Sunday, May 17, 2009

Sikap dan kebijakan

Pada satu kesempatan saya pergi ke Museum. Saya melihat tombak yang ukurannya cukup panjang. Saya mencoba mengangkat tombak itu dengan kedua tangan saya tapi tak bisa tahan lama karena memang berat sekali. Saya mencoba membaca keterangan tentang tombak itu. Saya terkejut karena tombak itu adalah senjata standard dari pasukan Raden Widjaya dulu. Imaginasi saya sampai kepuluhan abad lalu. Bagaimana tombak ini dapat dilemparkan kearah kapal pasukan China oleh pasukan Raden Wijaya ? Bagaimana mereka memainkan tombak itu dengan lincah bila berat? Sejuta tanya itu menggayut dalam benak saya. Mengapa prajurit itu bisa kuat dibandingkan dengan saya sekarang. Ternyata jawabannya adalah dulu orang Indonesia tidak makan nasi. Mereka makan umbi umbian seperti singkong. Nasi baru dikenal setelah budaya china ( dari Yunan ) masuk keindonesia.

Allah menciptakan manusia pada dasarnya disesuaikan dengan lingkungan alamnya. Makanan dan cara perlindungan diri terhadap penyakit disediakan sesuai dengan alamnya. Ikan Hiu hitam tidak bisa hidup dikedalaman kurang dari 80 Meter tapi hiu putih dapat hidup. Artinya dua jenis ikan hiu ini hidup dalam lingkungan yang berbeda dan tentu makanannya juga berbeda. Allah menjaga system ini. Tapi untuk manusia , Allah memberikan kebebasan untuk menentukan apa yang dia mau. Itulah sebabnya walau makanan kita adalah umbi umbian tapi kita dapat menyesuaikan diri dengan makanan lain yang datang dari luar. Hanya saja kondisi phisik kita tidak akan sama hasil dengan orang lain yang memang makan sesuai dengan alamnya. Itulah sebabnya kini kita tidak seperkasa dan secerdas Majapahit. Karena kita sudah makan nasi.

Pihak asing dengan cerdas meracuni budaya makan singkong adalah indentik dengan kebodohan dan kemiskinan .Akibatnya kita menjauh dari chemistry kita yang sebenarnya. Lambat namun pasti kita menjadikan nasi adalah makanan utama kita. Hasilnya kini adalah chemistry kita menimbulkan paradox dengan alam sekitar kita. Alam yang terbentang luas dengan lingkaran ngarai yang dalam serta hutan yang lebat , laut yang luas, gunung yang bertebaran menjulang disemua pulau, tidak berdaya kita kelola. Sekuat pikiran kita untuk berbuat tapi tenaga kita tak mampu mengelolanya. Hasrat ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.

Banyak sekali pengaruh asing masuk ke kita dan akhirnya melekat jadi budaya kita. Tapi itu semua tidak berhubungan dengan chemistry kita. Banyak orang Indonesia yang belajar berbagai ilmu diluar negeri , termasuk bidang ekonom, mencoba untuk menerapkannya secara utuh di Indonesia. Mereka percaya dengan keluguannya atas semua konsep yang mereka pelajari. Apalagi berbagai tesis sukses story di Barat yang mereka ketahui. Mereka anggap ini sebagai bentuk pencerahan untuk lahirnya civil society.

Neoliberal salah satu konsep yang lahir diawal tahun 80an. Mereka percaya sekali bahwa neoliberal adalah cara terbaik untuk melahirkan kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi active dalam pembangunan dengan menghilangkan sebesar mungkin peran negara terlibat. Dari kebebasn ini akan melahirkan kompetisi. Dari kompetisi akan melahirkan efisiensi. Mereka percaya itu. Tapi mereka lupa bahwa budaya bangsa ini dari dulu ya bukan masyarakat yang terbiasa bebas dan berkompetisi. Mereka terbiasa bergotong royong untuk menyelesaikan semua masalah. Mereka tidak pernah iri kalau ada orang kaya atau sukses. Bahkan mereka puji orang itu dengan hormat seinggi tingginya dan yang sukses tak sungkan pula membantu. Mereka masyarakat patron

Tapi budaya neoliberal ini terus di sosialisasikan oleh rezim dengan berbagai aturan dan hukum. Apa yang terjadi , lagi lagi fakta membuktikan kita tetap tidak mampu mencapai idealisme dari neoliberal. Kita tetap tidak bisa bersaing kecuali menyerahkan semua resource kita untuk dikelola asing dan hidup dari pajak dan kuli saja. Kita tetap tidak efisien dengan memilih untuk menjadi konsumen dan penghutang saja. Kebebasan tidak dinikmati oleh mayoritas rakyat secara ideal kecuali oleh mereka yang memang qualified untuk itu. Dan itupun hanya segelintir masyarakat yang makmur dari adanya liberalisme. Akhirnya yang qualified memanfaatkan yang unqualified untuk lahirnya penjajahan model baru.

Pemimpin yang baik harus membumi dengan kesejatian Indonesia. Ini tidak bisa diingkari. Kulit kita memang tidak seputih kulit orang china atau barat. Mata kita hitam bukan biru. Pemimpin harus memberikan kebijakan yang sesuai dengan kesejatian budaya Indonesia. Tak penting karena itu kita tidak bisa buat pesawat, tak bisa pergi kebulan atau tak bisa bikin subway. Tak penting. Yang penting kita hidup dan menghidupi dari alam yang Allah berikan kepada kita tanpa kita harus menjadi seperti orang lain. Pakain akan pas dipakai kalau sesuai dengan ukuran tubuh.Sepatu akan enak dipakai bila sesuai dengan kaki kita. Kopiah akan nampak bergaya diatas kepala kalau ukurannya pas dengan kepala kita. “ Ini hukum logika dan pasti. , ya, kan.

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...