Thursday, February 09, 2023

Pemilih cerdas.

 



Ketua Umum Ganjar Pranowo Mania Immanuel Ebenezer yang juga jadi relawan Jokowi di Pilpres 2019 mengatakan pembubaran akan dilakukan secara resmi pada Kamis (9/2) di Jakarta. Mereka akan menggelar jumpa pers. “ Itulah politik” kata teman kemarin waktu ketemu di cafe. “ Tapi bagaimanapun dalam konteks demokrasi, memang pemilih punya kebebasan mendukung dan menggalang dukungan dan kapanpun bisa balik arah atau bubar. Beda dengan Partai. Apapapun terjadi kader partai akan tetap solid “ Lanjut teman. Saya senyum aja.


Sebenarnya dalam sistem demokrasi, pemilih itu tidak perlu menggalang kekuatan dan pakai relawan segala. Sudah cukup dengan adanya ormas sebagai kekuatan informal, yang jumlahnya ribuan di Indonesia. Yang utama bagi pemilih adalah meningkatkan kecerdasaran politiknya. Apalagi Indonesia itu menganut indiologi terbuka, bukan idiologi totaliter. Jadi setiap orang bisa pindah pilihan partai dan juga pindah pilihan capres.


Apa itu pemilih cerdas? Pemilih cerdas adalah pemilih yang focus kepada kepentingan dia pribadi. Misal petani, ya dia harus nilai partai atau capres yang punya visi meningkatkan pertanian dan kesejahteraan petani.  Apa program meningkatkan kepemilikan lahan? apa program reforma Agraria? konkritnya gimana? kalau dulu pernah ada yang janji akan sukseskan reforma agraris dan terbukti tidak tercapai target, ya hukum partai atau capres itu dengan tidak memilih mereka lagi.


Apa artinya? pemilih cerdas itu focus kepada masalah substansi, yang mudah dipahami oleh mereka yang merasakan langsung dampak dari kebijakan pemerintah. Setelah mereka pilih, kalau  ternyata program tidak tercapai ya mereka kritisi, Engga ada cinta mati. Kalau sukses ya biasa saja. Engga perlu dipuji segala. Karena pemimpin kan dibayar mahal untuk kerja, bukan gratis. Jadi sudah seharusnya mereka punya kinerja terbaik. 


Yang jadi masalah di negeri kita ini, pemilih rasional yang paham arti demokrasi dan tentu paham cara mengkritik, paling banyak hanya 10% selebihnya pemilih irasional. Faktor emosi karena agama, suku sangat dominan dalam menentukan pilihan.Makanya jangan kaget bila pemilu hanyalah drama, yang mudah diayun oleh konsultan kampanye dan para influencer. Maka jadilah para pemilih gerombolan bigot. Saling membenci yang tidak sudah. Padahal mereka adalah korban dari sistem yang berengsek, yang memang  sengaja merancang polarisasi ditengah masyarakat agar mudah mendulang suara. 


***

Petugas Partai…Dalam masyarakat itu terdiri dari berbagai kelompok dan golongan yang berbeda pandangan. Perbedaan itu harus dihormati. Prinsip demokrasi adalah free will sebagai bagian tidak terpisahkan dari HAM. Masing masing golongan atau kelompok harus mengorganisir diri mereka sesuai konsesus nasional berdirinya negara. Dari sanalah lahirnya Partai Politik. 


Secara umum, partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir dan memiliki pandangan dan cita-cita yang sama mengenai suatu pemerintahan. Untuk lebih konkritnya definisi itu silahkan baca Pasal 1 ayat 1 UU No 2 Tahun 2011 tentang Parpol.  Sampai disini paham ya.


Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kekuasaan. Kekuasaan itu diwakili oleh Partai. Jadi kalau bisa dianalogikan partai itu adalah proxy rakyat. Pengurus partai , kader partai adalah juga proxy rakyat.  Tapi untuk melegitimasi mereka sebagai proxy, bukan hanya sekedar berdirinya partai, tapi harus dibuktikan lewat Pemilu Langsung. 


Hasil pemilu itulah membuktikan apakah Partai dipercaya atau tidak oleh rakyat. Agar tertip, tentu diatur lagi batasan minimal suara yang dipercaya rakyat. Batasan suara yang bisa duduk di parlemen (  parliamentary threshold  dan mengusung presiden/ gubernur/ walikota/bupati ( presidential threshold ). Jadi walau rakyat berhak mendirikan partai, tetapi harus terorganisir dengan baik dan modern. Engga bisa modal bacot doang mau nyapres. Sistem kita tidak mengenal wakil dari independent. 


Nah yang harus kita pahami bersama bahwa demokrasi itu berbeda dengan otoriterian atau otokratis . Apa sih bedanya? ya otoriterian atau otokratis mengkultuskan individu. Jabatan presiden itu adalah sakral. Engga boleh disalahkan dan tidak boleh dikritik. Harus dipuji terus. Nah sementara demokrasi adalah tidak mengkultuskan individu. Demokrasi menjunjung tinggi sikap egaliter. Presiden/gubernur/walikota/Bupati/DPR, yang diusung partai dan anda pilih, dia tetaplah proxy atau bahasa mesranya petugas partai. Di AS disebut “ Admin”


Mengapa sebagian masyarakat alergi dengan sebutan petugas partai bagi jabatan presiden? ya karena budaya feodalisme di negeri ini belum sepenuhnya hilang. Sikap inferior complex rakyat dihadapan penguasa masih sangat tinggi. Padahal kalau rakyat sadar bahwa mereka sebagai penguasa dan pejabat politik adalah proxy mereka, seharusnya superior aja. Toh faktanya kan mereka numpang makan dan hidup makmur bersama keluarganya  dari pajak yang kita bayar.


***

Jokowi itu sebagai personal kita pilih karena dia orang baik dan tidak terhubung dengan Orba. Dari dia kita berharap agar ada perubahan. Tapi Jokowi sebagai presiden bukanlah Jokowi sebagai personal. Dia terikat dengan UU dan Hukum serta kekuatan sharing power, yang mereka semua juga kita yang pilih. Nah kumpulan dari mereka yang kita pilih itu bernama pemerintah. Tugas kita mengkritisi pemerintah itu. Apa yang dikritik? ya kebijakannya, bukan personalnya.


Ketika orang kita pilih sebagai presiden, DPR, maka sebenarnya kitalah pemilik kekuasaan. Istri saya memilih saya sebagai suami. Dia harus jaga saya. Tidak dengan memuji atau dikecam rasa takut, tetapi ya dikritisi. Dia tak pernah lelah mengkritisi. Sayapun tahu diri. Dia  bukan escort yang selalu memuji. Dia belahan jiwa saya. Dan lagi dia kritik karena dia peduli. Ya cinta rasional, bukan sekedar emosional. Begitulah seharusnya kita kepada pemimpin yang kita pilih lewat sistem demokrasi. Negara hebat karena rakyatnya  hebat.


Kita kadang engga bisa bedakan antara Jokowi dan Pemerintah. Karena kebanyakan kita masih hidup dalam suasana kebatinan feodal. Presiden kita anggap raja, yang tidak boleh disalahkan. Maka jadilan kita terjebak dalam mentality victim seperti era kolonial dulu. Kita tahu raja atau sultan berkolaborasi dengan belanda dan kaum bangsawan, tapi kita hanya salahkan Belanda. Raja ata Sultan tetap kita hormati dan tidak boleh disalahkan. 350 tahun situasi itu kita pertahankan. 

No comments:

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...