Tahukah anda ?, kata teman saya konsultan bisnis “ ada lima hal yang semasa presiden sebelumnya tidak mampu dikerjakan namun Jokowi bisa laksanakan. Padahal empat hal itu merupakan amanah Kemerdekaan Indonesia. Apa saja itu ? Pertama penerunan rasio GINI. Kedua pertumbuhan ekonomi diatas inflasi. Ketiga, pembangunan infrastruktur. Keempat, penurunan angka kemiskinan. Kelima, mengangkat nilai nilai islam yang rahmatan lilalamin. Kelima hal itu dilakukan ditengah harga komoditas yang jatuh akibat ekonomi global yang sedang kelabu. Hampir semua negara maju mengalami stuck namun Jokowi terus bisa bergerak walau dengan susah payah. Bahkan ditengah keadaan sulit itu, badai fitnah dan hoax, demo akbar datang bergelombang. Seakan tiada hari tanpa hujatan dan kebencian terhadap Jokowi. “
Saya akan mencoba menulis tentang empat hal tersebut.
Rasio GINI.
Rasio Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Ini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan sempurna. Manfaat, gigunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tiga variabel yang digunakan dalam melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain: Rasio Gini (Ketimpangan), Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Tebuka. Mungkin sebagian anda berkerut kening dengan penjelasan rasio GINI secara akademis. Baiklah saya jelaskan secara sederhana.
Jangan kaget kalau sekali nongkrong di Hotel Berbintang, secangkir kopi sedikitnya keluar uang Rp. 51.000 atau setara USD 4. Bahkan ada yang mencapai harga USD 10. Kalau anda nongkrong di cafe berkelas di Jakarta, sedikitnya bill untuk dua orang makan dan minum bisa mencapai Rp. 500.000. Kalau makan bersama keluarga empat orang bisa mencapai diatas Rp. 1 juta. Bayangkan bahwa mungkin ada puluhan juta orang Indonesia yang pendapatan perbulannya hanya dua kali orang kaya makan siang di cafe berkelas. Ada ratusan juta orang yang penghasilannya sebulan senilai satu kali makan di Cafe berkelas. Mereka yang menikmati kemelimpaham harta itu hanya dibawah 1 persen warga yang hidup berkelimpahan dan tak merasa bersalah terhadap ketimpangan itu. Padahal negeri ini merdeka tidak gratis. Ada ribuan mayat para pejuang berserakan seperti syair Kerawang-Bekasi, Khairil Anwar, atau seperti korban perang terbrutal di Ambarawa.
Nah bagaimana peta ketimpangan rasio GINI ? Tahukah anda bahwa Gini rasio pertanahan saat ini ( 2017) sudah 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 2 persen penduduk Indonesia. Data dari Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyebutkan, 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut, baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap.
Penguasaan lahan itu terjadi sejak era Soeharto. Pada Kabinet Pembangunan dari 1985 sampai 1989, ada 849.678 hektare kawasan hutan yang dilepas. Antara 1990 sampai 1994, ada 1.542.219 hektare. Pada 1995 sampai 1997 ada 1.086.156 hektare. Pada Kabinet Reformasi Pembangunan, dari 1998 sampai 1999 ada 678.373 hektare kawasan hutan yang dilepas. Pada era Kabinet Persatuan Nasional, antara 2000 sampai 2001 ada 163.566 hektare kawasan hutan yang dilepas. Pada era Kabinet Gotong Royong antara tahun 2002 sampai 2004, tak ada angka alias kosong. Pada era Kabinet Indonesia Bersatu antara 2005 sampai 2009, ada 589.273 hektare kawasan hutan yang dilepas. Di era yang sama pada 2010 sampai 2014 ada 1.623.062 hektare kawasan hutan yang dilepas. Pada era Kabinet Kerja antara 2015 sampai 2017, ada 305.984 hektare kawasan hutan yang dilepas. 26 Lokasi dengan luas kurang lebih 232.810 hektare mendapat persetujuan pelepasan antara 2012 sampai 2014 alias era kabinet sebelumnya.
Di sisi lain, Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektar. Ketimpangan GINI itu sudah sejak era Soeharto. Mari kita liat data terjadinya ketimpangan GINI tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2004 GINI rasio baru mecapai 0,32, yang manunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan masih tergolong rendah. Namun, pada 2013, GINI rasio telah menyentuh angka 0,41. Artinya, ketimpangan sudah memasuki skala medium dan tentu saja mengkhawatirkan. Angka GINI rasio sebesar 0,41 menunjukkan bahwa sekitar 49 persen pendapatan nasional terkonsentrasi pada 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi (terkaya). Sementara itu,hanya sekitar 17 persen dari pendapatan nasional yang dinikmati oleh 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah.
Gambaran ketimpangan distribusi pendapatan juga terkonfirmasi dari laporan mengenai distribusi kekayaan penduduk Indonesia yang dirilis oleh Credit Suisse belum lama ini. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sekitar 88 persen penduduk Indonesia memiliki kekayaan kurang dari 10.000 dolar AS. Sementara itu, sekitar 77,2 persen dari total kekayaan nasional pada 2014 ternyata hanya dikuasai oleh 10 persen penduduk terkaya. Itulah yang diwarisi oleh Jokowi selama 10 tahun kekuasaan SBY.
Jokowi adalah satu satunya presiden yang paling banyak mengunjungi rakyat dari pusat kota sampai daerah pinggiran , pular terluar yang berpuluh tahun di punggungi oleh derap pembangunan. Dari sana Jokowi merasakan betapa dahsyatnya ketidak adilan itu. Betapa buruknya ketimpangan itu. Karenanya prioritas pembangunan indonesia centris adalah dengan menyisir daerah tertinggal, di ujung pulau terluar, diatas puncak gunung , dilembah. Karena itu Jokowi bekerja keras siang malam mendorong kabinetnya bekerja keras untuk mengurangi ketimpangan GINI. Badan Pusat Statistik merilis angka ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan indikator Gini Ratio Pada Maret 2018, adalah sebesar 0,389. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,391. Sementara itu, jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,393 turun sebesar 0,004 poin. Penurunan GINI Ratio ini merupakan yang keenam kalinya secara beruntun sejak September 2014. Dia akhir kekuasaan Jokowi diperkirakan rasio GINI kita sudah sama seperti tahun 2004 atau turun hingga 0,36.
Penurunan rasio GINI itu dilakukan dengan memperketat bisnis rente sehingga modal tidak terkonsentasi pada kelompok tertentu. Memperluas pencegahan korupsi yang bukan hanya pada birokrasi juga sampai ketingkat korporasi. Jokowi juga mengeluarkan moratorium pembukaan lahan perkebunan Sawit. Jadi tidak ada lagi izin untuk membuka lahan baru untuk perkebunan. Pada waktu bersamaan Jokowi melaksanakan reformasi agraria dengan membagikan tanah kepada rakyat miskin yang tinggal di lahan produktif milik negara. Upaya Jokowi untuk menekan GINI rasio sudah terbukti sukses.
Pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak mengalami kenaikan significant. Di periode pemerintahan SBY Indonesia sempat mencatat pertumbuhan PDB tertinggi selama 10 tahun terakhir di kisaran 6,5 % sedangkan di era pemerintahan Jokowi pertumbuhan PDB tidak pernah melewati angka 5,3 %. Namun catat! Pertumbuhan kiita diatas rata rata inflasi. Silahkan cek data sebelumnya. Hanya di era Jokowi inflasi single digit dibawah 4%. Bandingkan dengan era SBY.
Bahkan sesama negara emerging market seperti Turki yang tumbuh 7% tapi inflasi 15%. Dalam konteks situasi ekonomi global yang sedang lesu maka pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah nomor tiga terbaik di antara Negara G20. Indonesia masih diatas 17 negara maju seperti Eropa, Jepang, Korea Selatan, Singapore, Australia, Swiss, Rusia, Arab Saudi dan lainnya. Semua negara itu menurun ekonominya ditengah situasi global. Sementara Indonesia masih bisa tumbuh, walau komoditas utama kita jatuh harganya dipasar dunia. Apakah negara tersebut akan miskin selamanya? tentu tidak. Pertumbuhan ekonomi bukanlah ancaman kemiskinan. Itu hanya indikator makro dan masih banyak indikator lain.
Pembangunan infrastruktur
Infrastruktur diperlukan untuk efisiensi logistik nasional. Ongkos logistik era SBY Indonesia diperkirakan sekitar 20-25% dari PDB. Jika dihitung dengan PDB tahun 2010 sebesar Rp 2.310,7 triliun atas dasar harga konstan, maka ongkos logistik Indonesia sekitar Rp 500 triliun, itu sama dengan setengah dari APBN habis untuk ongkos logistic yang tidak efisien. Hal ini salah satu penyebab mengapa tingginya angka pertumbuhan ekonomi di era SBY tidak berdampak luas terhadap perluasan produksi dan kesempatan kerja. Era SBY berkuasa, kinerja Logistik sangat buruk, bahkan di bawah negara tetangga di Asia. Bank Dunia (2012) mempublikasikan Logistic Performance Index yang menempatkan kinerja sektor logistik Indonesia pada urutan 59 dari 155 negara. Posisi yang jauh di bawah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, maupun Filipina yang memiliki kondisi geografis relatif sama dengan wialayah nusantara. Dari segi layanan logistik yang ada di Indonesia masih terlalu panjang dan tidak efisien atau tepatnya amburadul, yang berdampak harga barang menjadi mahal.
Contoh biaya logistik untuk produk pertanian masih di atas 40 persen. Akibatnya jangan kaget bila harga panen yang awalnya sangat rendah menjadi begitu tinggi di pasaran karena biaya transportasi dan logistik cukup besar. Bahkan, tak jarang harga sayuran dalam negeri justru lebih mahal ketimbang produk hortikultura impor, seperti wortel , bawang dari China atau Thailand, Malaysia. Padahal bahan makanan pokok, termasuk hortikultura, menyumbang sekitar 35 persen sumber inflasi. Tanyalah harga bahan bangunan kepada orang Papua, sangat mahal. Sektor logistik secara makro menentukan daya saing suatu negara. Bila daya saing diartikan sebagai perbandingan produktivitas dan biaya, maka daya saing dapat diukur melalui persentasi ongkos logistik terhadap pendapatan nasional bruto suatu negara. Semakin rendah ongkos logistik maka semakin baik daya saing negara tersebut.
Era JKW Pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi prioritas. Berdasarkan data yang ada, anggaran pembangunan infrastruktur di APBN memiliki tren yang terus meningkat tiap tahunnya. Untuk mempercepat pembanguan infrastruktur, pemerintah melalui Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) menetapkan 30 proyek infrastruktur senilai Rp 851 triliun sebagai proyek prioritas periode 2016-2019. Proyek tersebut mendapat fasilitas jaminan politik, perizinan, dan finansial yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Tahun 2019 dianggarakan Rp 420,5 triliun yang diperuntukan membangun 667 kilometer ruas jalan nasional baru, 905 kilometer jalan tol, 48 unit bendungan, dan 162 ribu hektar jaringan irigasi.
Banyak pihak menuduh JOKOWI jor-joran membangun insfrastruktur tanpa memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Harap dicatat bahwa alokasi anggaran untuk APBN tetap menjaga keseimbangan kebutuhan anggara lainnya khususnya bidang pendidikan dan sosial. Bahkan anggara pendidik dan sosial meningkat lebih besar daripada anggaran Infrastruktur. Menurut proyeksi PWC Indonesia, presentase anggaran infrastruktur pada APBN 2017 berikisar pada 19% dibawah target pemerintah dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan/Compound Annual Growth Rate (CAGR) investasi sektor infrastruktur periode 2014-2019 diprediksi mencapai 9,5%. Artinya tetap mengutamakan anggaran sektor lain.
Karenanya walau pembangunan terus dilakukan sejak Jokowi berkuasa namun negara tetangga yang sadar akan kompetisi era MEA juga memacu pembangunan insfrastrukturnya. Berdasarkan penilaian Logistic Performance Index (LPI) Indonesia berada di peringkat 63 dengan skor 2.98 berada dibawah Thailand peringkat 45 dengan skor 3.26, Malaysia peringkat 32 dengan skor 3.43, dan Singapura peringkat 5 dengan skor 4,14. Sedangkan berdasarkan penilaian Global Competitiveness Index, peringkat Indonesia cenderung menurun dari posisi 34 pada tahun 2014-2015 menjadi posisi 37 pada tahun 2015-2016 dengan skor 4.52. 2016-2017 posisi 47 dan 2018 di posisi 45. Rendahnya indeks infrastruktur berdampak pada tingginya biaya logistik yang bermuara pada ekonomi biaya tinggi dan mahalnya biaya barang dan jasa serta berdampak pula pada menurunnya tingkat persaingan di masyarakat dalam kegiatan perekonomian.
Artinya begitu hebatnya Jokowi memacu pembangunan insfrastruktur masih kalah hebat negara tetangga. Bahkan masih kalah jauh jika dibandingkan negara anggota G20. Sebagai contoh, India sejak tahun 2009 investasi infrastruktur sudah diatas 7% PDB, dan Tiongkok sejak tahun 2005 sudah mencapai 9-11% PDB. Sedangkan Indonesia sampai sekarang total investasi infrastruktur dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan swasta hanya mencapai sekitar 4,5% – 5% dari PDB. Mengapa ? Karena negara tetangga didukung penuh oleh elite politiknya dan rakyatnya antusias mendukung pemerintah membangun insfrastruktur dan mereka siap mengorbankan semua subsidi demi terbangunnya sistem logistik yang efisien. Semakin efisien logistik semakin competitive negara tersebut. Bayangkan apa yang terjadi pada negara kita pada 5 tahun mendatang bila pembangunan insfrastruktur tidak dikebut dibangun? Yang pasti negara kita akan dikuasai oleh negara ASEAN, dan China. Maklum era MEA ( Masyarakat Ekonomi ASEAN ) berlaku desember 2015, ACFTA ( ASEAN CHINA FREE TRADE AREA telah berlaku 2010. Kita akan digilas oleh kekuatan regional. Jadi yang antipati dengan pembangunan insfrastruktur adalah mereka yang ingin indonesia dikuasai asing. Apapun kritik mereka tak lain adalah propaganda bagaimana agar indonesia lemah. Faktanya kini belum ada presiden sebelumnya yang lebih baik dari Jokowi dari segi pembanguna infrastruktur.
Penurunan angka kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data angka kemiskinan pada Maret turun menjadi 9,82% alias 1 digit atau di bawah 10%. Jumlah penduduk miskin di bawah 10% ini pertama kali terjadi di Indonesia setelah periode pemerintahan sebelum-sebelumnya. Namun, banyak pihak tak percaya dengan data tersebut. Turunnya angka kemiskinan bukan fake data atau retorika tetapi fakta hasil dari kerja keras pemerintah dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan. Fakta pertama adalah karena inflasi rendah. Dari September 2017 hingga Maret 2018, inflasi tercatat hanya 1,92%. Dengan inflasi rendah maka harga dapat terkendali sehingga tidak membuat harga melambung yang membuat orang miskin semakin miskin. Jadi yang bilang harga kebutuhan pokok melambung itu HOAX.
Fakta kedua, rata rata pengeluaran harian untuk 40% lapisan masyarakat terbawah meningkat. Mengapa ? Itu berkat bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah. Pada triwulan 2018 bantuan sosial tumbuh lebih bagus 87,6% dibandingkan triwulan 1 2017. Program rastra dan bantuan pangan non tunai juga tersalurkan dengan bagus. Fakta ketiga, nilai tukar petani (NTP) yang berada di atas 100. Ini adalah indikator yang mengukur kesejahteraan petani. Jika NTP di atas 100, artinya petani mengalami surplus. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya. Mungkin anda masih tidak percaya. Itu kan hanya rekayasa pemerintah. Mari kita lihat fakta lain. Bank Dunia mengeluarkan dana hibah sebesar USD 400 juta kepada Indonesia. Mengapa ? karena indonesia di era Jokowi mempunyai program dengan anggaran puluhan triliun untuk mengatasi stunting ( Kurang gizi pada anak balita ). Program ini dibuat karena berdasarkan hasil survey Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 era SBY, satu dari tiga anak disebut Bank Dunia mengalami stunting. Jokowi sukses mengurangi penyakit stunting ini. Indonesia dijadikan proyek percontohan Bank Dunia bagi negara lain dalam rangka Human Development Worker (HDW). Jadi kalaulah Bank Dunia sampai memuji dan keluar uang maka itu bukan lagi sukses fake story tetapi realita. KIta harus akui.
Islam rahmatan lilalamin.
Teman saya kemarin datang dari Teheran. Dia menawarkan kerjasama mengembangkan pabrik Turbine, yang rencana akan di bangun di China. Yang menarik apa yang dia katakan adalah “ Kini satu satunya hanya Jokowi, yang pantas menjadi pemimpin umat islam se dunia. “ Saya terkejut. Mengapa dia sampai simpulkan. Padahal Iran adalah negara yang punya banyak mullah dan tak henti ingin digaris depan memperjuangkan nilai nilai islam berhadapan dengan pihak lain. Menurutnya, adalah karena sikap tegas Jokowi terhadap konplik regional. Ketika Arab berseteru degnan Qatar, saya membayangkan Jokowi akan berada di belakang Arab. Tapi saya salah. Jokowi dengan tegas tidak mendukung siapapun. Justru minta masalah di selesaikan dalam kuridor OKI.
Nampaknya Jokowi ingin melaksanakan masalah internal islam, sebagai sebuah keluarga yang tak perlu melibatkan orang luar menyelesaikan konplik. Kembali ke keluarga. Islam punya OKI untuk duduk bersama secara ukhuah dan berdamai demi mencari Ridho Allah. Dalam kasus Suriah, pemerintah Liga Arab dan Turki berkali kali minta agar Indonesia ikut larut dalam konplik menjatuhkan Bashar tapi Jokowi tidak pernah mau terlibat. Jokowi tetap inginkan masalah itu di selesaikan dalam kuridor OKI, Dan dia akan tampil sebagai penengah dengan segala resiko. Sementara sebagai presiden, Jokowi sangat patuh dengan UUD 45 yaitu Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Kalau Jokowi tetap mendukung Bashar karena memang Bashar presiden yang terpilih lewat pemilu yang legitimate.
Jokowi tidak pernah takut dengan tekanan AS , China atau Rusia dalam konstelasi konplik di Timur Tengah atau wailayah lain yang melibatkan Islam. Dia tidak terseret kemana mana. Dia focus penyelesaian secara ukhuah islamiah. Dan untuk itu dia tidap pernah kehilangan harapan untuk terus memberikan inspirasi bagi pemimpin muslim dimana saja. Puncaknya, ketika ada aksi 411 dan 212. Andaikan itu kejadian di Turki, atau di Arab atau Mesir, mungkin sudah jadi lautan darah, dan penangkapan ribuan orang masuk penjara. Tapi dunia melihat lewat televisi, bagimana hebat akhlak islam itu terpancarkan kedunia. Seorang presiden yang di kawal 500.000 tentara dan 500.000 Polisi tapi tak satupun peluru lepas dari bedil. Bahkan dengan rendah hati dia mendatangi massa islam yang marah dan menghujatnya. Dia membalasnya dengan cinta.
“ Bro, tidak ada pemimpin sehebat itu. Tanpa akhlak islam yang mendidiknya tak mungkin dia sehebat itu. Makanya, kehadiran Jokowi, memaksa dunia harus bertafakur atas hidup ini. Sehebat apa sih pemimpin itu? , sehebat apa sih ulama itu? , kalau selalu jalan konplik sebagai solusi menyelesaikan masalah maka mereka belum menjalankan akhlak islam. Justru mereka membuat syiar islam semakin meredup. Dan kehadiran Jokowi menyadarkan dunia bahwa akhlak islam seharusnya di garis depan menciptakan perdamaian dunia diatas banyak perbedaan. Seperti pidato Obama baru baru ini: Islam itu rahmat bagi semua. “ Katanya. Saya tersenyum. Saya hanya bisa berdoa semoga rakyat indonesia menyadari ini, bahwa kehadiran Jokowi adalah rahmat Tuhan yang harus di sukuri agar kita tidak kufur nikmat…jangan lagi anggap Jokowi sebagai anti islam. Jokowi bukan Raja Salman yang menangkapi ulama aliran keras. Bukan Erdogan yang menangkapi ribuan demontran dan menjadikan ulama terpidana karena terlibat kudeta. Bukan.