Sebelum proklamasi, sudah disepakati batang tubuh ( backbone) bangsa ini adalah Pancasila. Tak mungkin tubuh berdiri kokoh tanpa batang tubuh. Ya kan. Batang sudah terbentuk namun tubuh tak jelas bagaimana rupanya. Tapi kemerdekaan harus segera diproklamirkan. Tidak bisa ditunda. Demikian desak kaum muda ketika itu. Itulah sebabnya "..mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.” Kapan akan diselenggarakan ? Sesingkat singkatnya berapa lama ? siapa yang akan menyelenggarakan itu. Lantas d l l ( dan lain lain) itu apa ? Jadi nampak sekali bahwa revolusi Indonesia ketika itu tak seperti leninis dengan manifesto Komunis atau tak seperti revolusi Islam Iran dibangun diatas Al Quran dan hadith. Ya sepertinya Proklamasi sebuah expresi pragmatisme yang membuka ruang bertikai tak berkesudahan.
Proklamasi , suasana ketika itu dibawah ancaman serdadu jepang disetiap sudut kota. Ada rasa cemas ketika itu namun what will be will be. Benarlah setelah proklamasi perang dan perang terjadi. Darah dan korban bertaburan diseluruh pelosok negeri. Setelah semua reda. Lantas what next ? Tubuh itu terus menggeliat dan akhirnya tak seutuhnya melekat dengan batang tubuh ( backbone). Dia menjadi bongkok dan mudah dibelokan karena situasi transaksional politik. Di era Orla , jargon nasionalis, komunis dan agama lebih punya harga , kesanalah orang ramai berkiblat. Kemudian di Era Orba , komunis dijadikan musuh, islam di curigai, nasionalisme dapat angin namun selebihnya yang tampil hanya sosok Soeharto dan Abri berserta kroninya. Di era reformasi, semua tampak kepermukaan hanya dalam bentuk bendera partai tapi soal sikap maka pragmatisme lebih dicintai.
Lain era , lain rezim , lain pula ceritanya namun temanya tetap sama. Menjajah. Ekonomi tumbuh, angka statistik ditebar diatas optimistis bahwa hari esok akan lebih baik. Kitapun berbangga diri masuk dalam kelompok 20 negara maju. Namun dipelosok desa, di hamparan kebun sawit, diatas deru traktor mnegeruk tambang, terdapat jutaan buruh berupah murah dan berwajah muram. Sementara diatas kemakmuran negeri orang terdapat jutaan para jongos Indonesia. Mereka mungkin tidak pernah membayangakan bila dulu kakek neneknya dizaman kolonial diperlakukan sama dengan mereka kini. Tidak ada bedanya!. Mengapa ? Karena hari ini APBN tidak bisa diadakan dengan jargon cinta tanah air atau nasionalisme atau Pancasila. Tidak bisa! Ia harus diperoleh dari pajak dan bagi hasil dengan Asing yang menguras SDA. Harus diperoleh dari belas kasih sayang para underwriter surat hutang. Kepada merekalah kita harus menghamba.
Berlalunya waktu kita hanya menyaksikan negeri ini jadi arena kompetisi para elite berebut harta dan kekuasaan. Begitu banyak kasus korupsi yang mudah ditebak bahwa semua itu berangkat dari system yang brengsek. System yang mengharuskan para elite bekerja keras menumpuk harta agar bisa melewati proses tampil sebagai orang terpilih dalam lingkaran elite kekuasaan. Tak ada kekuasaan yang didapat dengan gratis direpublik ini. Kualitas kepemimpinan ditentukan oleh rating dan propaganda media massa. Citra dibangun dengan all at cost agar orang banyak percaya untuk ditipu. Tak terbilang teriakan lapar para buruh tani, buruh nelayan memelas agar mereka dibela diatas tanah yang dulu dibela dengan darah oleh leluhurnya. Namun suara itu hilang ditelan kepongahan para elite yang memanjakan nafsu dan menjadikan kekuasaan bagaikan candu.
Enam puluh enam tahun telah berlalu , sejak para syuhada menjemput sahid dimedan laga, sejak darah menganak sungai memenuhi setiap jengkal tanah ibu pertiwi. Kini , semangat heroik bela negara semakin terhalau ditengah budaya individulis. Tak ada lagi gelegar semangat menguatkan hati membela setiap jengkal tanah karena semua sudah ter-regulasi sedemikian rupa untuk orang asing boleh kembali menjajah secara legitimit. Inilah nasif negeri yang dibangun diatas pragmatisme. Tak ada sesunguhnya cinta dan juga tak ada sesungguhnya benci. Yang ada hanyalah kepentingan pemodal dan pasar, yang lambat laun tanpa disadari NKRI pun sudah dipravitisasi secara substasi lewat mind corruption. Maka kata kemerdekaan pada teks proklamasi hanya ada dikala upacara dan setelah itu dilupakan. Benar benar telupakan seiring terkikisnya nasionalisme.
Di hari Proklamasi ini, teman saya mengajak saya melantunkan lagu hymne "gugur bunga", “betapa hatiku takkan pilu, telah gugur pahlawanku. Betapa hatiku takkan sedih, hamba ditinggal sendiri. Siapakah kini pelipur lara nan setia dan perwira, siapakah kini pahlawan hati, pembela bangsa yang tak korupsi. Telah gugur harga diri karena nafsu korup disana sini.” Airmata berlinang. Oh, Negeriku sayang, negeri ku malang.
No comments:
Post a Comment