Data FAO menunjukan bahwa gejala kenaikan pangan sekarang ini bukan lagi hal yang biasa seperti dugaan para ekonom dan pemerintah kita. Bayangkanlah sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 indek harga pangan tidak pernah tembus 100 poin. Tapi sejak tahun 2010 , bulan desember indek sudah mencapai 223,1 dan kini telah mencapai 230,7 poin. Ini benar benar luar biasa. Tak ada cara mudah lagi untuk mebalik keadaan dengan angka indek yang super tinggi itu. Ini bukan bubble price yang bisa dikoreksi dengan kebijakan seperti pemerintah dengan mencoba meng nol
Karena harga pangan yang terus melambung membuat Rezim Tunisia tumbang. Dan kini terjadi krisis politik di Mesir juga karena harga pangan yang tak terkendalikan lagi. Keadaan itu tak beda dengan protes besar terjadi di Yordania, Yaman. Keadaan ini diluar kekuatan hegemoni politik AS yang dikenal sebagai super power menciptakan stabilitas politik dinegara bonekanya. Satu fakta lagi, bahwa kerumunan orang banyak yang keliatan setia ternyata loyalitasnya hanya sebatas perut. Tak ada sesungguhnya kesetiaan selagi perut kosong. Pangan adalah hak yang paling azazi bagi manusia dan setiap negara harus bertanggung jawab menyediakan kebutuhan pangan untuk semua orang ini. Tahun ini adalah tahun yang mengerikan bagi ekonomi global ,yang ditandai oleh tidak stabilnya harga pangan. Bukan karna musim tapi lebih kepada struktur bisnis pangan yang sudah sampai pada titik menjajah dalam tabiat kerakusan tak terbilang.
Disisi lain, harga migas kembali meroket tak terkendali yang mencapai USD 100 per barrel. Kembali pemerintah dan pengamat ekonomi menilai ini sebagai ”situasional” seperti tahun tahun sebelummya , yang bisa naik , bisa juga turun. Tapi satu hal mereka lupa bahwa kenaikan harga minya sekarang bukan karena permainan harga dipasar tapi lebih disebabkan oleh struktur bisinis minyak yang mulai rapuh, Sejak bencana pencemaran minyak oleh BP sampai kini belum mampu memupuskan kekhawatiran investor terhadap dampak bencana di Teluk Meksiko itu. Hingga terjadi kelangkaan sumber pendanaan bagi operasi minyak deep sea. Tentu akan mempengaruhi kemampuan akan suply minyak dipasar. Sementara upaya mendapatkan energi alternative semakin kehilangan daya sejak tidak stabilnya dunia perbankan yang tak siap membiayai resiko ketidak pastian bisnis renewel energy itu. Dengan demikian , harga minyak akan terus melambung diluar kendali.
Pangan dan minyak. Adalah dua hal yang paling menyentuh kehidupan dasar manusia modern. Tanpa pangan orang banyak terkapar. Harga pangan tinggi, orang banyak teriak marah. Energi menyusut , industri mati. Energi mahal, orang banyak menjerit karena kehilangan pekerjaan akibat pabrik yang merugi, ongkos yang melejit, inflasi tak terkendali. Kelompok middle class yang selama ini manja dan terus manja dengan situasi apapun tak akan bisa hidup tenang lagi apabila akibat ketidak adilan selama ini bagi mayoritas penduduk telah membuat mereka mulai marah menuntut keadilan. Marah dan marah yang tak bisa lagi diselesaikan dengan kompromi politik ditingkat elite tapi marah yang harus diselesaikan lewat revolusi. Ini pasti terjadi bila pemerintah masih sibuk dengan politik pencitraan dan kompromitis, pragmatisme tanpa solusi tepat kepada rencana sitematis yang bejangka panjang untuk kemakmuran rakyat.
Dari pada mengkawatirkan dampak gejolak di Mesir , Tunisia, Yaman, Yordan, lebih baik pemerintah kembali kepada konsep dasar membangun dengan lebih dulu mengakui kesalahan sistem yang lalu dan segera berubah melalui sistem yang diridhoi oleh Allah (QS. al-A’raf: 156, 157). Ingatlah bahwa negeri ini adalah tanah yang di rahmati Allah. Diciptakan Allah sebagai lumbung pangan dunia. Karena wilayah indonesia merupakan 46 % tanah diplanet bumi ini yang bisa ditanami dan lagi dapat ditanami sepanjang tahun. Seharusnya ini saatnya terjadi perubahan ( QS. al-Baqarah: 218) agar kita mampu menggunakan momentum kelangkaan pangan dunia sebagai awal membangun peradaban yang di rahmati Allah , bukan hanya bagi penduduk indonesia saja tapi dunia, ya rahmat bagi Alam Semesta. Lantas apa jadinya bila nikmat Allah ini kita abaikan ? ...
No comments:
Post a Comment