Dihadapan saya ada seseorang dalam usia senja dan rinkih,
Demikian kata teman saya mengawali pembicaraan.
Wajah tua itu nampak lelah namun terpancar keikhlasan untuk suatu tekad
berbuat dengan tujuan yang jelas , yaitu untuk berkorban. Orang tua itu
dihadapkan pada kenyataan dimana putrinya menjanda setelah ditinggal mati oleh
suaminya. Putrinya datang menemuinya dengan membawa dua anak. Setelah itu
putrinya pergi tanpa pernah ada kabar lagi. Sementara dia harus menanggung
beban dua cucunya yang tertua berumur 9 tahun dan kedua 7 tahun. Pria baya itu mengharapkan
teman ini memberikan zakat atau sadakah agar dia dapat modal untuk membuka
usaha berdagang kasur kapuk. Kebetulan pria tua ini punya pengalaman dan keahlian mejahit
dan membuat kasur. Rencannya dia akan berdagang keliling kampung untuk
memasarkan kasur itu. Dia yakin penghasilannya akan cukup untuk menanggung dua
cucunya. Yang jadi masalah, kata teman itu, bahwa orang tua ini sakit encok.
Jangankan berjalan keliling kampung, melangkah lebih dari 10 meter saja sudah
tidak mampu. Teman itu sadar bahwa orang tua itu hanya punya semangat tanpa memperhatikan
kemampuan phisiknya. Tapi dia tetap memberi dana yang diperlukan untuk modal
pria tua ini berdagang kasur. Tak banyak hanya Rp. 2 juta. Dia yakin tak lebih
sebulan uang itu akan habis.
Dua tahun kemudian , dia
bertemu kembali dengan pria tua itu. Subhanallah, pria itu benar dengan
janjinya. Dia berhasil menghidupi kedua cucunya dengan berdagang kasur keliling
kampung. Penyakitnya seketika hilang ketika dia mendapatkan modal dari teman
itu. Bahkan penyakit batuk dan jantungpun ikut sembuh. Wajah pria itu tak
nampak lagi ringkih. Dia nampak bersemangat dengan hidupnya. Apa kata orang tua
itu hingga dia bisa berubah ? tanya saya. Pria tua itu bangkit dengan potensi
yang tersisa diusia senjanya ketika beban ada dipundaknya. Beban itu bukan hanya
harus dipikul tapi juga tahu apa yang akan dicapainya. Tujuannya adalah
bagaimana mengantarkan kedua cucunya untuk menamatkan SMU dan mandiri. Apakah
dia akan berhasil? Itu tidak dipikirkannya berlebihan. Nyatanya , dua tahun ,
dengan modal hanya Rp. 2 juta rupiah, dia bisa bertahan , dan bahkan bisa
berbuat banyak untuk cucunya tanpa harus meminta minta. Demikian teman itu
bercerita. Dia kagum ditengah kebingungan yang tak bisa ditembus dengan akal
sehat. Bagaimana orang dengan beban berat dan penyakit dihidap namun “mampu” melewatinya
ditengah keterbatasan. Itulah kekuasaan Tuhan.
Dari cerita tersebut diatas
kita mendapatkan hikmah. Bahwa ketika beban datang sebetulnya harus diterima
dengan rasa syukur. Nabi pernah bersabda "Ketahuilah, bahwa apa yang menimpamu tidak ada akan luput darimu dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu. Ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan dan dibalik kesulitan pasti ada kemudahan ". Karena bukan tidak mungkin itu cara Allah membangkitkan
pontensi kita yang terpendam dan sekaligus menjebol hambatan yang ada pada diri
kita. Lihatlah kenyataannya pada orang tua itu. Penyakit yang menghambatnya
untuk melangkah seketika dapat sembuh tanpa obat hanya karena kekuatan pontesi
yang keluar dari dalam dirinya memancarkan energy yang luar biasa. Yang jadi
pertanyaan adalah bagaimana beban atau masalah yang datang disikapi sebagai
cara membangkitkan potensi itu ? Caranya harus diyakini bahwa beban itu adalah
takdir yang harus dijemput dan diterima dengan ikhlas. Setelah diterima maka
harus tahu pasti tujuannya. Tujuan ini sangat penting. Semakin jelas tujuan itu
semakin kuat energy yang keluar dari potensi terpendam kita. Bagi orang tua
itu, tujuannya adalah pertama, melindungi
kedua cucunya. Kedua, mengantarkan cucunya untuk mampu mandiri setelah dia
tiada. Dua tujuan ini sangat mulia. Itulah kekuatan spiritual yang tak bisa
diterjemahkan dengan akal kecuali dengan keimanan kepada Allah.
Karena kalau niatnya tidak
karena Allah, maka bisa saja orang tua itu larut dalam berkeluh kesah dan berharap
agar orang lain memberikan santunan kepada kedua cucunya untuk bisa bertahan
hidup. Bila tak ada orang membantu maka dia akan larut dalam kesedihan panjang.
Tentu penyakitnya akan semakin memburuk dan membuat dia semakin rapuh. Diapun
akan menjadi bagian dari beban dan masalah itu. Bukannya menjadi penyelesai
masalah dan pemikul beban. BIla dia menderita karena itu , karena dia gagal
membangkitkan potensi terpendamnya dan menyikap beban sebagai peluang. Padahal
ketika masalah dan beban datang kepadanya sebetulnya Allah sedang mengangkat
potensinya tapi dia abaikan. Jadi deritanya bukan salah Tuhan tapi karena dia
salah meresponse masalah dan beban itu. Tapi nyatanya dia tak
ingin berkeluh kesah dan membiarkan orang lain mengambil alih beban itu. Dia
bangkit dengan tekad untuk menerima beban itu dengan ikhlas dan melangkah kedepan bersama takdirnya. Terbukti
dia bisa dan mendapatkan kekuatan untuk melangkah kearah tujuan, untuk cucunya,
untuk cinta dan kasih sayang.
Ya bila kita beriman kepada Allah
maka kita juga harus beriman kepada sunatullah. Bahwa setiap hari Allah
memberikan peluang dan kesempatan untuk kita. Bentuknya tidak selalu dalam
bentuk bungkusan yang indah dan gemerlap. Kadang terbungkus rapat yang tak
mudah dibuka. Kadang terlempar kewajah kita dengan rasa sakit yang menyengat.
Kadang tergeletak tanpa makna apapun.
Tugas kita orang beriman membuka bungkusan itu dengan kerja keras,
menangkap lemparan itu dengan sigap walau berkali kali harus terjatuh,
memungutnya dari keacuhan dan membosankan. Dari hal itu, process sunatullah
kita lewati. Bila sulit, berusahalah. Bila tak paham, belajarlah, bila tak
mungkin dilakukan, cobalah. Hanya itu yang bisa kita perbuat untuk membuka
tabir takdir kita sebagai manusia yang serba lemah dan hidup dalam keterbatasan
akan ruang dan waktu. Jangan pernah berharap doa akan terkabulkan lewat zikir
siang malam sementara pada waktu
bersamaan kita tidak mampu membaca berbagai tanda tanda kekuasaan Allah ketika memberi, yang meminta kita bersabar dan ikhlas menerima dan melewatinya.
No comments:
Post a Comment