Tuesday, November 23, 2010

Empati ?

Kemarin ketemu dengan teman di CafĂ© Canteen Plaza Indonesia. Dia mengungkapkan kekesalannya terhadap ulah anggota DPR yang tidak peduli dengan masalah yang dialami TKI ketika bertemu di Bandara Dubai. Berita ulah anggota DPR diungkapkan oleh kompas,com. Dia bilang “ Hal yang paling mahal diera sekarang adalah empati. Ini barang langka dan sulit didapatkan. Karena ini berhubungan dengan keimanan dan akhlak. Ini berhubungan dengan kesediaan untuk membunuh ego dan menempatkan rasa kasih sayang diatas segala galanya. “ Teman ini benar sekali. Kalaulah sikap empati itu datang kepada orang rendahan mungkin masih bisa dimengerti walau tetap tidak bisa diterima. Namun bila empaty menjadi langka dilingkungan anggota dewan yang dianggap sebagai anggota terhomat maka ini sudah merupakan indikasi besar bahwa bangsa ini berada dijurang bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah.

Hal itu mengingatkan saya tentang laporan penelitian yang dimuat pada jurnal kepemimpinan. Penelitian ini dilakukan oleh Adam Galinsky (professor of management and organizations at the Kellogg School of Management) yang dibantu oleh teamnya , Joe Magee (assistant professor of management at New York University), M. Ena Inesi (assistant professor of organizational behaviour at the London Business School), and Deborah H. Gruenfeld (professor of leadership and organizational behaviour at Stanford University). Salah satu hasil penelitian itu menyebutkan bahwa kekuasaan dapat menghambat empati --yang merupakan kemampuan untuk memahami emosi orang lain. Dalam penelitian itu , peserta diperlihatkan satu set 24 gambar wajah mengungkapkan ; kebahagiaan, kesedihan, takut, marah. Untuk setiap gambar, para peserta diminta untuk menebak mana dari keempat emosi itu yang terdapat dalam gambar. Sebagian peserta salah dalam menilai ekspresi emosional orang lain. Artinya sebagian besar mereka tidak mengenal emosi orang lain disekitarnya atau kurang tanggap terhadap lingkungannya.

Harap maklum peserta yang dijadikan objek penelitian umumnya adalah orang yang berpendidikan tinggi yang lebih mengedepankan logikanya dalam bersikap dan bertindak. Mereka umumnya pejabat tinggi negara, pimpinan perusahaan besar. Penelitian itu tidak menemukan cara bagaimana menjadikan kekuasaan dekat dengan empaty. Mereka hanya mencoba membuat satu metafora sebagai solusi seperti orang mengendarai kendaraan dimana ada rem, persneling, kompling dan setir. Pemimpin harus bisa menjaga keharmonian itu semua agar kendaraan dapat melaju dengan cepat. Tapi tidak menjawab akar masalah mengapa semakin tinggi kekuasaan seseorang semakin rendah empatinya ? Mereka lupa, metapora itu berkaitan dengan jiwa yang tak terlihat sama sekali tapi menentukan kapan rem ditekan , kapan setir dibelokan, kapan gas ditekan. Ada sesuatu yang menggerakan mempengaruhi otak dan indra berbuat. Hanya jiwa yang bisa membuat itu harmoni.

Membangun empati adalah proses melatih jiwa. Ini harus dengan pendekatan spiritual. Suatu keyakinan bahwa kemuliaan manusia dibandingkan makhluk lain adalah terletak kepada sifat solidaritasnya yang tinggi kepada siapapun dan menempatkan cintah dan kasih sebagai dasar keimanan kepada Allah. Berdasarkan penelitian ilmiah saraf kognitif, ditemukan cermin-neuron – neuron yang disebut dengan empati , yang memungkinkan antar manusia untuk merasakan dan mengalami situasi lain seolah-olah milik sendiri. Jadi pada dasarnya manusia itu dibekali sifat empati. Manusia adalah bayangan Allah yang dibekali sifat Allah yaitu cinta dan kasih sayang. Karena itulah makhluk lain seperti iblis dan Malaikat diminta Allah untuk sujud kepada Adam.

Walau manusia di design oleh Allah memiliki empati secara fitrah namun takdir manusia bercerita lain ketika iblis menolak untuk sujud kepada Adam. Memang iblis berhasil menggoda manusia untuk meyakinkan bahwa manusia memang lebih rendah drajatnya namun bagi Allah , manusia yang menurutkan kata iblis bukanlah manusia yang Allah maksudkan sebagai bayangannya. Manusia seperti itu tak lebih sama dengan binatang atau kadang lebih rendah daripada binatang. Jadi bila sifat empati telah hilang, manusia sudah berubah menjadi binatang dan termasuk dalam spesies jiwa srigala atau ular. Yang ketika lapar, melihat setiap yang lemah adalah mangsa dan bila dia kenyang , diapun tidak akan peduli dengan mangsanya itu.

Bila manusia kehilangan empati maka hatinya sudah tertutup atas kebenaran. Dia gemar berbohong dan mudah manipulasi keadaan. Tak bisa mengungkapkan maaf dan rasa sesal atas sikapnya. Karena hati, telinga dan mulutnya telah terkunci rapat dari kebenaran. Jangan kaget bila tidak ada satupun anggota DPR itu mau minta maaf kepada TKI atas kelalaianya memberikan rasa empati itu. Padahal rasa empati itu tidak butuh tenaga ,atau uang untuk bersikap. Cukup dengan memberikan semangat, kepedulian dengan wajah sedih, atau ikut mendengar keluhan para TKI dan memberikan nasehat untuk tegar , itu saja. Tapi inipun sulit diberikan. Kita tidak perlu lagi berharap para anggota dewan ini akan mengorbankan tenaga dan pikirannya serta hartanya untuk berbuat demi cinta kepada rakyat yang memilihnya. Walau mereka mencoba mengungkapkan tentang jerih payahnya melakukan tugas kenegaraan , itu tak lebih suara iblis untuk mereka berkelit dari ingin minta maaf. Sifat sombong iblis dipakainya dan rasa cinta terhalau sudah.

Nah, Dari sekian anggota DPR yang bertemu dengan para TKI di Dubai, tahulah kita bahwa mereka memang terlatih dengan baik untuk menjadi orang terhormat lewat system demokrasi tapi mereka tidak terlatih secara jiwa untuk menjadi orang bermoral. Karena agama telah terhalau dari jiwanya. Yang tersisa hanyalah egonya yang tak ubah dengan ego binatang pemangsa dan itulah kesimpulan saya dari penelitian Adam Galinsky tentang kekuasaan menjauhkan orang dari empati

No comments:

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...