Saat saya SMA di Lampung, saya lihat orang Tionghoa keluar dari kendaraan bagus. Saya sempat nyeletuk “ Mereka kaya tapi kafir. “
“ Mengapa kamu berkesimpulan begitu. Padahal kamu tidak kenal mereka “ tanya ibu saya.
“ Ya karena mereka China. Kan agamanya beda dengan kita” Kata saya.
“ Nak, sifat itu akan merusak mental kamu dan akhirnya merendahkan dirimu diihadapan Tuhan dan orang lain. Jangan perturutkan laku buruk” kata Ibu saya. Kemudian Ibu saya cerahkan saya dengan firman Allah. “Janganlah sekali-kali kebencianmu kepada satu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah [5]: 8).
“ Nak, jangan pernah kehilangan objektifitas meskipun kepada mereka yang tidak kamu sukai dan mereka yang membencimu. Ingat itu nak” kata Ibu.
***
Semakin dewasa saya bergaul dengan beragam etnis dan strata sosial. Nasehat itu selalu saya ingat. Sehingga saya tidak punya musuh dan bisa terus bergerak ke depan. Mengapa ? Dalam kehidupan ini setiap orang yang kita temui memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki pemikiran positif. Dan ada juga orang yang mengalami pemikiran negatif. Mereka yang memiliki pemikiran, cara pandang, hingga kepercayaan negatif ini lebih banyak disebut dengan stigma.
Satu kesempatan saya bertemu dengan mentor saya. Dia pendeta, berkata “ Kalau rezeki kamu mau lapang. Maka yang utama harus kamu lakukan adalah buang stigma pada diri kamu. Secara personal, stigma itu penyakit mental sama dengan orang gila. Dalam konteks sosial, stigma itu adalah penyakit mental masyarakat, yang ditandai dengan sikap stereotip umum. Persepsi bahwa orang lain diluar kelompoknya salah dan harus dihindari atau dimusuhi, bila perlu dibully. Karenanya pastilah rasis dan diskriminatif. Penuh prasangka buruk.
Teman saya bercerita. Ketika usahanya bangkrut, istrinya mengusirnya. Maklum istrinya juga professional di bank. Dia keluar rumah dengan hanya pakaian melekat di badan. Semua kenalan dihubunginya untuk mendapatkan bantuan, namun lebih banyak meminta dia bersabar tanpa memberikan solusi apapun. Akhirnya dia ingat salah satu wanita yang dia kenal baik namun kehidupannya tidak pantas di mintai tolong. Karena wanita itu hidup tidak berlebih. Hidupnya hanya berdagang di pasar tradisional dan masih tinggal sama orang tuanya.
Namu ketika dia hubungi wanita itu langsung mendatanginya. Dengan seksama wanita itu mendengar segala masalahnya. Wanita itu memberi dia tempat tinggal di apartement yang baru dia beli. Wanita itu belum bisa tinggal sendiri karena belum menikah. Teman saya terima bantuan itu dengan haru karena pada saat itu yang dia butuhkan hanya tempat tinggal. Setelah dia berhasil bangkit kembali. Istri dan anak anaknya minta dia kembali. Dia berkumpul kembali dengan keluarganya.
Tapi setelah dia cerita soal kebaikan teman wanitanya, Anak dan istrinya menyerbu rumah wanita itu. Bukannya berterima kasih, malah dituduh wanita itu pelakor. Kalau tinggal bersama di apartement pastilah berbuat zina. Itu stigma yang melekat. Segala umpatan ditujukan kepada wanita itu. Tapi wanita itu diam saja. Mengapa? “ Stigma wanita berteman dengan pria berkeluarga sebagai pelakor sulit dihilangkan di tengah masyarakat yang sakit mental. Kalau saya marah dan kecewa, itu artinya saya tidak ada beda dengan mereka.” kata teman saya menirukan sikap teman wanitanya.
***
Pilihan politik personal saya adalah PDIP. Tetapi sahabat saya banyak dari PKS dan PAN. Ya maklum karena saya dibesarkan dari lingkungan agama yang ketat. Ibu saya sebagai ustadzah dan pengurus Panti berafiliasi dengan Ormas Islam. Almarhum paman saya pernah jadi ketua DPD Muhammadiah. Antara pilihan politik dan kehidupan personal saya tidak ada korelasinya. Saya tidak merasa harus memusuhi PKS dan PAN, tentu tidak bigot terhadap PDIP.
Dan saya juga tahu diri bahwa saya bukan kader partai. Ngapain saya provoke mereka agar berkiblat ke PDIP. Stigma bahwa PDIP anti islam dan PKS anti Soekarno saya buang habis. Karena patokan saya adalah Pancasila dan UUD 45. Partai berdiri karena konstitusi. Pilihan Politik saya atas dasar ilmu dan pengetahuan bukan emosional. Saya bisa saja salah atau benar, tetapi tidak harus membuat saya jadi follower buta tanpa kehilangan hak kritis saya kepada PDIP dan Jokowi. Tidak harus membuat saya jadi pembenci partai lain, tentu tidak menghalangi saya kritis terhadap mereka.
Saya berteman dan berbisnis dengan orang Yahudi. Bahkan Yahudi kolot yang tidak miras dan freesex. Kalau ketemu saya dia tidak lepas kapeah cubungnya. Juga orang Arab yang selalu pakai gamis, Saya juga punya mitra bisnis dari China, Eropa dan AS, tentu Indonesia. Saya focus menghadapi mereka dengan karakter mereka tanpa melihat identitas, asal usul mereka atau agama mereka. Kalau salah ya saya salahkan tanpa harus membenci. Kalau benar dan hebat ya saya berlajar tanpa harus mengidolakan mereka. Tidak akan merendahkan agama saya kalau saya belajar dagang dari China dan memahami financial knowledge dan business model dari orang Yahudi.
Menurut Imogen Tyler dalam bukunya “ Stigma: The machinery of inequality” Upaya menghapus stigma ini sangat penting jika kita ingin melawan kekuatan politik identitarian yang memecah belah, 'menyelamatkan umat manusia' dari mesin stigma yang ganas. Perang terhadap stigma harus menjadi concern kaum terpelajar agar kesehatan mental masyarakat dan peradaban cinta kasi terjelma bagi semua. Semooga.