Keluhan ini seakan mewakili hampir semua UKM pengrajin diseluruh Indoensia. Banyak diantara mereka yang sudah merumahkan karyawannya dan tidak tahu bagaimana nasip karyawannya setelah kehilangan pekerjaan. Terseok-seoknya dunia usaha tidak hanya dialami sektor pakaian jadi. Pengusaha sepatu nasional pun mengungkapkan kesulitan yang mereka hadapi sejak tahun 2001 untuk tetap bertahan menjalankan roda perusahaan. Serbuan sepatu impor (ilegal) dari China dijadikan "tertuduh" atas keterpurukan industri sepatu di dalam negeri. Sebanyak 28 perusahaan sepatu nasional telah ditutup dan 55.496 tenaga kerja pun harus kehilangan pekerjaan. Kapasitas produksi industri yang masih bertahan tinggal 75 persen. Nilai export dari sector manufacture dari tahun ketahun semakin menurun.
Industri tekstil, pakaian jadi, sepatu, elektronik, dan beberapa industri manufaktur lainnya perlahan tetapi pasti terus meredup. Ini bukan tiba-tiba terjadi, tetapi sebuah rangkaian perjalanan yang tidak cepat diantisipasi. Kelemahan pada industri di Indonesia bukan hanya pada basis industrinya, tetapi juga struktur industri yang dibangun.
Negeri ini membangun industrinya dengan berorientasi pada industri berteknologi rendah dan jenis perakitan. Tidak pernah bergerak menuju teknologi yang menengah, apalagi tinggi. Industri yang dikembangkan Indonesia berkonsentrasi pada sektor-sektor yang semakin kurang signifikan dengan pasar yang terbatas. Ekspor Indonesia, misalnya, hanya dikonsentrasikan untuk sejumlah sektor saja. Hampir separuh dari ekspor manufaktur hanya diisi lima jenis komoditas, yaitu kayu lapis, tekstil, pakaian jadi, elektronik, dan alas kaki. Padahal, untuk tekstil, pakaian jadi dan alas kaki persaingannya sangat ketat, banyak negara masuk menjadi produsen barang-barang itu karena alasan kemampuan sektor itu menyerap tenaga kerja sangat tinggi. China, Vietnam, Thailand, dan India berlomba menguasai pasar. Untuk kayu lapis mengalami kesulitan bahan baku seiring dengan semakin rusaknya hutan alam Indonesia menjadi kendala produksi.
Di sisi lain, terjadi kekosongan industri yang memproduksi barang input intermediate (menengah) yang dibutuhkan industri barang jadi. Akibatnya, proporsi barang input yang diimpor menjadi sangat tinggi. Contoh yang gamblang terlihat pada industri alas kaki, mould (bantalan alas kaki) sepenuhnya diimpor dari negara lain. Industri di dalam negeri hanya memasang bagian atas, atau kulitnya saja.
Begitu pula tekstil dan produk tekstil, hampir 99 persen kapas yang merupakan bahan baku produk katun untuk industri diimpor dengan nilai mencapai hampir 1 miliar dollar AS. Proporsi penggunaan input impor pada industri nasional sangat tinggi. Tekstil misalnya, proporsi input yang berasal dari impor mencapai 32 persen, sedangkan produk elektronika dan mesin mencapai 65 persen. Ketergantungan pada input yang berasal dari impor ini tidak berkurang meskipun teknologi yang dipakai beranjak maju.
Faktor tenaga kerja yang selama ini menjadi keunggulan komparatif industri Indonesia tidak lagi dapat dipertahankan. Produktivitas Indonesia relatif buruk dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Hal ini terkait kurangnya perhatian negeri ini terhadap dunia pendidikan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Anggaran yang dibelanjakan untuk pendidikan sangat rendah dan tidak pernah mencapai 20% APBN dari yang diamanahkan oleh UU. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia Indonesia sulit bersaing. Perusahaan-perusahaan sulit mencari pekerja yang memiliki keterampilan memadai. Sementara untuk penelitian dan pengembangan, pelatihan, anggaran pemerintah sangat kecil dibandingkan dengan PDB.
UKM yang mempekerjakan dua pertiga dari tenaga kerja di sektor manufaktur tidak memberikan contribusi yang memadai dari seluruh nilai tambah manufaktur nasional. UKM terkonsentrasi pada manufaktur padat karya, bukan penyediaan input intermediate bagi usaha besar. Belum lagi sempitnya akses UKM ke perbankan. Sementara Industri berskala raksaya seperti industri mesin, sepeda motor, dan elektronik membeli 90 persen komponennya dari luar negeri. Dilihat secara keseluruhan, sumbangan neto FDI terhadap neraca pembayaran selalu negatif. Hal itu dikarenakan laba yang dihasilkan dari investasi dikirimkan kembali ke negara asal. Dari pengamatan The United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR), tidak ada bukti kuat yang menyatakan FDI berpengaruh terhadap perkembangan positif perekonomian negara yang menjadi tempat investasinya.
Seharusnya pemeritah kembali menyadari bahwa membangun itu tidak usah melihat keluar tapi ke dalam. Lingkungan alam yang ada di Indonesia adalah kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa Tuhan memberikan kita segala galanya untuk menjadi bangsa pemasok kebutuhan umat manusia diplanet bumi ini akan pangan dan segala product turunannya. Mengapa ini tidak dijadikan keunggulan kita untuk bersaing dengan segara melakukant transformasi menjadi Negara yang kuat dan cerdas memanfaatkan sumber daya alam. Dengan cara inilah keterlibatan public yang mayoritas petani / nelayan/ pengrajin akan menjadi kekuatan raksasa menghadapi era globalisasi.