Didepan gate imigrasi China, saya baru menyadari bahwa passport saya rusak. Sebelumnya saya tidak tahu.Mungkin perlakuan kasar petugas Imigrasi Eropa TImur yang membuat cover dalam passport saya terlepas dari jahitannya. Menurut aturan International memang mengharuskan saya untuk mengganti passport tersebut dengan yang baru. Pihak Imigrasi China menyarankan saya untuk menghubungi pihak kedutaan atau consulate terdekat. Namun mereka tetap mengizinkan saya untuk keluar dari Beijing menuju Guangzhou. Sesampai di Guangzhou saya menghubungi pihak consulate untuk mendapatkan passport baru. Proses pengurusan berlangsung dengan cepat. Karena terkesan akan kesigapan petugas consulate itu, saya memberi uang sebagai tanda simpati saya. Namun ditolaknya dengan ramah “ Tidak usah Pak, Saya malu sama pak SBY”
Dikesempatan lain, saya berurusan dengan petugas PEMDA Tangerang untuk mendapatkan IMB. Pejabat yang bertugas melayani pengurusan IMB itu menerima saya dengan ramah. Setelah melampirkan design rumah dan lokasi tanah yang akan saya bangun, petugas itu memeriksa dengan teliti. Dia minta saya mengisi formulir dan mendatanganinya. Kemudian memberikan tanda terima atas berkas yang saya serahkan. Berjanji dalam seminggu surat IMB akan ditanda tangani oleh Walikota. Selama proses penerbitan Surat IMB, saya dipersilahkan untuk meneruskan pembangunan, asalkan mematuhi ketentuan batas bahu jalan dll. Seminggu kemudian , saya datang, Surat IMB sudah selesai. Ketika saya memberikan uang sebagai tanda simpati, petugas itu menjawab “ Terimakasih Pak, Tidak usah. Saya malu sama Pak Wali” .
Entah kenapa dua peristiwa ini berhubungan dengan rasa malu. Kedua petugas yang saya temui bukanlah pejabat tinggi. Dalam rantai kekuasaan, dia berada termat jauh dari puncak kekuasaan. Mungkin juga seumur hidupnya tidak pernah bertemu langsung dengan President atau berbincang bincang dengan Menteri atau Walikota. Tapi bagaimana kedua petugas ini bisa bersikap tegas demi rasa malu? Menurut saya ini tak datang dengan sendirinya. Ini disebabkan oleh dua hal, pertama , karena proses komunikasi dari pimpinan puncak sampai kebawah terjadi secara efektif. Setiap kebijakan yang datang dari pimpinan puncak diterjemahkan dengan baik oleh seluruh pimpinan dibawahnya secara berjenjang hingga sampai kelevel terendah. Kedua, karena memang pada dasarnya petugas itu orang baik yang terdidik dengan baik secara agama. Jadi komando yang disampaikan lewat komunikasi kepemimpinan ditempatnya bekerja disikapi dengan baik pula.
Petugas di consulate itu pimpinannya adalah Dubes. Walau Dubes dipilih atas dasar persetujuan DPR namun secara administrasi seluruh staff kedutaan dibawah garis kepemimpinan Menlu. Menlu , dibawah President. Mungkin karena Menlu bukanlah orang politik yang tak mewakili partai manapun maka lebih mudah menterjemahkan arahan SBY. Berbeda dengan menteri dari Partai lain yang kadang harus meminta pendapat Pimpinan Partai untuk menterjemahkan arahan SBY. Dan inilah penyebab banyak kebijakan presiden tidak efektif dilaksanakan oleh menteri. Berkaca dengan kasus Petugas PEMDA yang saya temui, dimana Walikota terpilih berasal dari PKS. Yang ternyata punya prinsip yang sama dengan petugas kedutaan yang menekankan hakikat malu bila menerima “suap”.Menurut teman saya seorang dosen, ini disebabkan platform perjuangan PKS dan PD hampir sama soal kepemimpinan yang bersih.
Tetapi bukankah semua Partai punya kepentingan soal lahirnya elite politik ( pemimpin ) yang bersih untuk melahirkan system pemerintahan yang bersih pula?. Mengapa korupsi masih terus terjadi?.Korupsi sampai kapanpun tidak akan pernah habis. Samahalnya kita menginginkan hapusnya pelacuran dimuka bumi dan memohon kepada Allah agar Setan dimusnahkan. Itu tidak mungkin. Yang mungkin adalah menjadikan siapapun yang terpilih sebagai elite politik berada dalam pengawasan by system. So, bila korupsi terkesan semakin menjamur itu bukanlah berarti era sekarang korupsi lebih banyak dibandingkan era Soeharto. Yang pasti di Era Soeharto , korupsi tak menjadi berita bebas. Hingga sulit dihitung berapa banyak korupsi itu. Di era sekarang korupsi menjadi berita laku dijual oleh PERS makanya sekecil apapun riak elite politik yang bernuansa korup akan menjadi berita hebat.
Memang membaca berita soal korupsi dan ulah pejabat kadang membuat kita kesal. Seakan tak ada lagi pejabat yang bersih. Semua salah dan tak becus. Melihat fakta keseharian, masih ada pejabat yang bersih dan jujur. Artinya masih ada peluang untuk perubahan yang lebih baik. Tentu alangkah baiknya bila kita sebagai rakyat juga pada waktu bersamaan mulai berubah menjadi komunitas yang ber akhlakul kharimah, selalu digaris depan menegakan kebenaran , kebaikan, keadilan, minimum menerapkan itu sebagai kewajiban kepada diri kita sendiri. Mengapa ? Pemimpin yang baik akan melahirkan peradaban yang baik namun pemimpin yang baik tidak datang dari langit begitu saja, tapi ia datang lewat proses yang terbentuk ditengah masyarakat. Bila masyarakat sakit maka tak mungkin akan lahir pemimpin yang sehat lahir batin.
Melihat pemimpin brengsek, kita mulai bermimpi dan berharap pemimpin seperti Rasul yang berhati agung, atau Abu Bakar yang lunak dan bijaksana, atau Umar Bin Khatap yang keras namun berhati mulia atau Ali Bin Abithalib yang berhati selembut salju. Namun pernahkah kita bercerimin terhadap diri kita sendiri? Apakah sudah pantas mendapatkan pemimpin dengan qualifikasi mulia itu?. Bila ingin perubahan maka mulailah dari diri kita untuk berubah. Setidaknya mulai dari yang kecil, misalnya, tidak menyuap Polisi dijalan bila terbukti bersalah dan masih banyak lagi hal lain yang kecil bisa kita lakukan untuk lahirnya kebaikan , kebenaran, dan keadilan. Bila ini sudah terbiasa maka pemimpin berhati mulia akan muncul dan perubahan besar akan datang dengan sendirinya sebagai proses sunatullah.
No comments:
Post a Comment