Saya teringat ketika SMP, saya
ikut lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Majalan Kuncung dan Kantor Pos. Ketika
niat ikut lomba itu saya sampaikan kepada ibu saya, dengan antusias ibu saya
mendukung. Saya masih ingat betapa
sulitnya merangkai kalimat yang sesuai dengan ide saya. Berkali kali saya
menulis dan setelah itu saya tidak puas. Kertas yang sudah ditulis dengan
tangan itu akhirnya tercabik cabik. Itu saya lakukan berkali kali. Saya putus
asa. Kemudian ibu saya membelai kepala saya sambil berkata bahwa pikiranmu
adalah kekuatanmu namun ketika menulis jangan sampai pikiranmu mengendalikanmu
tapi ikut sertakan hatimu untuk merangkai setiap kalimat itu. Saya teringat ketika
SD, guru saya pernah mengajarkan cara menyusun kalimat dengan mudah. Sambil memeluk saya dia berkata “ apa yang kamu rasakan sekarang “ saya jawab
bahwa ibu baik sekali. Kemudian guru saya berkata , tulislah itu seperti apa
yang kamu pikirkan dan rasakan itu. Apa yang dikatakan guru SD saya tak ubahnya
sepeti apa kata ibu saya. Bahwa tulisan akan bermakna apabila melibatkan
pikiran dan jiwa. Dan itu lebih memudahkan untuk merangkai kalimat.
Setelah saya selesai menulis
satu halaman. Ibu saya membacanya dengan tersenyum. Tak lupa dia memuji saya
bahwa saya telah menggunakan hati dan pikiran saya dalam bentuk tulisan. Apapun
hasilnya tak penting. Karena setiap orang yang membacanya akan merasakan
getaran hati dari tulisan itu dan kemudian akalnya akan mencerna. Kata kata
bisa hilang karena waktu tapi tulisan akan abadi. Ketika kita menulis visi kita
terungkapkan dengan jelas dan ketika orang membacanya misi kita tertunaikan.
Mungkin kamu tidak mampu berbuat tapi dengan tulisan orang lain melakukannya
untuk mu. Demikian nasihat ibu saya yang tak pernah saya lupa hinggi kini. Ya, Menulis sangat penting karena sesuatu yang tak tertulis tak bisa dilaksanakan. Andaikan
Al Quran dan hadith tidak pernah tertuliskan maka tidak ada kelanjutan syiar
agama. Kehendakan Allah pulalah hingga manusia tergerak untuk merangkai semua
firman Allah dalam satu alkitab yang tertulis secara teratur dan karena kehendak
Allah pula perilaku agung Rasul tertuliskan dalam bentuk Hadith hingga blue
print manusia sempurna dapat kita pelajari.
Para ulama dan cerdik pandai merenungkan setiap kalimat Allah dan
lahirlah berbagai tulisan yang menginspirasi orang untuk menjadi lebih paham
untuk lebih baik berbuat dan bersikap karena Agama.
Saya menyukai tulisan sains
namun saya lebih senang membaca biographi yang ditulis oleh pelakunya sendiri
atau oleh orang terdekatnya. Buya Hamka menulis buku “ Ayahku “ namun ketika penerbit
ingin meng editnya agar sesuai dengan ejaan Indonesia yang sempurna, beliau
protes. Beliau tetap tak ingin dirubah setiap kalimat yang ditulisnya. Karena
menurutnya dalam setiap kalimat itu ada kekuatan jiwa dari dia sebagai seorang
putra ayahnya. Bila kalimatnya diedit maka kekuatan jiwanya akan
berkurang. Maka jadilah buku “ Ayahku “ itu sebagai buah karya sastra yang
tinggi nilainya. Andrea Hirata penulis novel “ Laskar Pelangi” awalnya hanyalah
ungkapan kisah pribadinya yang tertuangkan dalam tulisan yang tak niat dipublikasikan.
Karena ditulis tanpa ada niat apapun. Kecuali
bagaimana dia mengungkapkan kenangan masa kecilnya di desa tetap abadi dalam
tulisan. Itu kenangan indah yang tak ingin hilang dalam memori hidupnya. Tentu
dengan jiwanya dia menulis. Apa jadinya, tulisan itu bernilai sastra tinggi dan
dibaca oleh banyak orang. Menjadi inspirasi bagi orang untuk berbuat karena
cinta. Begitupula cerpen saya di majalah kuncung menjadi salah satu juara
tingkat nasional dalam lomba yang diadakan oleh Kantor Pos ketika itu.
Apakah semua orang harus
menjadi penulis? Tentu tidak harus ditulis dalam buku hingga diterbitkan untuk
dibaca banyak orang. Kalau bisa itu tentu lebih baik. Tapi yang lebih penting
adalah bagaimana kita menulis pengalaman hidup keseharian kita dari
berinteraksi dengan banyak orang , keadaan dan lingkungan. Cobalah menulis itu
dalam buku harian sambil melatih jiwa kita meng explorasi pengalaman keseharian
itu. Uraikanlah dalam tulisan apa yang kita pikirkan tentang apa yang dikatakan
atau ditulis orang lain. Ungkapkanlah apa yang kita lihat dan perhatikan
disekitar kita. Setelah itu, bila ada waktu, cobalah membacanya kembali. Kita
akan mendapatkan hikmah dalam menghadapi persoalan hidup keseharian kita.
Karena tidak ada yang terlewatkan hilang. Itu akan terjadi pengulangan. Tulisan
di buku harian itu adalah pembelajaran kita untuk mengingat yang lewat dan
bijak menghadapi realitas dihadapan kita. Itu sebabnya sejak SMP saya punya
kegemaran menulis buku harian namun yang tak rahasia. Artinya siapapun boleh
membacanya. Namun ketika era internet muncul dan blogger mulai diperkenalkan,
putra saya menyarankan saya agar saya menempatkan buku harian saya dalam
blog. Karena menurutnya akan dibaca oleh
orang lain untuk menjadi pelajaran bersama.
Lee Iacocca pernah berkata
bahwa kebiasan menulis adalah langkah awal meraih prestasi. Banyak businessman hebat
didunia ini tapi tidak banyak yang memberirkan hikmah dari kehebatannya kecuali
Donald Trump yang sangat produktif menulis buku.Banyak ulama yang pandai
berdakawah tapi tak banyak ulama yang mampu mengungkapkan pikiran dan jiwanya dalam
bentuk tulisan seperti Al Ghazali. Saya membaca banyak buku tentang ekonomi namun yang membuat
jiwa saya tergugah adalah ketika membaca buku tulisan pakar Hisbut Tahrir. Karena
penulisnya melibatkan jiwanya lewat berbagai hadith dan Alquran yang membumi
dalam kehidupan keseharian yang konpleks. Padahal banyak LSM islam dan Partai Islam namun tidak seperti HTI yang sangat
produktif menulis berbagai aspek tentang
islam dalam perspektif Al Quran dan Hadith. Jadi, siapapun kita, kalau peduli
untuk berbuat demi hadith Nabi “ sampaikan walau satu Ayat” maka mulailah
menulis dengan pikiran yang bersanding dengan hati. Insya Allah, kita sudah
menjadi bagian dari visi perubahan , setidaknya dari diri kita sendiri….
No comments:
Post a Comment