Saya sering menulis tentang
spiritual tanpa menyitir ayat atau firman Allah , ternyata di like bukan hanya
oleh mereka yang beragama islam tapi juga
non islam. Padahal semua pesan dalam tulisan itu saya dapat dari firman
Allah dan hadith Nabi. Mengapa ? karena pesan spiritual sosial adalah hubungan
horizontal antara manusia dengan manusia. Ini bahasa universal , apalagi di
sampaikan berdasarkan ajaran Islam maka ia bukan hanya universal tapi semesta
,lintas waktu.Tentu di terima oleh semua orang.
Tapi kalau sudah bicara hubungan vertikal atau hubungan antara kita
dengan Allah maka keadaannya lain. Bukan hanya dengan non muslim yang tidak
akan dapat like tapi juga banyak dari kalangan islam juga tidak sependapat.
Bahkan kalau saya mencoba membangun teori dengan pemikiran bebas terhadap
firman Allah dan hadith maka orang islam akan cap saya islam leberal karena
pendapat saya tidak sesuai dengan ulama yang di imaninya. Kalau saya ladenin
maka hubungan kemanusiaan saya dengan dia akan rusak. Mengapa ? karena itu akan
jadi ajang pertengkaran.
Memang aneh dalam beragama. Kalau
bicara hubungan dengan Allah akan selalu saja menjadi medan perang dalil. Seakan
kebebasan berpikir di haramkan. Padahal Allah sendiri dengan jelas mengatakan
bahwa gunakan akalmu. “Sesungguhnya didalamnya terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang-orang yang menggunakan aqlnya . Tidak sedikit Al Quran dalam ayat-ayatnya
menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan mempergunakan
akalnya. Banyak variasi kata dalam al Quran yang menggambarkan aktifitas
berfikir, bukan hanya aql tetapi juga kata-kata seperti : Nadzara; melihat
secara abstrak, dalam artian berfikir dan merenungkan, Tadabbara; merenungkan,
Tafakkara; berfikir, Faqaha; mengerti, faham, Tadzkkara; mengingat, memperoleh
peringatan, memperhatikan, Fahima; memahami, Selain itu juga terdapat alam al
Quran sebutan-sebutan yang memberi sifat berfikir bagi seorang muslim yaitu :
Ulul Albab ; orang berfikiran, Ulul Ilmi; orang yang berilmu, Ulun Nuha; orang
bijaksana. Berkaitan dengan filsafat Islam, Integralitas wahyu dan Akal adalah
sebuah keniscayaan, dimana posisi akal dapat berdampingan dengan wahyu yang
transendental untuk ‘melihat’ kehadiran Tuhan dalam relitas kehidupan.
Lantas bagaimana bedanya hubungan
antara konsep berpikir hubungan antar manusia dengan hubungan dengan
Allah? Kalau anda berhubungan dengan
manusia tanpa dasar Tauhid maka itu hanya akan jadi hubungan transaksional.
Anda berbuat baik karena berharap orang lain juga berbuat baik kepada anda.
Anda inginkan damai agar orang lain juga tidak menyerang anda. Tapi kalau
harapan tidak bersua dengan kenyataan , anda pasti kecewa. Artinya ketika anda
berbuat sesuatu tidak ada kesan positip
pada jiwa kecuali rasa kawatir kalau harapan tidak bersua kenyataan. Dan bila benar buruk yang
didapat , anda kecewa. Kalau baik yang di dapat ,anda senang. Artinya dalam
proses kehidupan anda sangat tergantung dengan situasi dan kondisi di masa
depan. Hidup anda renta. Bagaimana
dengan perbuatan yang di dasarkan kepada Tauhid ? Kita berbuat baik tidak tergantung kepada manusia. Tidak
berharap kepada manusia. Kita berbuat baik dan bergantung hanya karena Tuhan.
Apa yang terjadi dengan jiwa kita ? Ketika kita berbuat, jiwa kita merasa bahagia dan bila yang buruk
yang terjadi kita sudah siap karena kita percaya bahwa setiap keimanan yang di
dasarkan niat baik serta perbuatan baik
akan selalu di uji oleh Allah. Mengapa ? agar kita semakin matang secara
kejiwaan. Jadi baik dan buruk yang kita dapat dari perbuatan baik kita , selalu
baik untuk perkembangan jiwa kita. Kita sehat lahir dan batin karena situasi dan
kondisi yang ada. Kini atau besok sama saja. Indah kan.
Kalau benar bahwa cara berpikir
berdasarkan Tauhid itu menentramkan, lantas bagaimana caranya? Bukankah banyak
orang beragama tapi justru spiritual sosialnya miskin sekali. Kembali lagi persepsi anda tentag Allah harus
di perbaiki dulu. Persepsi tentang agama
itu juga harus di perbaiki. Kalau anda
anggap cara berhubungan dengan Allah itu rumit maka agama akan menjadi cara
yang rumit di laksanakan sehingga tidak semua orang bisa memahaminya. Ini
salah. Allah itu tidak rumit di dekati. Agama bukan hal yang sulit di
laksanakan dan dipahami. Yang rumit adalah cara umatnya yang berpikir ekslusif karena akalnya di
penjara. Anda harus melaksanakan ritual yang diajarkan oleh Agama. Ritual ini
keliatannya seperti sulit dipahami oleh akal. Tapi mudah di pahami. Mengapa ?
Karena kita tinggal di dunia dan terikat dengan aksi dan reaksi. Hubungan anda
dengan Tuhan yang imaginer itu tidak akan menyatu tanpa ritual seperti contoh dalam islam melaksanakan syahadat , sholat , puasa, zakat dan haji. Kalau kegiatan
ritual ini anda lakukan secara rutin dengan disiplin tinggi maka secara kejiwaan
akan melekat menjadi auto response terhadap realita yang ada. Tapi kalau anda
tidak melakukan ritual maka informasi tentang Tuhan hanya akan berputar putar
di dalam pikiran anda tanpa bisa menjadi sebuah keyakinan. Mengapa ? karena
memahami Tauhid tidak bisa hanya di selesaikan dengan akal tapi juga harus melalu prosesi
ritual.
2 comments:
Saya sepakat, prespektif Tauhidlah yg akan membuka simpul aplikasi ibadah dan pemahamannya yanh lain. Krn Tuhan itu benar2 ada dan bukan imajiner belaka.. #like
Saya sepakat, prespektif Tauhidlah yg akan membuka simpul aplikasi ibadah dan pemahamannya yanh lain. Krn Tuhan itu benar2 ada dan bukan imajiner belaka.. #like
Post a Comment