Tadi pagi seusai sholat subuh
berjamaah, istri saya berkata kepada saya bahwa hanya masalah waktu sibungsu kami
akan juga berumah tangga. Maka dirumah hanya tinggal kami berdua saja. Bila saya
keluar negeri maka istri akan tinggal dirumah sendirian. Nampak wajahnya murung
namun hanya sebentar. Dia kembali tegar dan berkata bahwa andaikan saya
dipanggil Allah lebih dulu , dia tidak akan pernah meninggalkan rumah ini. Dia
tidak mau jauh dari kamar tidur kami. Dia akan nikmati kesendirian dengan damai
sambil berdoa untuk anak cucunya, serta berharap tubuh tetap sehat untuk bisa pergi
menengok anak cucunya, kapanpun dia mau. Dia berharap sayapun akan melakukan hal
yang sama bila dia panggil Allah lebih dulu. Saya hanya tersenyum mendengar
celoteh istri sepagi ini. Namun saya dapat merasakan kekawatiran sangat pada
dirinya tentang kesendirian yang pasti dijemput dan dirasakannya. “ Mbak pulang
kekampung karena orang tuanya sakit. Semoga orang tuanya cepat sembuh dan mbak
cepat kembali kerja.” Demikian bunyi SMS dari ibu saya yang mengabarkan ART
pulang. Walau hanya sebuah pesan singkat namun setelah membacanya air mata saya
berlinang. Betapa tidak. Pesan itu bermakna mendalam , bahwa keseharian bunda
diurus oleh orang lain yang berstatus Asisten Rumah Tangga ( ART). Tujuh orang anak dilahirkannya, namun masa tuanya diurus orang lain. Walau Bunda tinggal dirumah namun apa bedanya
dengan tinggal dirumah jompo? Berkali kali saya dan saudara saya meminta agar
bunda tinggal bersama kami. Tapi Bunda menolak karena dia tidak mau keluar dari
rumah warisan ayah.
Kami meminta Bunda tinggal
bersama kami untuk kami rawat dan jaga karena begitulah perintah Allah, bahwa “
jangan menyembah selain aku dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu (QS.
Al Isra’:23). Kewajiban menyembah kepada Allah bersanding dengan kewajiban
berbuat baik kepada Bunda. Inilah keadilan Allah. Karena ketika Bunda berkorban
sebetulnya itulah repliksi cinta Allah yang hadir dalam kehidupan kami.
Mencintai dan menghormati Bunda adalah repliksi kecintaan kepada Allah itu
sendiri. Bila cinta Bunda tak bertepi maka begitulah cinta Allah yang juga
tidak bertepi. Rasa syukur kepada Allah
haruslah terujudkan dengan senantiasa menghormati dan berkorban kepada kedua
orang tua , khususnya Bunda ( QS-Luqman 14 ). Itu mengapa ketika saya dengan
tegas berkata kepada istri saya bahwa saya tidak akan pergi lebih dulu ke Tanah
Suci untuk melaksanakan rukun islam ke lima sebelum Bunda pergi menunaikan
ibadah haji lebih dulu. Istri saya
tersenyum bahagia dengan sikap saya dan karena itu adalah pelajaran terindah
untuk anak anak kami bahwa orang tua harus utama. Tapi sebegitu besarnya
keinginan kami untuk memuliakan Bunda , namun Bunda punya sikap sendiri. Dia
ingin tetap dirumah bersama kenangan indahnya dengan Ayah. Bukan itu saja, juga kenangan indah tempat dimana dia membesarkan tujuh orang anaknya dengan segala kepayahan.Tidak ada tempat terindah selain dirumah ini, demikian kata bunda suatu waktu. Lelahnya segera larut bukan ketika kami menamatkan kuliah tapi ketika kami berumah tangga,Itu tandanya sebentar lagi dia akan mendapatkan cucu.
Lamunan saya kepada Bunda dirumah. Bunda baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, Hari Raya idul fitri masih lama, gumamnya. Karena hanya idul fitri hidupnya terasa lengkap, dengan wajah yang tak pernah henti tersenyum bahagia melihat anak,menantu, cucu, cicit datang memeluknya dengan hangat. Setelah hari raya, bunda kembali dengan kesendiriannya. Kemudian perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dari masing masing putra putrinya. Dengan bingkai beraneka rupa sesuai dengan 7 orang anaknya. Juga photo wisuda anak, cucu yang juga terpampang didinding. Salah satu photo itu ada juga ketika bunda duduk dipelaminan bersama ayah. Bunda mengamati satu persatu foto yang terpampang tersebut. Suaminya. Dan tujuh orang anaknya. Tiga laki-laki dan empat orang perempuan. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Bunda menghela nafas panjang. Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu? Bunda bergumam sendiri, lalu duduk dilantai beralaskan karpet lembut untuk memulai aktivitasnya tiap malam, mengaji. Menulis untaian dakwah sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini ia rasa bergerak sangat lamban. Semenjak kami semua berkeluarga, serta semenjak ayah meninggal, rumah itu mulai sunyi.
Hanya Etek, adik ayah yang juga sudah uzur bertaut 5 tahun usianya dengan bunda yang setia mendampingi bunda. Usia bunda sudah tujuh puluh empat tahun. Tak banyak kesulitan memang dalam hidup bunda. Selain rumah peninggalan warisan ayah, kamipun tidak pernah absen untuk mengirimkan uang tiap bulan dan memenuhi semua kebutuhan bunda. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya? Tiap hari dilalui oleh bunda seolah-olah hari yang sama. Selalu bangun jam 3 pagi. Setelah sholat tahajud , dia mulai mengaji menanti subuh. Setelah itu Bunda akan melangkah kemasjid yang tak jauh dari Rumah untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Seusai sholat subuh , bunda akan berjalan pagi, biasanya tujuannya adalah Panti Asuhan yang didirikannya lima tahun lalu. Menjelang siang, bunda akan kembali kerumah. Demikian rutinitasnya. Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beriya. Ya, mereka semua jauh. Bunda tak sanggup memaksa kami untuk pulang, untuk menetap bersamanya sebagaimana bunda tak ingin tinggal bersama kami, dirumah kami. Tak terasa air mata saya berlinang. Bunda tentu sangat merindukan kami, apalagi cucunya. Sebagaimana istri saya sangat rindu untuk memeluk cium anak cucunya. Bila rindu itu datang, kadang tak bisa dibendung untuk segera bersua. Tak dilaksanakan tentu akan menyiksa. Itu jugalah yang dirasakan oleh bunda, bertahun tahun lamanya jauh dari kami.
Lamunan saya kepada Bunda dirumah. Bunda baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, Hari Raya idul fitri masih lama, gumamnya. Karena hanya idul fitri hidupnya terasa lengkap, dengan wajah yang tak pernah henti tersenyum bahagia melihat anak,menantu, cucu, cicit datang memeluknya dengan hangat. Setelah hari raya, bunda kembali dengan kesendiriannya. Kemudian perhatiannya beralih pada sebuah foto keluarga dari masing masing putra putrinya. Dengan bingkai beraneka rupa sesuai dengan 7 orang anaknya. Juga photo wisuda anak, cucu yang juga terpampang didinding. Salah satu photo itu ada juga ketika bunda duduk dipelaminan bersama ayah. Bunda mengamati satu persatu foto yang terpampang tersebut. Suaminya. Dan tujuh orang anaknya. Tiga laki-laki dan empat orang perempuan. Entah mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Bunda menghela nafas panjang. Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak. Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah kesendirian dapat melunasi semua itu? Bunda bergumam sendiri, lalu duduk dilantai beralaskan karpet lembut untuk memulai aktivitasnya tiap malam, mengaji. Menulis untaian dakwah sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini ia rasa bergerak sangat lamban. Semenjak kami semua berkeluarga, serta semenjak ayah meninggal, rumah itu mulai sunyi.
Hanya Etek, adik ayah yang juga sudah uzur bertaut 5 tahun usianya dengan bunda yang setia mendampingi bunda. Usia bunda sudah tujuh puluh empat tahun. Tak banyak kesulitan memang dalam hidup bunda. Selain rumah peninggalan warisan ayah, kamipun tidak pernah absen untuk mengirimkan uang tiap bulan dan memenuhi semua kebutuhan bunda. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya? Tiap hari dilalui oleh bunda seolah-olah hari yang sama. Selalu bangun jam 3 pagi. Setelah sholat tahajud , dia mulai mengaji menanti subuh. Setelah itu Bunda akan melangkah kemasjid yang tak jauh dari Rumah untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Seusai sholat subuh , bunda akan berjalan pagi, biasanya tujuannya adalah Panti Asuhan yang didirikannya lima tahun lalu. Menjelang siang, bunda akan kembali kerumah. Demikian rutinitasnya. Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dari rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang menggelitik: Kalaupun ada batang cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada tempat beriya. Ya, mereka semua jauh. Bunda tak sanggup memaksa kami untuk pulang, untuk menetap bersamanya sebagaimana bunda tak ingin tinggal bersama kami, dirumah kami. Tak terasa air mata saya berlinang. Bunda tentu sangat merindukan kami, apalagi cucunya. Sebagaimana istri saya sangat rindu untuk memeluk cium anak cucunya. Bila rindu itu datang, kadang tak bisa dibendung untuk segera bersua. Tak dilaksanakan tentu akan menyiksa. Itu jugalah yang dirasakan oleh bunda, bertahun tahun lamanya jauh dari kami.
Mungkin ini yang kita lupa. Bahwa
suatu saat pasangan kita pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri.
Ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua.
Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari kesendirian. Rindu
hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah milik Tuhan! Bunda sadar itu dan dia ikhlas.Semoga kelak istri saya juga bisa seperti Bunda...
No comments:
Post a Comment