Saturday, October 01, 2011

Istri dirumah

Satu saat teman cerita. Sedang asyik dikamar kerja , terdengar teriakan istri menyuruh dia makan. Kerjaanpun terhenti dan hilang mood untuk meneruskan. Ketika usai makan, sedang asyik duduk santai didepan TV , kembali istri ngomel minta agar dia kurangi merokok. Rokokpun suda tak nikmat lagi dibawah omelan itu. Baru mau istirihat siang, istri kembali memperingatkan jangan tidur siang sebelum sholat lohor. Tidurpun tertunda dan rasa kantuk terhalau untuk segera sholat. Ketika sore ada niat ketemu dengan teman namun istri minta ditemani belanja ke Carrefour. Setiap mau memilih barang, selalu diiringi dengan sikap istri yang berkata “ engga perlu itu!“. Lihat yang lain “ udah , entar dibeli lupa makannya”. Jadi semua tak boleh. Hanya dia yang boleh. Jadi benar benar hanya sebagai pendamping tanpa hak otoritas membeli. Ok lah.

Ketika hidup dilanda badai dan goncangan datang. Lanjut cerita teman itu. Kesulitan ekonomi mulai membuat layar bahtera rumah tangga miring dilamun ombak. Ada rasa ragu untuk melangkah. Takut untuk menatap haluan. Dalam situasi itu seharusnya dorongan semangat datang dari istri semakin kuat agar tak gentar untuk terus menghadapi badai. Namun bukannya dorongan semangat yang datang justru dihantam kata kata yang menyingkapkan semua kesalahan yang pernah dia buat. Itu terus diulang ulang. Dia tak bisa berbuat banyak kecuali mendengar dalam kesabaran. Ya dia lemah. Ya dia tidak konsentrasi menghadapi masalah. Ya dia banyak lalainya. Ya dia boros. Ya semua kesalahannya tergambarkan dengan untaian kata dibawah letupan emosi yang tak sudah. Pening. Dia harus berubah.!

lanjut cerita teman itu, ketika badai berlalu, angin mulai berhebus dengan pasti mendorong bahtera melaju dengan gagah. Ada rasa bangga untuk sedikit berharap mendapatkan pujian. Namun jangankan pujian malah sifat curiga yang berlebihan datang. Sedikit parlente disikapi dengan curiga. Sedikit agak konsumtif dibilang lupa pernah susah. Sedikit mau bergaya dibilang engga ingat umur. Semua salah. Salah. Lantas dimana benarnya ? mungkin sebagian orang yang bernasif sama dengan dia akan mengatakan gagal mendapatkan istri yang soleha. Benarkah saya gagal bila mendapatkan istri tidak seperti qualifikasi soleha yang digambarkan seperti Khadijah atau Fatimah Zahra?. Yang selalu berlembut wajah berbicara dengan suami. Yang selalu tampil rapi ketika berangkat tidur. Benarkah? Tanyanya dengan tekanan kata membuat saya tersentak dan juga bertanya hal yang sama.

Dengan tersenyum teman itu melihat saya seakan menunggu reaksi saya atas pertanyaannya. Saya hanya diam. Bagi dia , lanjutnya, kehadiran istri dalam hidup tak ubahnya kehadiran Allah dalam disetiap detak jantungnya. Betapa tidak.? dia yang boros, yang malas, pragmatis, pesimis, mudah kalah, kadang tidak sabar , disikapi istrinya dengan sifat yang membuat dia tidak nyaman. Letupan emosi istri lewat bahasa oral dan tubuh telah menelanjangi nafsu egonya. Tak ada sedikitpun ego nafsunya bisa berlindung dari segala alasan untuk meyakinkan bahwa dia benar. Tida ada. Walau diluar sana begitu banyak orang memujinya namun dirumah , tak ada pujian kecuali koreksi tiada henti. Tentu dengan cara istrinya yang special membuat dia harus berkaca dengan kesalahannya. Setiap hari setiap detik dalam kebersamaanya bersama istri dirumah , proses membunuh egonya berlangsung efektif.

Benarlah, berlalunya waktu, tanpa dia sadari sifat boros , malas, pragmatis, pesimis ,mudah kalah, tak sabar dan segala sifat negatif saya sebagai pria yang juga sebagai kepala rumah tangga telah bermetamorfosa menjadi orang yang hidup dalam kesabaran, hemat namun tidak pelit, istiqamah, rendah hati, optimis dan tak mudah menyerah. Anehnya istripun bermetamorfosa menjadi seperti apa yang dia impikan. Kata teman itu dengan senyum bahagia. Seakan dia memberikan hikmah kepada saya tentang perjalanan kehidupan rumah tangganya. Bahwa jodoh adalah hak Allah yang juga Allah lebih tahu mengapa kita harus bertemu dan akhirnya menikah. Dihadapan Istri, tak ada lagi topeng, lahir batin kita telanjang. Yang paling tahu siapa kita ya pasangan kita. Merekalah yang akan menjadi mentor kita untuk saling mengingatkan dan menjaga walau kadang karena iut membuat kita tidak nyaman.

Ya, Allah hadir dalam kehidupan kita lewat orang terdekat kita, yang kita cintai. Allah memberikan hadiah terindah kepada kita yaitu berupa cinta yang merupakan produk sorga. Yang karenanya membuat kita tentram untuk melewati goncang hidup. Lewat hadiah inilah Allah mendidik kita untuk menjalankan agama. Bukankah Rasul pernah bersabda bahwa menikah itu sama saja melaksanakan setengah kewajiban agama, yang tak lain saya maknai setengah jalan untuk berlatih menjadi sempurna di hadapan Allah.

Jadi, bila suasana hati istri kadang menimbulkan letupan emosi yang membuat anda tertekan, kesal, tak nyaman, janganlah buru buru berburuk sangka yang segera menjadikan Khadijah atau Fatimah sebagai pembanding. Jangan cepat melihat definisi wanita sholeha seperti apa kata Al Quran dan Hadith, yang sehingga anda beralasan untuk mencari wanita lain sebagai istri. Jangan! Ketahuilah bahwa wanita sejati tidak tersedia di etalage. Ia harus anda ciptakan sendiri lewat proses kesempurnaan akhlak anda. Anda bukanlah Rasul dan tentu anda juga bukan sekelas Ali Bin Abithalip. Anda hanyalah pria akhir zaman yang hidup mudah berkeluh kesah dan selalu ingin gampangan. Lihatlah wajah istri anda, disitulah Allah hadir dan berdialog dengan anda , untuk mengkoreksi anda dalam proses menjadi sempurna.

No comments:

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...