Pada salah satu Munas Partai, saya melihat dilayar TV, bagaimana para peserta berdiri semua ketika sang tokoh Partai sekaligus sebagai citra Partai memasuki ruangan.
Para pemimpin itu adalah orang yang berilmu dan kaya akan ilmu. Dia juga mempunya kesempatan untuk menebarkan ilmunya untuk orang banyak. Dia juga punya peluang besar untuk beramal bagi orang lain. Diapun semakin besar peluang untuk masuk sorga. Dengan begitu besar kesempatan beramal dan masuk sorga , dia juga berhadapan dengan resiko yang pasti. Resiko itu keliatannya sepele dan tak kelihatan. Apa itu ? ya sifat sombong karena keilmuannya, karena ibadahnya, karena amalannya , karena kekuasaannya. Secara psikologis atau kejiwaan, godaan itu datang setiap hari dan bahkan setiap detik kepadanya. Para hulu balang dan bawahannya akan senantiasa memujinya dengan segala hormat. Apabaia pemimpin itu tidak sabar dengan cobaan itu, tidak mau membalas pujian itu dengan teladan kerendahan hati maka dia akan terseret kepada sifat sombong. Pada saat itulah, dia telah menuhankan dirinya sendiri. Dia musuh Allah dan teman iblis.
Apa kelebihan dari sang Tokoh itu hingga pantas berbangga diri dengan pencitraan yang direkayasa itu ? Nabi Muhammad saja yang merupakan kekasih Allah, Rasul Allah yang namanya bersanding dengan Allah dipintu gerbang sorga , paling takut bila dipuji. Kepada Umar Bin Khatap Rasul berkata “Janganlah kamu sanjung aku (secara berlebihan) sebagaimana kaum Nasrani menyanjung ‘Isa bin Maryam alaihis Salam secara berlebihan. Aku hanyalah seorang hamba Alloh, maka panggillah aku dengan sebutan: hamba Alloh dan Rasul-Nya.” (HR: Abu Daud). Tapi begitulah kebutuhan akan system demokrasi sekarang yang memang tidak dibutuhkan sifat tawadhu untuk menjadi pemenang. Calon pemimpin harus mampu menciptakan situasi agar dia dipuji dan akhirnya dipilih. Lihatlah Iklan yang bertaburan ketika menjelang Pemilu. Semua berujung kepada pujian setinggi langit.
Nabi adalah teladan agung bagaiman karakter rendah hati itu diterapkan. Kerendahan hati Nabi yang tak suka dipuji tidak membuatnya rendah dihadapan kaumnya tapi justru semakin tinggi kemuliaannya, juga tentu kemuliaan dihadapan Allah. Karena teladan akhlaknya, walau Nabi adalah pemimpin yang disegani lahir batin oleh kaumnya namun orang tidak perlu berdiri ketika beliau hadir dalam majelis. Anas bin Malik RA, mengungkapkan “Tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai daripada Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam . Walaupun begitu, apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambut beliau. karena mereka mengetahui bahwa beliau Shalallaahu alaihi wasalam tidak menyukai cara seperti itu.” (HR: Ahmad).
Karena sifat sombong hanya boleh dimiliki oleh Allah sang maha pencipta dan sang maha berkuasa. Itulah sebabnya Iblis langsung menjadi laknat Allah ketika dia dengan sombongnya mengatakan dia lebih baik dibandingkan Adam. Makanya tak berlebihan bila Rasul bersabda” Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji zarrah kesombongan.” (HR: Muslim). Karena Allah berkata ” “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23). Mungkin di era sekrang belum ada manusia sehebat Nabi Sulaiman yang berkuasa atas manusia dan Jin serta binatang. Yang berharta tak terbilang. Yang berilmu tinggi karena Allah yang mendidiknya. Namun beliau tetap rendah hati sebagaimana katanya ” “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”
Sifat tawadhu adalah repliksi keikhlasan, Keikhlasan adalah repliksi dari kesempurnan iman bahwa manusia tak lebih hanya alat Allah untuk melaksanakan perintahNya.