Tamat SMA saya pergi mentau ke jakarta. “ Jangan beratkan langkahmu untuk melangkah. Bangunlah lebih dulu sebelum ayam berkokok. Sapalah Tuhan sebelum fajar datang. Rukuk dan sujudlah kepada Tuhan saat fajar datang. Itu artinya kau sadar hidupmu tergantung kepada Tuhan. Kemudian jangan beratkan tanganmu menjinjing. Kalau berat dirasa, keringat bercucuran, itu tandanya kau sedang berzikir kepada Tuhan untuk datangnya rezeki. Jangan melihat kebelakang teruslah meliat ke depan. Kalau lelah bolehlah istirahat sejenak melihat ke belakang. Tapi jangan karena itu kau ragu melihat masa depan. Hidup ini nak, bukan soal masa lalu dan masa depan tapi soal hari ini bagaimana kamu selalu bersyukur atas anugerah umur yang Tuhan berikan.” Demikian nasehat ibu saya.
Waktu saya pertama kali datang ke Jakarta. Saya menumpang di rumah sanak. Saya tahu diri. Pagi pagi saya sudah bangun. Seusai sholat subuh saya bersihkan rumah dari dapur sampai ke teras rumah. Saya masak air hangat untuk mengisi termos. Apapun yang disuruh saya lakukan dengan cepat. Tak pernah saya sungkan. “ Kami tidak bisa menampung kamu tinggal di sini. Carilah sanak lain yang bisa menampung kamu” kata sanak saya. Saya tidak marah. Tidak pula kecewa. Siapalah saya. Sudah ditampung saja sekian hari sudah terimakasih. Saya senyum dan berlalu.
Sejak itu saya putuskan untuk tidak lagi menumpang. Saya harus mandiri. Setidaknya walau numpang tempat tinggal namun saya tidak numpang makan. Pernah jadi salesman. Setiap hari saya di bully oleh manager saya. Sekeras apapun saya bekerja, sehebat apapun prestasi saya, tetap saja dia bully. Saya tidak marah. Saya diam saja. Kalau akhirnya saya berhenti kerja, bukan karena saya marah kepada manager saya, tetapi karena agenda saya sudah tercapai. Saya perlu mandiri. Membuka usaha sendiri dengan dua kaki dan kedua tangan saya.
Pernah ada pengusaha besar. Dia minta tolong saya menyelesaikan pembukuan pajaknya. Saya bantu dengan sungguh sungguh. Tak pernah saya minta uang jasa. Walau setelah itu dia tidak beri saya uang, saya sudah terimakasih. Karena dia anggap saya sebagai anggota keluarga. Walau dia pernah berjanji akan memberi saya modal, yang tak pernah dia realisasikan. Namun rasa hormat saya tidak berkurang. Setiap dia panggil selalu saya luangkan waktu untuk datang. Apapun yang dia mintai tolong saya kerjakan. Saya puas. Saya bisa mandiri dan menghormati orang lain tanpa harus berharap tangan dibawah. Dia tidak pernah memberi tapi saya bisa memberi ketulusan. Soal reward, biarlah itu urusan Tuhan.
Memang terkesan naif. “ Saya pernah saksikan. Saat lift rusak dan kita harus ke lantai dua restoran. Tamu kita direksi BUMN China membawa ibunya yang sudah uzur dengan korsi roda. Direksi BUMN itu menanti anaknya datang untuk gendong ibunya. Tapi dalam keadaan bingung itu. Kamu minta izin untuk gendong ibunya. Tanpa sungkan. Kamu gedong ibunya ke lantai dua. Itu benar benar kamu lakukan dengan tulus dan riang. Saya perhatikan direksi BUMN itu berlinang air mata. “ Kata Wenny.
“ Bukan itu saja. Walau dia pernah berjanji akan membantu kamu, nyatanya dia tidak pernah memberi peluang bisnis untuk kamu, bahkan pernah tolak proposal bisnis kamu. Selama dia menjabat CEO BUMN China, kamu tetap jaga hubungan baik dengan dia. Menang naif” Lanjut Wenny. Saya senyum aja. Apalah saya. Saya dari keluarga miskin. Datang ke China dengan modal terbatas. Kalau ada CEO BUMN mau berteman dengan saya, itu sudah berkah yang harus saya sukuri. Soal dia memberi atau tidak, itu tidak penting bagi saya. Setidaknya selama berteman dengannya saya tidak bergantung kepada kebaikannya. Dan saya tidak perlu berharap saat berbuat baik. Biarlah. Itu antara saya dan Tuhan saja.
Sebenarnya bukan naif. Saya bisa bedakan antara sikap bisnis dan personal. Dalam urusan personal saya utamakan humanis saja. Saya tidak sungkan memberi uang orang yang baru saya kenal. Saya tidak peduli kalau anggap saya kena modus. Saya bergaul tanpa kenal strata sosial. Kalau ada teman yang tidak mampu, saya tidak sungkan bantu uang. Traktirnya makan siang. Saya tidak peduli kalau saya dimanfaatkan. Tapi saat dia bicara bisnis, dan berharap modal dari saya. Nah saat itulah saya bersikap bisnis. Kalau bisnisnya tidak layak, ya saya tolak. Saya juga tidak peduli karena itu dia marah atau kecewa . Itu biarlah antara saya dan Tuhan saja. Karena toh kalau rencana bisnis saya ditolak oleh relasi saya, saya juga tidak kecewa. Biasa saja. Dan karenanya saya tetap prasangka baik,
Berkali kali saya bangkrut, selalu bisa bangkit lagi. Itu bukan karena saya modal warisan orang tua. Tetapi karena nilai ketulusan berteman dan bermitra. Dari 100 kebaikan kepada 100 teman, ada saja satu yang jadi tongkat dan menuntun saya melangkah ke mata air. Ya, kadang kita harus bertemu dengan banyak orang dan bergaul walau akhirnya hanya segelintir yang peduli dengan kita. Teman palsu pasti banyak tetapi kita harus tetap prasangka baik dan berbuat baik. Begitu Tuhan maunya. 1000 teman terlalu sedikit tapi 1 musuh kebanyakan.
Kini saya menua. Teman teman saya banyak yang sudah meninggal dan uzur. Tapi saya baik baik saja. Walau bukan konglomerat tapi saya punya financial freedom. Anak anak sudah mandiri. Nah mari, teruslah berbuat baik tanpa lelah. Cukuplah itu semua antara kita dan Tuhan saja. “Keep your face always toward the sunshine - and shadows will fall behind you.” Paham ya sayang.