Di tahun1957 atau tepat pada tanggal 11 juni , Hatta berkata , "Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya...Itulah gambaran dari seorang Hatta, Tokoh prolamator RI , tentang situasi politik ketika itu. Ditengah krisis multidimensi kala itu, Hatta berkata dalam kelelahan seakan mengingatkan secara tegas...” Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tidak memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberikan harapan kepada perbaikan nasib”
Tanggal 21 Mei 2008 , seratus tahun lalu ketika awal pertama kali kebangkitan nasional diikrarkan oleh para pemuda terpelajar untuk bangkitnya kebersamaan melawan penjajah dan sepuluh tahun lalu ketika reformasi yang digerakan kaum terpelajar untuk keluar dari system negara otoriter dibawah pengaruh asing, hasilnya kini tidak lebih seperti apa yang diungkapkan oleh Hatta ditahun 1957 itu.. Kita memang piawai merekayasa emosi kebersamaan untuk satu tujuan tapi tidak paham membawa barisan untuk tetap utuh ketika berhadapan dengan lawan. Barisan kita mudah hancur ketika melihat uang dan kekuasaan. Barisan diatas komando yang materialitism. Nasionalisme arogan tapi munafik, sehingga kita tetap saja terjajah walau dalam bentuk lain, mamakai produksi asing, modal asing, budaya asing , system politik asing.
Nasionalisme atau kebangsaan memang hadir karena sebuah politik kebersamaan. Sebuah politik untuk mempersatukan emosi , senasip sepenanggunagan. Setidaknya menegaskan ,bahwa kami adalah kami dan kamu adalah kamu. Kami dengan cara kami berbuat dan biarlah kamu bukan bagian dari kami. Dari sikap ini, maka terbentuklah suatu kesatuan dengan symbol symbol kenegaraan dalam bentuk bendera, lagu dan bahasa. Karenanya , kebangasaan adalah bahasa. Kebangsaan adalah budaya. Kebangsaan adalah harapan yang terpendam untuk dibangkitkan sebagai suatu kekuatan yang dibangun diatas cita cita kebersamaan. Tapi Agus Salim menilai, bahwa pengagungan terhadap bangsa secara berlebihan akan menyengsarakan bangsa itu sendiri dan bangsa lain, seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa Eropa. Mereka karena saking cintanya terhadap bangsanya menyebabkan bangsa-bangsa lain seperti Indonesia menderita akibat kolonialisasi. Seharusnya nasionalisme yang bersendikan agama yang menjadi pegangan kita. Kabangsaan yang lahir untuk kebersamaan bagi seluruh umat manusia diplanet bumi. Itulah pancasila sebagai dasar dimana nasionalisme hanyalah menempati urutan ketiga. Bukan yang pertama. Karena yang pertama adalah ALlah.
Nasionalisme bangkit ! benarkah kalimat ini masih relevan ditengah jargon globalisasi dan neo liberal? Benarkah nasionalisme masih ada di negeri kita ? Saya sempat bertanya tentang ini , ketika teman saya kehilangan respect dari mitra asingnya dalam negosiasi pembangunan project infrastructure di Indonesia. Alasannya , pihak asing tidak butuh mitra yang berlabelkan “ putra Indonesia “ karena regulasi investasi di Indonesia tidak lagi membedakan asing dan warga negara Indonesia. Tidak ada lagi rasialisme soal pemodal. Lantas, apakah arti passport yang melekat pada diri seorang putra Indonesia bila berhadapan dengan pihak asing ? jawabnya “ tidak ada “ Kita marah dan kecewa karena seharusnya kita dilindungi sebagai pemilik syah negara , yang berhak mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan asing. Paradox !
“Nasionalisme diera sekarang tidak lebih adalah ungkapan kekalahan bersaing ditengah kompetisi global yang meratifikasi WTO. “ begitu yang saya dengar dari sebagian orang yang memuja globalisasi. Impian tentang countryless kini sudah mendekati kenyataan ditengah kelelahan kita kehilangan sumber daya alam yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Ketidak berdayaan menghadapi kompetisi global untuk olah modal, olah pasar, olah ilmu, olah budaya, olah agama ,olah raga. Kemudian, kitapun dipermalukan dengan high rate contry risk , high rate corruption and prostitution didunia. Inilah harga yang kita rasakan seakan menumpang tawa ditempat ramai dan akhirnya menjerit dirumah sendiri. Kita kehilangan spirit kebersamaan karena kita terjerat dengan pinjaman luar negeri, ketergantung dengan technology , keterbatasan modal. Kita dilanda krisis multidimensi…
Padahal system kebersamaan kita keitka awal kemerdekaan, telah ditetapkan dengan landasan yang kokoh dalam bentuk falsafah (pancasila) , batang tubuh ( UUD 45 ) namun ini selalu menjadi silang sengketa ketika kemerdekaan ditangan , sehingga tidak pernah falsafah dihayati secara nurani, tidak pernah batang tubuh dijadikan tonggak. Kita selalu gamang dengan prinsip kita sehingga kita kehilangan arah , jatidiri dan akhirnya setelah semua itu , kitapun kembali disadarkan tentang nilai nilai “ kebangsaan” untuk kembali dibangkitkan. Semoga seratus tahun kebangkitan nasional ini adalah awal kebangkitan baru kita ditengah jeratan krisis multidimentsi dan kembali pula disadarkan...mungkinkah kita kembali menempatkan agama diatas segala gala kepentingan. Sudah saatnya syariat Islam dijadikan pegangan untuk tampilnya barisan yang kuat..Mungkinkah..?
Tanggal 21 Mei 2008 , seratus tahun lalu ketika awal pertama kali kebangkitan nasional diikrarkan oleh para pemuda terpelajar untuk bangkitnya kebersamaan melawan penjajah dan sepuluh tahun lalu ketika reformasi yang digerakan kaum terpelajar untuk keluar dari system negara otoriter dibawah pengaruh asing, hasilnya kini tidak lebih seperti apa yang diungkapkan oleh Hatta ditahun 1957 itu.. Kita memang piawai merekayasa emosi kebersamaan untuk satu tujuan tapi tidak paham membawa barisan untuk tetap utuh ketika berhadapan dengan lawan. Barisan kita mudah hancur ketika melihat uang dan kekuasaan. Barisan diatas komando yang materialitism. Nasionalisme arogan tapi munafik, sehingga kita tetap saja terjajah walau dalam bentuk lain, mamakai produksi asing, modal asing, budaya asing , system politik asing.
Nasionalisme atau kebangsaan memang hadir karena sebuah politik kebersamaan. Sebuah politik untuk mempersatukan emosi , senasip sepenanggunagan. Setidaknya menegaskan ,bahwa kami adalah kami dan kamu adalah kamu. Kami dengan cara kami berbuat dan biarlah kamu bukan bagian dari kami. Dari sikap ini, maka terbentuklah suatu kesatuan dengan symbol symbol kenegaraan dalam bentuk bendera, lagu dan bahasa. Karenanya , kebangasaan adalah bahasa. Kebangsaan adalah budaya. Kebangsaan adalah harapan yang terpendam untuk dibangkitkan sebagai suatu kekuatan yang dibangun diatas cita cita kebersamaan. Tapi Agus Salim menilai, bahwa pengagungan terhadap bangsa secara berlebihan akan menyengsarakan bangsa itu sendiri dan bangsa lain, seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa Eropa. Mereka karena saking cintanya terhadap bangsanya menyebabkan bangsa-bangsa lain seperti Indonesia menderita akibat kolonialisasi. Seharusnya nasionalisme yang bersendikan agama yang menjadi pegangan kita. Kabangsaan yang lahir untuk kebersamaan bagi seluruh umat manusia diplanet bumi. Itulah pancasila sebagai dasar dimana nasionalisme hanyalah menempati urutan ketiga. Bukan yang pertama. Karena yang pertama adalah ALlah.
Nasionalisme bangkit ! benarkah kalimat ini masih relevan ditengah jargon globalisasi dan neo liberal? Benarkah nasionalisme masih ada di negeri kita ? Saya sempat bertanya tentang ini , ketika teman saya kehilangan respect dari mitra asingnya dalam negosiasi pembangunan project infrastructure di Indonesia. Alasannya , pihak asing tidak butuh mitra yang berlabelkan “ putra Indonesia “ karena regulasi investasi di Indonesia tidak lagi membedakan asing dan warga negara Indonesia. Tidak ada lagi rasialisme soal pemodal. Lantas, apakah arti passport yang melekat pada diri seorang putra Indonesia bila berhadapan dengan pihak asing ? jawabnya “ tidak ada “ Kita marah dan kecewa karena seharusnya kita dilindungi sebagai pemilik syah negara , yang berhak mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan asing. Paradox !
“Nasionalisme diera sekarang tidak lebih adalah ungkapan kekalahan bersaing ditengah kompetisi global yang meratifikasi WTO. “ begitu yang saya dengar dari sebagian orang yang memuja globalisasi. Impian tentang countryless kini sudah mendekati kenyataan ditengah kelelahan kita kehilangan sumber daya alam yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Ketidak berdayaan menghadapi kompetisi global untuk olah modal, olah pasar, olah ilmu, olah budaya, olah agama ,olah raga. Kemudian, kitapun dipermalukan dengan high rate contry risk , high rate corruption and prostitution didunia. Inilah harga yang kita rasakan seakan menumpang tawa ditempat ramai dan akhirnya menjerit dirumah sendiri. Kita kehilangan spirit kebersamaan karena kita terjerat dengan pinjaman luar negeri, ketergantung dengan technology , keterbatasan modal. Kita dilanda krisis multidimensi…
Padahal system kebersamaan kita keitka awal kemerdekaan, telah ditetapkan dengan landasan yang kokoh dalam bentuk falsafah (pancasila) , batang tubuh ( UUD 45 ) namun ini selalu menjadi silang sengketa ketika kemerdekaan ditangan , sehingga tidak pernah falsafah dihayati secara nurani, tidak pernah batang tubuh dijadikan tonggak. Kita selalu gamang dengan prinsip kita sehingga kita kehilangan arah , jatidiri dan akhirnya setelah semua itu , kitapun kembali disadarkan tentang nilai nilai “ kebangsaan” untuk kembali dibangkitkan. Semoga seratus tahun kebangkitan nasional ini adalah awal kebangkitan baru kita ditengah jeratan krisis multidimentsi dan kembali pula disadarkan...mungkinkah kita kembali menempatkan agama diatas segala gala kepentingan. Sudah saatnya syariat Islam dijadikan pegangan untuk tampilnya barisan yang kuat..Mungkinkah..?