Thursday, August 02, 2012

Menerima ketika Allah memberi

Dihadapan saya ada seseorang dalam usia senja dan rinkih, Demikian kata teman saya mengawali pembicaraan.  Wajah tua itu nampak lelah namun terpancar keikhlasan untuk suatu tekad berbuat dengan tujuan yang jelas , yaitu untuk berkorban. Orang tua itu dihadapkan pada kenyataan dimana putrinya menjanda setelah ditinggal mati oleh suaminya. Putrinya datang menemuinya dengan membawa dua anak. Setelah itu putrinya pergi tanpa pernah ada kabar lagi. Sementara dia harus menanggung beban dua cucunya yang tertua berumur 9 tahun dan kedua 7 tahun. Pria baya itu mengharapkan teman ini memberikan zakat atau sadakah agar dia dapat modal untuk membuka usaha berdagang kasur kapuk. Kebetulan pria tua ini punya pengalaman dan keahlian mejahit dan membuat kasur. Rencannya dia akan berdagang keliling kampung untuk memasarkan kasur itu. Dia yakin penghasilannya akan cukup untuk menanggung dua cucunya. Yang jadi masalah, kata teman itu, bahwa orang tua ini sakit encok. Jangankan berjalan keliling kampung, melangkah lebih dari 10 meter saja sudah tidak mampu. Teman itu  sadar  bahwa orang tua itu hanya punya semangat tanpa memperhatikan kemampuan phisiknya. Tapi dia tetap memberi dana yang diperlukan untuk modal pria tua ini berdagang kasur. Tak banyak hanya Rp. 2 juta. Dia yakin tak lebih sebulan uang itu akan habis.

Dua tahun kemudian , dia bertemu kembali dengan pria tua itu. Subhanallah, pria itu benar dengan janjinya. Dia berhasil menghidupi kedua cucunya dengan berdagang kasur keliling kampung. Penyakitnya seketika hilang ketika dia mendapatkan modal dari teman itu. Bahkan penyakit batuk dan jantungpun ikut sembuh. Wajah pria itu tak nampak lagi ringkih. Dia nampak bersemangat dengan hidupnya. Apa kata orang tua itu hingga dia bisa berubah ? tanya saya. Pria tua itu bangkit dengan potensi yang tersisa diusia senjanya ketika beban ada dipundaknya. Beban itu bukan hanya harus dipikul tapi juga tahu apa yang akan dicapainya. Tujuannya adalah bagaimana mengantarkan kedua cucunya untuk menamatkan SMU dan mandiri. Apakah dia akan berhasil? Itu tidak dipikirkannya berlebihan. Nyatanya , dua tahun , dengan modal hanya Rp. 2 juta rupiah, dia bisa bertahan , dan bahkan bisa berbuat banyak untuk cucunya tanpa harus meminta minta. Demikian teman itu bercerita. Dia kagum ditengah kebingungan yang tak bisa ditembus dengan akal sehat. Bagaimana orang dengan beban berat dan penyakit dihidap namun “mampu” melewatinya ditengah keterbatasan. Itulah kekuasaan Tuhan.

Dari cerita tersebut diatas kita mendapatkan hikmah. Bahwa ketika beban datang sebetulnya harus diterima dengan rasa syukur. Nabi pernah bersabda "Ketahuilah,  bahwa apa yang menimpamu tidak ada akan luput darimu dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu. Ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan dan dibalik kesulitan pasti ada kemudahan ". Karena bukan tidak mungkin itu cara Allah membangkitkan pontensi kita yang terpendam dan sekaligus menjebol hambatan yang ada pada diri kita. Lihatlah kenyataannya pada orang tua itu. Penyakit yang menghambatnya untuk melangkah seketika dapat sembuh tanpa obat hanya karena kekuatan pontesi yang keluar dari dalam dirinya memancarkan energy yang luar biasa. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana beban atau masalah yang datang disikapi sebagai cara membangkitkan potensi itu ? Caranya harus diyakini bahwa beban itu adalah takdir yang harus dijemput dan diterima dengan ikhlas. Setelah diterima maka harus tahu pasti tujuannya. Tujuan ini sangat penting. Semakin jelas tujuan itu semakin kuat energy yang keluar dari potensi terpendam kita. Bagi orang tua itu, tujuannya adalah  pertama, melindungi kedua cucunya. Kedua, mengantarkan cucunya untuk mampu mandiri setelah dia tiada. Dua tujuan ini sangat mulia. Itulah kekuatan spiritual yang tak bisa diterjemahkan dengan akal kecuali dengan keimanan kepada Allah.

Karena kalau niatnya tidak karena Allah, maka bisa saja orang tua itu larut dalam berkeluh kesah dan berharap agar orang lain memberikan santunan kepada kedua cucunya untuk bisa bertahan hidup. Bila tak ada orang membantu maka dia akan larut dalam kesedihan panjang. Tentu penyakitnya akan semakin memburuk dan membuat dia semakin rapuh. Diapun akan menjadi bagian dari beban dan masalah itu. Bukannya menjadi penyelesai masalah dan pemikul beban. BIla dia menderita karena itu , karena dia gagal membangkitkan potensi terpendamnya dan menyikap beban sebagai peluang. Padahal ketika masalah dan beban datang kepadanya sebetulnya Allah sedang mengangkat potensinya tapi dia abaikan. Jadi deritanya bukan salah Tuhan tapi karena dia salah meresponse masalah dan beban itu. Tapi nyatanya   dia tak ingin berkeluh kesah dan membiarkan orang lain mengambil alih beban itu. Dia bangkit dengan tekad untuk menerima beban itu dengan ikhlas dan  melangkah kedepan bersama takdirnya. Terbukti dia bisa dan mendapatkan kekuatan untuk melangkah kearah tujuan, untuk cucunya, untuk cinta dan kasih sayang.

Ya bila kita beriman kepada Allah maka kita juga harus beriman kepada sunatullah. Bahwa setiap hari Allah memberikan peluang dan kesempatan untuk kita. Bentuknya tidak selalu dalam bentuk bungkusan yang indah dan gemerlap. Kadang terbungkus rapat yang tak mudah dibuka. Kadang terlempar kewajah kita dengan rasa sakit yang menyengat. Kadang tergeletak tanpa makna apapun.  Tugas kita orang beriman membuka bungkusan itu dengan kerja keras, menangkap lemparan itu dengan sigap walau berkali kali harus terjatuh, memungutnya dari keacuhan dan membosankan. Dari hal itu, process sunatullah kita lewati. Bila sulit, berusahalah. Bila tak paham, belajarlah, bila tak mungkin dilakukan, cobalah. Hanya itu yang bisa kita perbuat untuk membuka tabir takdir kita sebagai manusia yang serba lemah dan hidup dalam keterbatasan akan ruang dan waktu. Jangan pernah berharap doa akan terkabulkan lewat zikir siang malam sementara  pada waktu bersamaan kita tidak mampu membaca berbagai tanda tanda kekuasaan Allah ketika memberi, yang meminta kita bersabar dan ikhlas menerima dan melewatinya.

No comments:

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...