Ada seorang teman yang mengundang saya datang “menaiki “rumah baru. Rumah itu berada dikawasan elite. Rumahnya nampak berbeda dibandingkan yang lain. Menurut saya paling megah diantara yang megah. Maklum saja, dia hanya membeli tanah di kawasan mewah ini. Artinya dia bangun rumah mewah dikawasan yang berkelas. Yang datang cukup ramai. Hampir semua sahabat dan kerabat dekat disalaminya dengan semringah. Pada acara itu diadakan juga pengajian. Tema pengajian tentang tanggung jawab kepala rumah tangga, yang salah satunya menyediakan rumah untuk anggota keluarga. Salah satu contohnya adalah sahabat saya ini. Saya ikut larut dalam keceriaan dengan hidangan makanan yang mengundang selera. Disela sela acara “menaiki “ rumah itu, saya membayangkan bagaimana teman ini menahan godaan dari anak istrinya ? tentu dengan keadaan ini maka semuanya harus berkelas.Biaya hidup akan bertambah mahal.
Teman ini mengatakan bahwa nikmat Allah itu harus diperlihatkan kepada orang lain sebagai bentuk rasa syukur. Yang penting kita mendapatkannya secara halal. Saya maklum apa yang dikatakannya. Benar adanya. ! Yang jadi masalah adalah mengapa harus bermewah dengan kemegahan harta itu? Kan lebih baik , tidak mewah namun tidak juga kumuh. Ya, cukuplah memenuhi standard yang sehat untuk tinggal seluruh anggota keluarga. Namun teman itu tetap dengan pendiriannya bahwa yang ada sekarang baginya adalah sederhana. Ok, lah, itu haknya. Semoga dia dapat memimpin keluarganya dari kemewahan rumah itu. Yanng saya tahu Allah telah berfirman “ Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur ... kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan yang kamu megahmegahkan di dunia itu." (QS AtTakaatsur [102]: 1-8). Bahwa kemegahan itu membuat kita lupa akan mati.
Yang pasti kemegahan dikawasan serba ber Satpam itu akan semakin sulit orang miskin untuk datang. Semakin sulit kita menyaksikan tetangga yang lapar karena kemiskinan. Lingkungan ekslusif tentu akan membuat pergaulanpun ekslusif. Anak dan istri akan larut dalam lingkungan ini. Jangan kaget bila empati mereka sangat kurang. Karena mereka jarang melihat orang yang kekurangan. Jarang mendengar orang berkeluh kesah tentang biaya sekolah yang belum diabayar, tentang kontrakan yang belum dibayar, tentang anak sakit yang tak mampu dibawa kedokter. Bukankah harta itu digunakan untuk mendekatkan yang jauh dan merapatkan yang dekat. Padahal semua harta itu adalah titipan Allah, yang kelak akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah. Kemana harta itu digunakan. Untuk apa harta dicari? Untuk apa kemegahan itu dibuat ?
Rasulullah bersabda: "Seorang hamba berkata, hartaku, hartaku, hartaku. Padahal, hartanya yang sesungguhnya hanya tiga macam: 1. Apa yang dimakan lalu habis. 2. Apa yang dipakai lalu lusuh (rusak), dan 3. Apa yang disedekahkannya lalu tersimpan (untuk akhirat). Selain yang ketiga macam itu, lenyap atau ditinggalkannya (warisan) bagi orang lain." (HR Muslim). Demikian Rasul mengingatkan kita tentang harta itu sendiri. Renungkanlah dengan baik baik. Apakah rumah mewah itu membuat kita bahagia lahir batin ? apakah harta melimpah itu bisa menahan kantuk kita ? apakah makan dengan penuh lima sehat membuat kita panjang umur ? Tidak ! Kecuali kemegahan itu memakan ongkos mahal dan memaksa kita ketagihan layaknya narkoba. Gaya hidup seperti ini akan merusak pikiran , jiwa dan pisik kita dan kebahagiaan hakiki semakin menjauh dan jauh.
Yang pasti ketika kemegahan dipamerkan maka pada waktu bersamaan rasa sombong akan bangkit. Melihat diri dan menepuk diri dengan penuh kebanggaan. “inilah aku”. Pada waktu itu pula iblis mencengkram hati untuk menjadi buta terhadap sekitar yang lapar dan dahaga. Untuk membuat kaki malas melangkah menjenguk kerabat miskin yang sakit. Semua harus punya standard sesuai kelas yang terbangun sendiri itu. Sehingga bila ajal datang, tak ada satupun kemegahan itu akan dibawa kecuali amal sholeh, amal jariah, dan anak yang sholeh. Pada saat itu tak ada alasan untuk surut kebelakang. Semua sudah terlambat. Sesal tak ada gunanya.
No comments:
Post a Comment