Syekh Siti Jenar adalah ulama controversial. Konon katanya Siti Jenar tidak mati dalam hukuman tapi mati sesuai kehendaknya sendiri dihadapan para Walisongo. Konon nya lagi setelah minum air tirtanirmaya ( air tanpa bayangan) dalam sekejap Siti Jenar berubah menjadi jenazah. Inilah kematian yang dipilihnya , dimana bila saat nya tiba tak ada memiliki keinginan apapun. Kuburan Siti Jenar masih misteri.Menurut cerita para Walisongo , jenazah Siti Jenar berubah menjadi anjing sebelum dimakamkan. Namun cerita dari pengikut Siti Jenar , tidak. Itu akibat ulah dari kebohongan para Walisongo yang mengganti mayat Siti Jenar menjadi anjing agar pengikutinya sadar bahwa gurunya sesat. Bahkan cerita dari pengikut ajaran Siti Jenar ini dikaitkan dengan konspirasi kekuasaan Sultan Demak dan para Walisongo yang ingin menjauhkan ajaran Siti Jenar dari masyarakat. Alasannya adalah ajaran Siti Jenar mengajarkan kebebasan Individu dalam beragama dan bersosial. Kelompok Utan Kayu menyebut bahwa Siti Jenar adalah ulama yang mengajarkan tentang al-musyârakah yang bertumpu kepada kesetaraan dan kebersamaan. Kira kira sama dengan sistem demokrasi sekarang. Ajaran ini yang awalnya diperkenalkan di Cirebon , akhirnya meluas sampai ke seluruh tanah jawa.Ajaran ini cepat diterima masyarakat , khususnya rakyat jelata yang merasa tertindas oleh penguasa dan bangawan.
Inti dari ajaran Siti Jenar adalah manunggalin kawula Gusti (Tarekat Akmaliyah) atau penyatuan Tuhan dengan Manusia. Bila Tuhan itu maha perkasa dan maha adil maka tak ada alasan bila manusia menjadikan yang lain tidak perkasa dan tidak berkuasa, menjadi terdakwa. Manusia itu utuh dalam segala sifat yang dimiliki oleh Allah. Mandiri tak tergantung siapapun. Karena itu pula sholat berjamaah di Masjid dianggap mengingkari eksistensi manusia. Bahkan manusia itu tidak perlu sholat lima waktu. Karena intinya manusia ya Tuhan. Didunia ini, manusia itu mati dan baru hidup ketika jasad lepas dari raga. Yang membuat gerah para pemimpin tempo dulu terhadap ajaran Siti Jenar adalah kehebatan ilmu nalarnya ( Ilmu logika/akal) yang membuat hal yang gaip menjadi mitos untuk diragukan kebenarannya. Logika mereka sangat kuat hingga hampir sulit dikalahkan dalam setiap debat dengan orang yang memahami agama secara dangkal. Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya cetek bisa sesat seketika. Kemudian ajaran ini mengharamkan kebenaran karena pendapat orang lain atau pendapat para penguasa ataupun ulama. Kebenaran itu absolut yang menyatu dengan Tuhan yang bersemayam di kalbu manusia. Jadi manusia tidak butuh pendapat orang lain kecuali pendapat kalbunya. Sementara ketika itu agama ( ulama ) sudah menyatu dengan kekuasaan dan kaum bangsawan. Makanya Siti Jenar diancam hukum mati oleh Sultan Demak.
Kita bisa berprasangka baik tentang Siti Jenar yang marah karena ulama semakin dekat kepada penguasa hingga menzolimi rakyat jelata. Karena ada hadith nabi ” Apabila kamu melihat seorang ulama bergaul erat dengan penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pencuri. (HR. Ad-Dailami). Saya tidak tahu sahih nya hadith ini namun ada juga firman Allah “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (yang tidak menjalankan Al Qur’an dan Hadits) [Al A’raaf:3]. Ini mungkin dijadikan pijakan bersikap dan inti dari ajaran Siti Jenar. Namun yang anehnya, kemarahan Siti Jenar menggiring akalnya kepada dirinya sebagai Tuhan dan melupakan eksistensinya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dengan sunatullah.
Inti dari manusia adalah menyatu dengan hukum dan ketetapan dari Allah ( sunatullah). Bukan menyatu dengan Allah. Untuk melaksanakan Hukum dan ketetapan Allah itu, manusia wajib bersyariat. Allah memang memberikan makanan kepada burung tapi tidak pernah menempatkannya kedalam sangkar. Kualitas manusia tergantung dari kualitas syariatnya ( Ikhtiarnya ). Begitupula, kualitas beragama seseorang ditentukan oleh syariatnya. Dalam tasawuf jenjang itu adalah syariat, hidayat, hakikat, dan ma’rifat. Ibarat tangga maka manusia tidak bisa langsung lompat ke anak tangga terakhir ( ma’rifat). Harus mengikuti sunnatullah. Proses ini harus dilewati setahap demi setahap.. Inilah yang tidak diakui oleh Siti Jenar. Akibatnya dia dinyatakan aliran sesat oleh para Wali,
Manusia tidak akan bisa mendapatkan hidayah ( Petunjuk ) dari Allah tanpa berusaha ( bersyariat) lewat bersyahadat, sholat, puasa, zakat, Haji. Syariat itu harus dilakukan dengan sungguh sungguh berdasarkan rukun iman agar dapat meraih ”hidayah ” dari Allah. Jadi untuk meraih ”hidayah/ Petunjuk ” saja begitu panjangnya syariat yang harus kita tempuh. Bila kita sudah mendapatkan ”hidayah ” maka syariat kita harus lebih berkualitas dengan memperdalam taffakur yang intens untuk mendapatkan ” hakikat ”. Nah, bila hakikat ini didapat maka , jalan terakhir meraih kesempurnaan adalah menuju ma’rifat.. Pada fase ini manusia sudah menjadi mukhlis, insan kamil. Tapi jalan menuju itu panjang dan penuh dengan cobaan yang tak sedikit. Jadi bukan hanya eling...
Inti dari ajaran Siti Jenar adalah manunggalin kawula Gusti (Tarekat Akmaliyah) atau penyatuan Tuhan dengan Manusia. Bila Tuhan itu maha perkasa dan maha adil maka tak ada alasan bila manusia menjadikan yang lain tidak perkasa dan tidak berkuasa, menjadi terdakwa. Manusia itu utuh dalam segala sifat yang dimiliki oleh Allah. Mandiri tak tergantung siapapun. Karena itu pula sholat berjamaah di Masjid dianggap mengingkari eksistensi manusia. Bahkan manusia itu tidak perlu sholat lima waktu. Karena intinya manusia ya Tuhan. Didunia ini, manusia itu mati dan baru hidup ketika jasad lepas dari raga. Yang membuat gerah para pemimpin tempo dulu terhadap ajaran Siti Jenar adalah kehebatan ilmu nalarnya ( Ilmu logika/akal) yang membuat hal yang gaip menjadi mitos untuk diragukan kebenarannya. Logika mereka sangat kuat hingga hampir sulit dikalahkan dalam setiap debat dengan orang yang memahami agama secara dangkal. Bahkan bagi orang yang ilmu agamanya cetek bisa sesat seketika. Kemudian ajaran ini mengharamkan kebenaran karena pendapat orang lain atau pendapat para penguasa ataupun ulama. Kebenaran itu absolut yang menyatu dengan Tuhan yang bersemayam di kalbu manusia. Jadi manusia tidak butuh pendapat orang lain kecuali pendapat kalbunya. Sementara ketika itu agama ( ulama ) sudah menyatu dengan kekuasaan dan kaum bangsawan. Makanya Siti Jenar diancam hukum mati oleh Sultan Demak.
Kita bisa berprasangka baik tentang Siti Jenar yang marah karena ulama semakin dekat kepada penguasa hingga menzolimi rakyat jelata. Karena ada hadith nabi ” Apabila kamu melihat seorang ulama bergaul erat dengan penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pencuri. (HR. Ad-Dailami). Saya tidak tahu sahih nya hadith ini namun ada juga firman Allah “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (yang tidak menjalankan Al Qur’an dan Hadits) [Al A’raaf:3]. Ini mungkin dijadikan pijakan bersikap dan inti dari ajaran Siti Jenar. Namun yang anehnya, kemarahan Siti Jenar menggiring akalnya kepada dirinya sebagai Tuhan dan melupakan eksistensinya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dengan sunatullah.
Inti dari manusia adalah menyatu dengan hukum dan ketetapan dari Allah ( sunatullah). Bukan menyatu dengan Allah. Untuk melaksanakan Hukum dan ketetapan Allah itu, manusia wajib bersyariat. Allah memang memberikan makanan kepada burung tapi tidak pernah menempatkannya kedalam sangkar. Kualitas manusia tergantung dari kualitas syariatnya ( Ikhtiarnya ). Begitupula, kualitas beragama seseorang ditentukan oleh syariatnya. Dalam tasawuf jenjang itu adalah syariat, hidayat, hakikat, dan ma’rifat. Ibarat tangga maka manusia tidak bisa langsung lompat ke anak tangga terakhir ( ma’rifat). Harus mengikuti sunnatullah. Proses ini harus dilewati setahap demi setahap.. Inilah yang tidak diakui oleh Siti Jenar. Akibatnya dia dinyatakan aliran sesat oleh para Wali,
Manusia tidak akan bisa mendapatkan hidayah ( Petunjuk ) dari Allah tanpa berusaha ( bersyariat) lewat bersyahadat, sholat, puasa, zakat, Haji. Syariat itu harus dilakukan dengan sungguh sungguh berdasarkan rukun iman agar dapat meraih ”hidayah ” dari Allah. Jadi untuk meraih ”hidayah/ Petunjuk ” saja begitu panjangnya syariat yang harus kita tempuh. Bila kita sudah mendapatkan ”hidayah ” maka syariat kita harus lebih berkualitas dengan memperdalam taffakur yang intens untuk mendapatkan ” hakikat ”. Nah, bila hakikat ini didapat maka , jalan terakhir meraih kesempurnaan adalah menuju ma’rifat.. Pada fase ini manusia sudah menjadi mukhlis, insan kamil. Tapi jalan menuju itu panjang dan penuh dengan cobaan yang tak sedikit. Jadi bukan hanya eling...