Wednesday, August 10, 2011

Keimanan dan Akal

Kemarin saya mendapat kiriman link pada satu tulisan di web. Tulisan ini sekitar dialogh antara seorang ahli dalam soal agama dengan seorang penanya yang mempertanyakan konsep soal Tuhan yang di imani oleh Islam. Dalam dialogh itu sang tokoh ahli agama tersudut. Menurut saya sang penanya berangkat dari tesis filsafat yang begitu hebat mempertanyakan sebuah keyakinan yang tak bisa ditembus dengan akal. Sebetulnya diskusi antara agama dan filsafat adalah diskusi yang sudah berumur panjang sejak dahulu kala. Seakan sengaja saling berbeda pendapat dan mengekalkan perbedaan itu. Sebetulnya keduanya bisa saling melengkapi. Karena agama islam adalah agama tentang kebenaran yang dapat dicerna dengan akal.

Pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah akal manusia dapat menjangkau Tuhan secara murni tanpa sinaran wahyu yang nota bene dimiliki oleh agama? Beragam jawaban pernah muncul dalam sejarah. Sebagian filosof mengklaim bahwa akal saja sudah cukup untuk menemukan Tuhan, namun yang lain menyanggah dengan dalih bahwa akal terbiasa berpikir dengan kategori-kategori sementara Tuhan adalah samudera eksistensial yang tidak bertepi ( QS Al-Ikhlas 112) . Sebetulnya akal saja tidak cukup sebagai alat untuk menjangkau. Sejak zaman Yunani yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya model pemikiran filsafat, gagasan tetang Tuhan tidak dapat dirumuskan secara memuaskan oleh akal. Pada zaman Yunani Thales memunculkan gagasan bahwa asal mula dunia adalah air tetapi ia masih dibingungkan oleh pemikiran antara air sebagai dewa dan hanya unsur pertama alam semesta. Bahkan Plato maupun Aristoteles, tidak berhasil merumuskan gagasan tentang tuhan.

Dalam pemikiran Plato, para dewa memiliki kedudukan yang lebih rendah ketimbang Ide. Matahari dianggap Plato sebagai dewa. Namun, Matahari, yang merupakan dewa itu merupakan anak Kebaikan, yang bukan dewa. Begitu juga dengan Aristoteles, meski secara cemerlang menemukan gagasan tentang penggerak pertama (prime mover), tetapi ia tidak berhasil menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan penggerak pertama tersebut. Dan kekaburan rumusan itu terus saja berlangsung sampai agama Yahudi muncul. Pertanyaan tentang Tuhan yang selama ini remang berubah ketika Musa, melalui wahyu yang diterimanya, mewartakan tentang Tuhan sebagai yang satu yang bernama Dia adalah Dia. Sejak masa inilah gagasan tentang tuhan menemukan jawaban yang terang.

Agama memang bukan filsafat, tetapi ajaran agama, mengajukan prinsip-prinsip filosofis yang kaya. Karena itu, ia dapat membantu perncarian akal terhadap Tuhan. Arogansi akal untuk dapat secara mandiri menemukan tuhan tanpa sinaran wahyu, adalah sesuatu yang naïf. Dan hal itu telah terbukti dalam pencarian para filosof Yunani bahkan ketika Descartes berusaha memisahkan filsafat dari agama. Usaha Descartes menghasilkan sebuah paradoks, sebab sebagai penganut agama Kristen yang taat tuhan Descartes adalah Tuhan Kristen, tetapi sebagai filosof Tuhan yang diyakini adalah Tuhan yang semata berfungsi sebagai katalisator dalam dunia Cartesian, yang mekanik. Inilah yang kemudian memunculkan kritikan terkenal dari Pascal, “Saya tidak dapat memaafkan Descartes. Dalam seluruh filsafatnya, dia tampaknya sudah siap menyingkirkan Tuhan. Namun, dia ‘membuat’ Tuhan memberikan suatu perangsang agar dunia ini bergerak; di luar hal ini dia tidak lagi membutuhkan Tuhan”.
Meski begitu, masih terdapat Tuhan dalam filsafat Descartes.

Ini berbeda dengan perkembangan dalam filsafat kontemporer yang sepenuhnya dibawah dominasi Imanuel Kant dan August Comte. Dalam pandangan keduanya pengetahuan direduksi menjadi sekedar pengetahuan ilmiah dan gagasan tentang itupun masih direduksi lagi menjadi intelejibilitas yang dipersiapkan oleh Newton. Akibatnya, gagasan tentang Tuhan dalam filsafat ini dianggap sebagai omong kosong. Sebab Tuhan bukan objek pengetahuan empiris. Bagaimanapun cara pandang terhadap fakta, pasti tidak ada fakta yang dapat mendukung gagasan tentang Tuhan. Lalu masih relevankah berbicara tentang Tuhan ketika sains—yang merupakan salah satu pengejawantahan filsafat kontemporer—sudah sanggup menyibak berbagai selubung misteri dan menjungkalkan mitos tentang alam semesta?

Pernyataan semacam itu muncul karena ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa agama dan filsafat (juga sains) adalah dua lanskap yang seharusnya dapat bertemu. Karena sains menjawab pertanyaan tentang bagaimana sedang agama menjawab tentang mengapa. Hanya saja tidak banyak orang yang berani mengakuinya. Para sains atau filosof kontemporer yang terpikat oleh daya pesona rasio kehilangan selera terhadap metafisika dan agama. Sementara yang lain, karena terlalu khusuk dalam berkontemplasi menyadari bahwa metafisika dan agama seharusnya dapat dipertemukan tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana. Karena itu ada yang kemudian memisahkan agama dari filsafat, atau meninggalkan agama demi fisafat atau sebaliknya. Padahal hal tersebut, dalam pandangan Gilnson tidak perlu terjadi. Dan menurutnya orang yang dapat melakukan hal itu adalah mereka yang dapat menyatukan bahwa Tuhan filosof adalah Tuhan yang juga dipeluk oleh Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.

Maka perlunya sinergi agama dan filsafat untuk memahami alam dan Tuhan, sebagaimana Karen Armstrong mencoba menawarkan tamasya yang mengasyikkan dengan menelusuri sejarah gagasan tentang Tuhan sejak masa awal yang dapat dicatat. Filsafat Islam juga tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Yunani. Lahirnya aliran filsafat paripatetik, iluminasi, atau yang lain merupakan bentuk penafsiran yang diberikan oleh filosof Muslim terhadap pemikiran Yunani. Gagasan tentang Filsafat Cahaya oleh Suhrawardi, teori emanasi oleh kalangan Neo-Platonisme, konsep insan kamil oleh kaum sufi, misalnya, merupakan hasil proses dialektik yang dilakukan oleh para filosof muslim berdasarkan ajaran agamanya dengan konsep-konsep para Filosof agung Yunani semisal Plato, Aristoteles atau Plotinus. Tak lain sebagai upaya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

No comments:

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...