Pemilu tahun 2009 tentu berbeda
dengan Pemilu 2014.Perbedaan itu sangat mencolok setidaknya sindrom italia
tidak terlalu nampak lagi. Di Italia, pemain utama dalam sederet film porno, La
Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia
duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di
Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Di Indonesia ada Angel Lelga
,dia bukan bintang blue film. Dia hanya bintang film horor yang berbumbu
menampakan dada dan paha. Partai islam yang tidak begitu pede dengan islamnya bisa
laku dijual, mengundang Angel lelga
sebagai caleg. Panggung musik dangdut digelar dan wanita cantik meliuk liukan bokongnya yang
seksi dan orang ramai histeris dengan syahwatnya. Setelah itu orang diingatkan
untuk datang ke bilik suara dan memilih partai. Artis cantik dan tenar gagal
terpilih. Tak laku lagi dijual kecuali melayani pebisnis dalam paket
penerbangan jet pribadi. Dulu diabad 20 , rakyat merupakan sebutan bagi sebuah
kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan
pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada
sebuah agenda yang menggerakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah
republik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan
bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno. Saya bingung
namun para politisi memang mampu membuat orang banyak bingung dan berharap ada
yang gratis setelah Pemilu. Padahal harapan hampa, selalu.
Tiap orang sudah muak dengan
wajah para politisi itu. Golkar pecah menjadi Garindra, Hanura, Nasdem, yang
masing masing dipimpin yang tadinya semua adalah elite Partai Golkar. Masing-masing
menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi. November 2007, di
Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy
and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa
bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak
sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Biang
ketidak adilan itu adalah Kapitalisme yang melekatkan liberalisme kedalam
demokrasi sehingga menjadi demokrasi liberal. Demokrasi menjadi pasar terbuka
untuk siapa saja bisa tampil menjadi pemenang asalkan mampu menjual dirinya.
Barang dijual tak mungkin telanjang atau transfarance sehingga orang banyak
bisa meliat. Pasar punya cara indah menempatkan barang di etalage. Selalu ada
bandrol dan kemasan indah. Orang melihat kemasan dan kemudaian merogoh sakunya
setelah melihat bandrol. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan
kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok
adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”. Betapa
tidak ? bila demokrasi mengutamakan yang mayoritas berkuasa namun kenyataanya
yang berkuasa adalah pemodal yang jumlah sangat minoritas. Adilkah ini?
Ada yang memutuskan untuk keluar
dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara
tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan
bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan
menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk
memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena
itu. Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledakkan bom, menebar
takut dan maut, seperti Al Qaidah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak
menghasilkan sesuatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis
yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai
Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah
organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasaan, dan membangun sebuah
negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati. Maka ada yang berkesimpulan, terhadap
ketidakadilan yang bertahan itu, kita mengubah politik jadi parodi terhadap
politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah
contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menjalankan
”politik”, tapi sebenarnya mereka sedang menjalankan sebuah bisnis dengan partai sebagai komoditas dan caleg
sebagai penari latar. Yang dijual sebenarnya adalah ilusi namun mendatangkan
yield tak terbilang. Tak ubahnya dengan business ponzi. Mereka paham bagaimana mengemas kata kata menjadi magic
word. Mereka paham bagaimana membariskan calegnya dihadapan pembeli. Mereka
paham berteriak dipanggung dan tersenyum indah di televisi. Semua packaging.
Politik sebagai Parodi. Layaknya sebuah sinetron, Capres dan Caleg berbicara lewat media massa tentang hidup dan mati sebagai sesuatu yang gampang dan sedap
dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera
dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddharta yang
tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan
terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus. Ketika
politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan
karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru
mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah
manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu
yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara
merdu, tangis dan ketawa galak yang
palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara atas titah produser ( pemilik modal), berseru, ”Cut!”.