Kemarin di Masjid
Istiqlal saya bertemu dengan kenalan dan ngobrol sambil menanti waktu
sholat maghrib. Saya yakin dia bukan
orang terdidik baik dari golongan menengah atas namun dia cukup cerdas sebagai
penduduk jakarta. Mengapa saya bilang cerdas? Karena dia bisa bertahan dan
surivive di Jakarta. Hanya orang cerdas yang bisa survive di Jakarta.
Menurutnya Jakarta banjir sejak zaman Belanda. Semua tahu itu. Karena banjir
sudah menjadi tradisi tahunan bagi rakyat DKI maka mereka hadapi dengan ikhlas
sebagai sebuah rutinitas seperti layaknya mendapatkan pemimpin yang selalu
brengsek disetiap lima tahun sekali. Tapi mengapa sekarang Banjir menjadi berita
hebat dan selalu muncul di media TV dan dibicarakan oleh semua elite politik? Seakan
semua peduli akan nasip derita rakyat Jakarta?
Karena seorang Jokowi maka peristiwa rutin yang hampir tidak pernah
dipedulikan secara hati oleh pemimpin sebelumnya kini menjadi marak. Orang baru
tahu bahwa Jakarta itu korban dari salah urus dan salah asuh oleh pemerintah.
Antara pusat dan daerah punya kepentingan dan arogansi terhadap Jakarta. Tahukah anda bahwa wewenang menjaga fungsi Waduk, urusan
13 sungai besar yang berhulu di provinsi lain dan melintasi Jakarta, wewenang
pengelolaannya ada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. Adapun Pemerintah
Provinsi Jakarta hanya memiliki kewenangan pada sungai kecil, saluran
penghubung, dan saluran mikro saja. Padahal sumber banjir itu ada pada kehandalan
management kanal barat dan kanal timur serta waduk. Demikian katanya kepada
saya dengan penuh yakin, seyakin dia mendapat tahu dari media massa.
Teman saya direksi BUMN
mengatakan bahwa mental birokrat dari pemerintah pusat dan Gubernur sebelumnya
sangat ketal sehingga terkesan suka menunda nunda menyelesaikan masalah, hingga
masalah Jakarta menjadi besar dan sangat besar yang tak mungkin diselesaikan
dengan cepat kecuali ada revolusi sistem. Namun semua tahu bahwa di republik
ini tidak akan ada tindakan cepat demi perbaikan dan keadilan,apalagi kalau
sudah menyangkut wewenang maka tidak mudah dibicarakan. Pejabat indonesia
keberatan wewenangnya diambil namun kalau ada masalah sangat pandai excuse seakan lari dari tanggung jawab. Maklum
setiap wewenang berhubungan dengan anggaran dan itu berhubungan dengan “bidang
basah".Selama setahun Jokowi
berusaha untuk beradaptasi dengan situasi pengelolaan ibukota yang brengsek
ini. Semua tahu bagaimana waduk Pluit diselesaikan oleh Jokowi padahal itu wewenang Pemerintah Pusat. Memang tidak mudah! Namun dia
berusaha untuk berdamai dengan realitas bahwa dia bagian dari sistem yang brengsek itu. Banyak program solutif untuk mengatasi banjir namun pelaksanaannya selalu terbentur birokrasi hubungan Pusat dan Daerah. karenanya memang tidak banyak yang bisa dia
perbuat namun walau kecil yang baru dia lakukan dalam usia setahun kekuasaannya
telah berhasil membuat perubahan significant. Titik banjir di zaman Foke
awalnya 78, berkat ada Banjir Kanal Timur,
turun jadi 62. Zaman Jokowi turun lagi
jadi 45 dan sekarang sudah 35 titik ,setengah titik wilayah banjir berkurang. Ini
prestasi yang sangat besar. Sangat besar. Kenalan yang saya temui di masjid
istiqlal itu mengatakan bahwa biasanya didepan istiqlal ini banjir sampai ke
pasar baru tapi sekarang sudah tidak ada lagi.
Ketika banjir datang , Jokowi
selalu hadir ditengah tengah rakyat.Dia berdialogh dengan rakyat dan ikut
terlibat langsung memberikan bantuan kepada korban banjir. Dia tidak sedang
mencari popularitas namun kuli media selalu
mengikuti kemana dia pergi. Dia hanya ingin tahu keadaan rakyatnya.Tidak
perlu kata kata untuk mengungkapkan perasaan berasalahnya dihadapan
rakyat,seperti yang diinginkan oleh Amin Rais. Dengan kehadirannya seiap hari
ditengah korban banjir dan mimik wajahnya sudah cukup menggambarkan betapa dia
sangat sedih dan bersalah karena dia ada didalam sistem kekuasan negeri ini
yang membuat rakyat jadi korban akibat kebijakan yang tak pernah serius
berpihak kepada rakyat kecil. Tak sedikit dia diserang oleh para politisi
dengan kata kata tendesius namun tidak satupun dia tanggapi. Dia ikhlas dijelekan
dan dianggap gagal membangun jakarta. Dia tidak membela diri kecuali
menyampaikan fakta adanya bahwa banyak hal yang harus dikerjakan untuk jakarta
dan itu tidak akan selesai dengan berpolemik kecuali bekerja keras untuk itu. Ciri
khas pemimpin yang baik adalah ketika masalah terjadi , dia tidak sibuk mencari
cari kambing hitam tapi sibuk mencari solusi dan berbuat karena itu.Dia selalu
berpikir positip bahwa pada posisi tersulitpun akan selalu ada jalan bagi orang
yang berniat baik, apalagi orang yang diberi amanah untuk memimpin orang
banyak. Setidaknya pada moment banjir ini dia punya kesempatan baik untuk
berdialogh dengan rakyat agar jangan lagi menolak bila direlokasi ketempat
RUSUN.Jangan lagi terprovokasi oleh petualang LSM yang dimanfaatkan oleh
spekulan tanah untuk menarik keuntungan pribadi. Saatnya patuh kepada pemimpin kalian. Karena sebagian besar yang jadi korban banjir adalah kalian yang tinggal dibantaran kali, kaum pinggiran.
Seharusnya elite politik ikut
memberikan dukungan moral kepada Jokowi agar tabah menghadapi tantangan jakarta
dan ikut memikirkan solusi dalam bentuk produk legislasi yang sehingga
memungkinkan masalah banjir dapat dikelola dengan cepat , akurat dan terpadu. Tidak
ada lagi terkesan tidak ada koordinasi antara pusat dan DKI. Seharusnya LSM
berbasis agama,sosial maupun budaya,
termasuk KOMNAS HAM ikut mencerahkan rakyat untuk mau keluar dari wilayah
bantaran kali dan waduk. Mau berela hati ditertipkan lewat program relokasi
yang dicanangkan oleh Jokowi, sehingga bantaran kali dan waduk akan lebih mudah
ditata dan program penangkalan banjir dapat terlaksana tanpa hambatan apapun
dari segi pembebasan tanah. Sudah saatnya semua elemen masyarakat,elite politik
untuk menjadikan program Jakarta Baru sebagai
program cinta bagi semua, bukan untuk PDIP, Garindra, tapi untuk rakyat
Jakarta. ! bisakah?
No comments:
Post a Comment