Dari kematian Soeharto ada pertanyaan bisu, tentang salah dan tidak salah.Ajal memang membuat banyak hal jadi tak jelas. Kita tidak tahu kenapa sebuah kehidupan yang bergairah pada suatu saat akhirnya terhenti dan kenapa selalu ada yang akan hilang dari sebuah kebersamaan. Orang bijak berkata bahwa waktu adalah sebilah pedang. Ia benar. Waktu mengukir proses, tapi juga memenggal. Umur memendek, rambut menipis, jantung melemah, kayu dikusen akan melepuk dan bumi kian kehilangan kesejukan. Seakan hidup hanya energy hangat yang mesti luput, seperti matahari yang pelang pelan meluputkan diri dari ladang. Hidup adalah ketidak berdayaan sejati. Semua berlalu dalam proses menuju kepastiaan,. Kematian.
Soeharto atau Orde baru memang lahir dengan rasa jenuh, mungkin jijik , mungkin gentar terhadap apa yang disebut ”Politik pluralisme”. Sebelum 1966, partai partai pegang peranan penting dalam menampung aspirasi rakyat. Mereka berperan pula merumuskan semua kebijakan atas nama rakyat dan menggerak massa untuk melaksanakan kebijakan itu. Dari atas turun kebawah dan dari bawah meluas keseluruhnya. Soeharto menciptakan kekuasaan dari kejenuhan ” era lama”. Ini tuntutan rakyat yang tak pernah menuai janji politisi tentang hidup makmur dan sejahtera. Ini soal pilihan situasional bila partai harus diciutkan, hak bersuara harus dibungkam, ulama masuk penjara, lawan politik diasingkan. Semua itu dengan satu keyakinan tentang perlunya stabilitas politik , stabilitas ekonomi , stabilitas keamanan. Rakyat tidak butuh kebebasan asalkan mereka tidak sulit membeli pangan, papan dan sandang. Soehato memenuhi janjinya walau harus berhutang kepihak asing. Rakyat butuh stabilitas. Ini soal pilihan dari kekesalan masalalu yang harus antri beras dan makan katul.
Kini , mengenang Soeharto adalah ketakutan tentang militer. Kita tak ingin apapun yang berbau militer hadir dalam ruang diskusi. Kita tidak ingin militer ikut bersuara. Semua yang berbau militer adalah anti HAM. Semua yang berbau agama adalah teroris atau anti pluralisme. Demokrasi tiran yang dikemas dalam jargon pluralisme, kebebasan sebebasnya. Sehingga syah saja bila president dan wakilnya jadi bahan dagelan di TV. Demokrasi terbebas didunia. Pers terbebas didunia, Porgnographi terbebas didunia. Korupsi terbebas didunia. Inipun adalah pilihan situational akibat masa lalu menakutkan. Kini tidak ada lagi demontrasi kesenayan. Disana tidak ada pekik. Yang ada hanyalah loby politik dan kompromi. Tawar menawar akan menjadi galib dan orang akan mulai melihat kebajikan dari kompromi. Tidak ada lagi suasana yang dibentuk oleh krisis. Dan kehidupan kini tidak jauh beda ketika era Soekarno, antri minyak, antri beras dan busung lapar. Sepuluh tahun setelah pilihan kita. Apakah kita puas dengan kebebasan? Apakah kita merindukan stabilitas ? waktu terus berjalan dan terasa hambar, seperti sekedar mencuci botol bekas. Tapi adakah ia akan kehilangan makna dihadapan kita ?
Soekarno, Soeharto, juga adalah kita semua. Yang kadang lupa ketika menuangkan anggur kedalam gelas sambil duduk berdiskusi diruang terhormat, kita sebetulnya hidup dalam keangkuhan dihadapan sang waktu. Padahal tak ada satupun manusia dapat tabah menghadapi Maut, walau tadinya begitu yakin memperalat dunia tempat kita berada. Kita memang tidak berdaya , lemah dan zolim dengan segala pilihan kita. Hidup juga tak menakjubkan hanya karena retorika tentang sang maha Ada, sang maha Suci. Retorika tentang kebebasan,kesetaraan, perdamaian. Hidup tidak menentramkan tentang stigma militer dan sipil, tentang demokrasi dan otoriter. Hidup menakjubkan dan menentramkan karena kita, disituasi yang mendung , memetik buah yang ranum dan mencicipinya , dan membaginya...Bisakah
"Selamat jalan Pak Harto..."
Soeharto atau Orde baru memang lahir dengan rasa jenuh, mungkin jijik , mungkin gentar terhadap apa yang disebut ”Politik pluralisme”. Sebelum 1966, partai partai pegang peranan penting dalam menampung aspirasi rakyat. Mereka berperan pula merumuskan semua kebijakan atas nama rakyat dan menggerak massa untuk melaksanakan kebijakan itu. Dari atas turun kebawah dan dari bawah meluas keseluruhnya. Soeharto menciptakan kekuasaan dari kejenuhan ” era lama”. Ini tuntutan rakyat yang tak pernah menuai janji politisi tentang hidup makmur dan sejahtera. Ini soal pilihan situasional bila partai harus diciutkan, hak bersuara harus dibungkam, ulama masuk penjara, lawan politik diasingkan. Semua itu dengan satu keyakinan tentang perlunya stabilitas politik , stabilitas ekonomi , stabilitas keamanan. Rakyat tidak butuh kebebasan asalkan mereka tidak sulit membeli pangan, papan dan sandang. Soehato memenuhi janjinya walau harus berhutang kepihak asing. Rakyat butuh stabilitas. Ini soal pilihan dari kekesalan masalalu yang harus antri beras dan makan katul.
Kini , mengenang Soeharto adalah ketakutan tentang militer. Kita tak ingin apapun yang berbau militer hadir dalam ruang diskusi. Kita tidak ingin militer ikut bersuara. Semua yang berbau militer adalah anti HAM. Semua yang berbau agama adalah teroris atau anti pluralisme. Demokrasi tiran yang dikemas dalam jargon pluralisme, kebebasan sebebasnya. Sehingga syah saja bila president dan wakilnya jadi bahan dagelan di TV. Demokrasi terbebas didunia. Pers terbebas didunia, Porgnographi terbebas didunia. Korupsi terbebas didunia. Inipun adalah pilihan situational akibat masa lalu menakutkan. Kini tidak ada lagi demontrasi kesenayan. Disana tidak ada pekik. Yang ada hanyalah loby politik dan kompromi. Tawar menawar akan menjadi galib dan orang akan mulai melihat kebajikan dari kompromi. Tidak ada lagi suasana yang dibentuk oleh krisis. Dan kehidupan kini tidak jauh beda ketika era Soekarno, antri minyak, antri beras dan busung lapar. Sepuluh tahun setelah pilihan kita. Apakah kita puas dengan kebebasan? Apakah kita merindukan stabilitas ? waktu terus berjalan dan terasa hambar, seperti sekedar mencuci botol bekas. Tapi adakah ia akan kehilangan makna dihadapan kita ?
Soekarno, Soeharto, juga adalah kita semua. Yang kadang lupa ketika menuangkan anggur kedalam gelas sambil duduk berdiskusi diruang terhormat, kita sebetulnya hidup dalam keangkuhan dihadapan sang waktu. Padahal tak ada satupun manusia dapat tabah menghadapi Maut, walau tadinya begitu yakin memperalat dunia tempat kita berada. Kita memang tidak berdaya , lemah dan zolim dengan segala pilihan kita. Hidup juga tak menakjubkan hanya karena retorika tentang sang maha Ada, sang maha Suci. Retorika tentang kebebasan,kesetaraan, perdamaian. Hidup tidak menentramkan tentang stigma militer dan sipil, tentang demokrasi dan otoriter. Hidup menakjubkan dan menentramkan karena kita, disituasi yang mendung , memetik buah yang ranum dan mencicipinya , dan membaginya...Bisakah
"Selamat jalan Pak Harto..."