Saya bertemu dengan Florence tadi siang di Kantor. “ Mengapa lue tidak peduli dengan penampilan berkelas. Padahal lue punya kalau mau. Capek gua mikir. Beda banget dengan gaya usia lue dibawah 35 tahun. “ kata Florence. Saya diam saja. Tetapi karena rasa ingin tahu nya sangat besar dan dia sadalah sahabat saya lebih dari 35 tahun. Tentu dia berhak tahu sikap saya. Karena selama ini saya memang tidak pernah berekspresikan sikap saya dengan kata kata. Saya diam saja.
“Ketika jaya penampilan terhormat saya dihadapan teman, sababat, keluarga tidak ada artinya saat saya bangkrut. Semua bantuan kasih saya kepada mereka tidak membekas. Saya tetap aja dianggap sampah dan bad news. Pernah saat saya bangkrut. Sedara istri saya baru beli kendaraan baru. Saya ikut numpang mobilnya pulang. Karena rumah kami satu arah. Saya diturunkan dia di terminal buss. Padahal saya sedang bersama Balita saya dan istri. Dia tidak peduli.
Pernah saat saya bangkrut, jas yang diberi teman, dia minta lagi. Karena dia perlu untuk anak buahnya. Padahal dulu waktu dia bangkrut saya beri uang untuk beli susu anaknya. Pernah dagangan istri saya dilempar keluar pagar. Karena suaminya tidak suka mengotori rumahnya. Padahal istri saya datang membawa pakaian barang daganganya atas undangan istrinya. Dan istri saya dagang untuk beli beras. Saya pernah berkali kali memohon maaf kepada kondektur buss karena tidak mampu bayar ongkos. Sering juga di bully. Saya terima itu.” kata saya. Florence berlinang airmata.
“ Saya benci penampilan mewah. Karena itu adalah kebohongan terencana. Yang melihat pura pura hormat dan kita menikmati ilusi kehormatan itu. Sangat naif kalau kita perlu kehormatan karena penampilan. Dan itu adalah sisa budaya feodal yang harus kita perangi. Kita tidak bisa mengubah dunia tetapi kita bisa mengubah diri kita sendiri, hiduplah dengan sederhana. Maka kesombongan berkurang di muka bumi ini.
Makanya di Hong Kong di kamar kerja saya ada kamar ganti pakaian. Pakaian kantor ya tentu saya sesuaikan dengan rating perusahaan. Tetapi keluar kantor untuk urusan personal saya gunakan pakaian sederhana.
Saya tidak merasa rendah tidak punya member club golf. Saya tidak merasa kecil tidak masuk anggota Moge dan club kendaraan mewah. Saya tidak merasa miskin tinggal di perumahan yang bukan kelas real estate. Bahkan sampai tamat SMU kedua anak saya tidak tahu apa kerjaan saya. Karena saya menolak tamu bisnis datang ke rumah saya.
Di usia menua ini saya dapatkan hikmah. Ternyata reputasi kita itu bukan diukur dari pemampilan. Tetapi sejauh mana kita bisa menjaga kepentingan stakeholder. Baik stakeholder bisnis maupun personal. Tidak penting walau mereka tidak pandai berterima kasih. Tetap jaga. Teman palsu pasti ada, tetap jaga. Sedara merepotkan pasti ada, tetap jaga. Pemerintah yang tidak adil selalu ada, tetap jaga. Sahabat pemarah dan istri tukang ngomel selalu ada. Tetap jaga. MItra yang brengsek selalu ada, tetap jaga. Semua itu bukan antara saya dan mereka. Tetapi antara saya dan Tuhan saja.
Dan apa yang terjadi? ternyata di usia menua ini teman semakin berkurang. Yang terisa hanya sahabat. Yang tidak bertanya berapa harta saya dan berapa uang saya di dompet. Hanya inginkan tetap bersama dengan saya. Diantara nya , kamu Ling dan tentu juga istri saya di rumah..” kata saya.
No comments:
Post a Comment