Sahabat saya dalam bisnis
sebagian besar beragama Non Muslim. Mereka kebanyakan orang asing. Pada setiap
hari besar Islam, mereka selalu mengucapkan selamat kepada saya. Begitu cara
mereka menghormati persahabatan dengan saya. Sebaliknya setiap hari besar agama
mereka , saya juga mengucapkan selamat. Ya, sebentar lagi ada hari keagamaan
bagi umat kristiani yaitu Natal. Dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada 1 Jumaidil Awal 1401 atau 7 Maret 1981 itu, Buya Hamka menetapkan keputusan bahwa Natal bersama adalah haram hukumnya. Artinya haram apabila kita ikuti prosesi ibadah Natal di Gereja seperti misa , berdoa, mendengar kotbah. Tapi
kalau hanya mengucapkan Selamat Natal atau hadir pada satu event diluar gereja yang tidak termasuk dalam prosesi ibadah Natal, itu tidak melanggar Fatwa MUI,dan Hamka pernah mengatakan dalam majalah Panjimas bahwa itu dibolehkan dengan alasan toleransi. Mengapa saya bersandar pada buya Hamka? Pertama, dia
adalah ulama besar Indonesia dan pernah menjadi ketua MUI. Kedua, disamping
ulama, beliau juga adalah politisi, tokoh Muhammdiah. Ketiga , dalam pohon
keluaga besar, saya termasuk cucu beliau dari garis Ibu ( nenek ). Saya tahu percis bahwa Buya Hamka sangat toleran dengan orang yang berbeda agama.Argumentasi beliau mempertahankan aqidah sangat jelas tanpa membuat orang berbeda agama merasa tersinggung. Sikap beliau terhadap toleransi didasarkan pemahaman agama yang luas , yang ditulis dalam Tafsir Al Azhar.
Dalam Al-Baqarah 62:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani
dan Shabi’in, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan
beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka,
dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.”. Kemudian
al-Maidah 69: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi
dan (begitujuga) orang Shabi’un, dan Nashara, barang sipa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada
ketakutanatas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.”.Bagaimana
penafsiran Hamka atas kedua ayat ini ? “Inilah janjian yang adil dari Tuhan
kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau
merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan
mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal
shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan
tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), Tafsir Al Azhar halaman
211. Yang menarik, Hamka dengan santun
menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran yang artinya: “Dan
barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima dari padanya. Dan di Hari
Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.”(Halaman 217).
Alasan Hamka bahwa ayat
85 surat Ali ‘Imran tidak menghapuskan
Al-Baqarah ayat 62 itu sebagai berikut:
“Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini
melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan
Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya,
segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad
s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.”(Halaman 217). “Kalau
dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran itu, yang
akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah
mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita
pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu
da’wah senantiasa terbuka,dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap
(tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.” (Halaman
217). Tentang neraka, Hamka bertutur:
“Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa
yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh DziNuwas Raja
Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi,
padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari
Akhirat esok, karena menolak kebenaran.” (Halaman 218).
Sikap Hamka yang menolak bahwa
ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat
Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia
ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal
saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Dalam kehidupan
kita sekarang, kadang bila ada orang beragama lain yang begitu baik amalannya
kita curigai dengan kefanatikan kita. Yang kadang-kadang saking fanatiknya,
maka imannya bertukar dengan cemburu: "Orang yang tidak seagama , yang
tidak semahzab ,yang tidak seide dengan kita adalah musuh kita. "Dan ada
lagi yang bersikap agresif., menyerang, menghina, dan menyiarkan propaganda
bahwa agama /golongan yang lain itu kafir, sesat, bid'ah.Ternyata kita terlalu
hebat belajar mengurai dalil dibalik hadith Rasul dan Firman Allah namun kadang
kita sangat lupa tentang pribadi Rasul yang lebih mengutamakan perdamaian dan
Allah yang maha pengasih lagi penyayang. Ketahuilah bahwa tidak ada Kitab Suci
dimuka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Alquran.
Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256;
Yunus 99).
No comments:
Post a Comment