Kemarin saya berdialogh dengan teman, dia dengan enteng mengatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah negara kita merupakan hasil pemikiran gemilang tasawuf sosial dari para pendiri bangsa kita. Maklum saja, katanya , sebagian besar tokoh pendiri bangsa ini terdiri dari elite islam dari kalangan intelektual, ulama. Seperti Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin.
Mereka focus pada prinsip Islam yang mengemban visi dan misi Rahmatan Lilalamin. Saya sempat berkerut kening karena istilah Tasawuf sosial dan visi rahmatan lilalamin. Namun teman ini menegaskan bahwa apakah ada nilai nilai yang ada dalam Pancasila itu tidak sesuai dengan Al Quran dan Hadith ? Belum sempat saya menjawab , dia menegaskan bahwa sila dalam pancasila itu merupakan hasil musyawarah antar golongan untuk mewujudkan project sosial politik bersama dalam sebuah komunitas bernama
Untuk alasan argumen itu, teman ini berlandaskan kepada Piagam Madinah (mitsaq al-madinah). Piagam Madinah adalah rumusan tentang prinsip prinsip kesepakatan antara kaum muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non Muslim dikota itu untuk membangun tatanan sosial politik bersama sama. Jadi tak ubahnya sepergi slogan Bhineka Tunggal Ika ( walau berbeda tetapi tetap satu jua ). Dalam Piagam Madinah itu, dengan tegas dinyatakan hak warganegara dan partisipasi kaum non Islam di
Spirit Piagama Madinah itu, menurut teman ini , merupakan satu satunya dokumen politk yang paling maju dan tertua, hingga sampai kini masih relevan dan sulit dicarikan tandingannya oleh siapapun yang mencoba merecontruksi masyarakat sesuai pemaham sekular. Sangat mengagumkan. ! Dalam Piagam ini dirumuskan ide ide tentang kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan dibidang ekonomi antar golongan. Bahkan sampai pada partisipasi dibidang pertahanan dari serangan pihak luar. Jadi ini lebih canggih daripada Piagam Human Right PBB, kata teman ini menyimpulkan. Ditambah lagi bahwa Piagam Madinah menegaskan suatu konsep tentang sistem pemerintahan yang tidak diperintah atas kehendak satu orang atau pribadi atau golongan tapi atas dasar kebersamaan atau bersama sama. Tidak ada superior individu atau golongan, yang ada adalah kebersamaan.
Itulah sebabnya, kata teman ini, para pendiri negara kita yang mayoritas beragama Islam dan tokoh Islam, menerima Pancasila , tak ubahnya seperti ketika Nabi SAW menetapkan Piagam Madinah., atas pertimbangan nilai-nilainya yang dibenarkan oleh ajaran Islam dan fungsinya sebagai konsesus antar golongan untuk membangun kebersamaan dalam project sosial-politik. Namun yang harus dicatat bahwa tidak ada satupun para tokoh Islam sebagai pendiri bangsa ini memandang Pancasila sebagai alternative dogma , samahalnya Nabi SAW dan pengikut beliau itupun tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa Piagam Madinah itu menjadi alternatif bagi agama Islam. Teman ni menyimpulkan bahwa, sikap umat Islam
Simaklah, katanya lagi, terjadinya kesatuan itu karena didasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Ini sila Pertama. Tidak ada golongan atau ras yang berbeda soal ini. Bila Ketuhanan ditempatkan maka tentu semua sepakat bicara tentang “kemanusiaan yang adil dan beradab” Apakah ada keyakinan beragama yang menolak ini ? Selanjutnya sila ketiga adalah Persatuan
Dengan cepat saya bertanya, mengapa dalam prakteknya justru terjadi kebalikannya. Apalagi dengan demokrasi langsung yang menghilangkan ruh musyawarah kebersamaan . Teman ini mengatakan, persoalan bangsa kita adalah persoalan etika atau akhlak. Pancasila tidak ada korelasi dengan UUD 45. Ini pengkianatan akibat etika elite politik sudah rusak. Umat islam harus tampil sebagai pemberi solusi dalam bentuk sumbangan maksimal khususnya dalam memaknai agama bukan hanya sebagai ritual belaka tapi sebagi bentuk kesalehan sosial. Sangat ironi bila mayoritas elite politik
Tugas kita umat islam yang utama kini , dimana saja posisi apakah itu alim ulama, ilmuwan, pejabat negara, masyarakat umum , adalah menjadikan agama sebagai landasan bersikap dan bertindak sebagai tanggung jawab kita kepada Allah. Menjadikan AL Quran dan Hadith sebagai dasar berbuat dalam semua aktifitas ( social budaya ekonomi maupun politik.) Namun diterapkan dalam azas musyawarah , hikmat kebijaksanaan untuk kebenaran, kebaikan dan keadilan. Bila ini terjadi, maka sebetulnya proses menuju kejayaan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta akan terjelma.