Friday, May 12, 2023

Pertentangan sikap politik?

 





Menjelang Pemilu mulai muncul di sosial media postingan menghujat, hoax, fitnah. Narasi bercampur baur. Yang agamais membawa narasi agama untuk menghujat capres yang tidak disukainya. Dan menggunakan narasi agama memuji capres yang diidolakan. Begitu juga dengan mereka yang nasionalis menggunakan narasi pancasila dan pluralisme menghujat capres yang membawa agama dan memuji capres dengan narasi nasionalis. Walau elite politik berusaha menghimbau agar tidak terjadi polarisasi di tengah masyarakt, namun itu tidak ada artinya di lapangan. Mesin politik mulai dihidupkan untuk menggunakan cara apa saja mencapai kemenangan.


Hate speech atau ujaran kebencian hanya terjadi dan dikonsumsi oleh kalangan bawah. Mengapa? karena kalangan bawah itu tidak punya kemampuan intelektual dan literasi untuk membahas hal substansi seperti yang berkaitan dengan ide dan peristiwa politik. Mereka hanya bisa paham narasi soal personal capres dan itu menjadi daya tarik bagi kerumunan para bigot untuk membicarakannya. Bagi influencer medsos, ini merupakan sumber income dari fitur like and subscriber. Artinya hate speech itu memang dipabrikasi pada moment yang tepat terutama menjelang pemilu. Tidak peduli kalau dampaknya terjadi polarisasi.


Saya akan membahas soal kelompok yang bersebarangan. Mereka saling berhadapan, sangat brutal di sosial media. Apa itu? Mereka yang mempolitisasi agama untuk tujuan politik. Disebelahnya ada lagi kelompok ultranasionalis atau mereka yang menganggap siapapun yang berbeda distigma anti Pancasila dan anti pluralisme. Saya bisa katakan bahwa dua kelompok ini adalah mereka yang terbelakang secara intelektual.  Mengapa ? walau keduanya bisa menerima perbedaan dengan narasi sama. Kadang yang agamais sangat paham nasionalis. Pihak ultranasionalis juga sangat paham agama. Namun dalam konteks politik mereka berseberangan dan tentu saling tidak menghargai perbedaan itu. Keduanya kaum bigot, bukan aset bagi bangsa tetapi toxin bagi pembangunan peradaban. 


Tapi apa mau dikata. Sejarah mencatat, orang bigot selalu jadi korban peradaban dan mereka memang didesign oleh politisi untuk dapatkan suara dan kemudian dikorbankan. Mengapa? alasannya seperti kata Hitler “ How fortunate for governments that the people they administer don't think. ( betapa beruntungnya pemerintah karena rakyatnya bego). Pemenang pilpres belaga budek kalau diingatkan oleh oposisi soal janji Pemilu. Mengapa “  The victor will never be asked if he told the truth.” Kubu yang menang engga lagi mempersoalkan apa yang dikatakan capresnya saat kampanye. Kalau ada yang mempertanyakan mereka marah. Padahal kedua kelompok ini adalah korban dari sistem politik adu bandot.


Mengapa saya tulis uraian diatas ? Karena selama proses menjelang pemilu para partai mengkapitalisasi issue koalisi. Yang tidak mencalonkan capres, dapat uang mahar dari yang mencalonkan. Setelah pemilu, yang kalah dan yang menang saling rangkulan. Anda yang pernah perang di sosmed dan militan saat kampanye, tidak akan diperhitungkan politisi saat mereka berbagi posisi dan dapat mahar. Tuh lihat PS engga merasa risih gabung kabinet Jokowi. Padahal korban tidak sedikit akibat Pilpres 2019.


Jadi ngapain terlalu ngotot ke kanan atau ke kiri. Yang normal saja. Ya beragama bagus. Buktikan itu dengan kehidupan pribadi yang berakhlak baik. Nasionalis itu bagus tapi buktikan dengan bakti kepada negara dalam bentuk nyata. Nikmati saja pemilu dan pilres itu dengan euforia. Engga usah saling musuhan dengan mereka yang berbeda pilihan. Engga usah ikutan ujaran kebencian secara personal kepada lawan. Dan nanti ketika pemilu, di dalam bilik suara, bersikaplah. Tugas kita hanya melegitimasi mereka untuk berkuasa atas sumber daya. Selanjutnya focus aja kepada hal yang substansi. Apa itu?  cari uang untuk makan dan bayar pajak, BPJS dan tol. Bayar bill listrik, air, telp dan cicilan utang.


***

Mindset kaya miskin


Jalanan di kota besar semakin macet, jalan tol pun kadang macet.  Bandara penuh sesak orang bepergian, restoran di hari minggu ramai, tempat wisata ramai disaat liburan. Kelompok ini yang dianggap mampu untuk membeli hal-hal di luar kebutuhan mendasar, seperti hiburan, kendaraan pribadi, asuransi kesehatan, dan lainnya. Nah jumlah mereka di Indonesia kalau menurut laporan Bank Dunia dalam “Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” (2020), jumlahya dibawah 10% dari populasi Indonesia. Mereka ini disebut kelas menengah atau  middle income.


Jadi kalau Srimulyani mengatakan bahwa sarat agar indonesia lepas dari minddle income trap maka pertumbuhan ekonomi harus diatas 6%. Untuk kkeluar dari jebakan Middle Income, fokus kebijakan jangka menengah-panjang meliputi mengurangi ketimpangan SDM (Human Capital Gap), ketimpangan infrastruktur (infrastructure gap), dan ketimpangan institusional (institutional gap). Artinya agar dibawah 10% penduduk Indonesia itu bisa jadi berpenghasilan tinggi, harus diberi dukungan lewat fiskal dan moneter. Mantul.


Lantas gimana dengan data garis kemiskinan penghasilan Rp2.324.274,00/rumah/bulan yang berjumlah 26,36 juta orang indonesia. Artinya kalau garis kemikinan dinaikan jadi Rp. 5 juta/bulan, mungkin jumlah orang miskin mencapai 200 juta. Apakah masuk hitungan.? Jadi terlalu naif kita bicara tentang program keluar dari middle income trap. Karena kita sebenarnya belum masuk negara yang berpenghasilan menengah. Kita masih masuk negara berkembang yang dipenuhi kubangan kemiskinan.


Menurut saya kelas menengah di Indonesia itu lahir dari skema korupsi lewat APBN dan business rente. Buktinya? Walau ekonomi kita tumbuh diatas 5%, namun tidak terjadi transformasi ekonomi dari SDA ke industri dan innovasi. Bahkan kontribusi sektor industri terhadap PDB malah turun. Bagaimana bicara middle income country kalau malah deindustrialisasi


Tapi di Indonesia pemerintah itu bebas bicara dan rakyat percaya saja. Karena kita memang bangsa yang punya mentality victim. Artinya bangsa yang doyan dikorbankan oleh politik. Bahkan walau miskin tetap saja tidak terima kalau pemerintah disalahkan. Sangat miris.  Human capital gap antara kaya dan miskin sebenarnya lebih kepada gap mindset. ORang kaya berusaha mendekati pemerintah dan menikmati rente. Orang miskin berusaha memuja pemerintah dan tetap miskin… bahkan mau diadu domba ditahun politik..

No comments:

Akhlak atau spiritual

  Apa pendapat bapak soal kenaikan pajak PPN 12 % “ tanya Lina. Peningkatan tarif PPN tujuannya tentu untuk meningkatkan penerimaan negara d...