tak ada yang baru sebenarnya dalam soal ini – juga kecemasan orang tua dan para pendukung Sabda, Guna, dan Batas. Kita sering mendengar orang menyebut Sturm und Drang — yang berasal dari gerakan sastra Jerman abad ke-18, yang mengutamakan cetusan subyektif dan spontan dalam kreatifitas untuk melawan kekuasaan nalar dan pengagungan sikap beradab di masa itu – sebagai sebuah periode remaja. Dengan kata lain, sesuatu yang sementara dan tak serius. Tapi kepada yang meremehkan yang muda itulah Werther, tokoh karya Goethe yang terkenal, Die Leiden des jungen Werthers (Kesedihan hati Werther Muda), membela diri: ia mengakui gairah dirinya selalu mendekati tarap tanpa nalar dan berlebihan, tapi ia tak malu. Ia percaya banyak prestasi besar dihasilkan mereka yang dianggap mabuk dan edan (Wahnsinnige) oleh dunia. Kreatifitas memang memerlukan gairah dan satu dosis keedanan – itu sebabnya prosesnya bisa tampak tak tetap, melimpah ruah, penuh Sturm und Drang, deru dan desak, yang menyebabkan puisi Chairil — yang ditulis di tahun 1940 ketika kekuasaan kolonial runtuh dan tentara pendudukan Jepang berakhir dan Indonesia baru berteriak sebagai bayi baru lahir – adalah bagian yang terkena “angin yang keras”. Ia melampaui tata yang mati, meninggalkan apa yang disebut Rendra sebagai “kebudayaan kasur tua”, mencetuskan imaji-imaji yang tak terkendali oleh adab, dan merupakan elan yang menjulang dan menghempas. Memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang.
Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. “Gelombang” adalah kiasan yang tepat untuk gaya itu. Bahasanya tak datar, seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan.. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru. Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termashur itu – cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa di akhir abad ke-19, observasi dan komentarnya tentang lingkungan kolonial yang timpang dan menekan, cita-cita pribadinya yang tak sampai — Kartini meninggal di tahun 1904. Umurnya baru 25. Ia meninggal sebagai seorang ibu. Di akhir hidupnya yang pendek ia isteri kedua seorang bupati yang, betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib. Maka kisah Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena kegagalannya: dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi terjebak dalam palung ke-tua-an. Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua. Tradisi menentukan hampir segalanya.
Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya, Kartini dipanggil “Ibu kita”, bukan “sang pelopor”. Citranya tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif. Tak mengherankan bila Hari Kartini adalah hari ketika para perempuan berpakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi. Dalam hal itu, nasibnya lebih buruk ketimbang Monginsidi. Pemimpin perjuangan bersenjata itu berakhir dalam mati, Kartini dalam “tua”. Betapa menyedihkan: ia tak tampak sebagai seorang atlit yang mati muda. Simone de Beauvoir pernah mengatakan, lawan dari hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Jika kita ingin mengenang Kartini dengan baik, kita harus mengenang tragedinya@