Mengutip data impor komoditas pangan, volume impor cabai pada awal tahun ini mencapai 4,18 juta kilogram. Naik 237,07% dari catatan Januari 2022 sebanyak 1,24 juta kilogram. Begitu juga dengan bawang merah, kentang, ikan sardin, ikan tuna. Nah tahukah siapa yang impor komoditas itu ? Ya industri pengolahan makanan. Di Indonesia tercatat jumlah industri pengolahan makanan termasuk ukm ada 1,5 juta unit. Kebayang engga. Betapa rapuhnya industri yang bahan bakunya ada di bumi kita tapi kita masih bergantung impor.
Mengapa itu terjadi ? Karena sejak era orba kita tidak pernah mampu melakukan transformasi ekonomi. Sektor Pertanian kita tidak di design untuk menjadi bagian supply chain industri. Sektor pertanian kita masih dikelola sekedar ganjel perut dan bertahan hidup. Belum menjadi sektor yang dikelola dengan Visi industri. Padahal pasar tersedia, sumber daya tersedia. Tapi semua itu tidak menjadikan kita cerdas. Malah membuat kita malas dan tidak mandiri.
Nah yang SDA tersedia saja sebagai bahan baku, industri pengolahan kita tidak mampu mandiri. Apalagi yang rantai pasokan nya tersedia dia luar negeri. Mana mungkin punya Visi seperti china tanam gandum di Rusia demi mengamankan pasokan industri pengolahan makanan domestik. China bangun smelter nikel di Indonesia demi mengamankan pasokan industri domestiknya.
Terpuruknya industri TPT ( tekstil dan produk tekstil ) adalah contoh betapa pembangunan industri kita terbelakang. Sudah sangat jauh tertinggal. Mungkin dengan china udah engga mungkin dijangkau. Dengan Vietnam dan Thailand saja kita kalah. Lihat bagaimana Vietnam dan Thailand bisa ekspor beras ke Indonesia. Itu karena supply chain sektor pertanian mereka sangat solid dan efisien. Bahkan dengan Malaysia kita kalah. Market place CPO dipegang Malaysia. Padahal lahan sawit kita lebih luas daripada Malaysia. Itu karena Downstream CPO Malaysia tumbuh pesat berkat supply chain yang lentur.
Kalau anda berbisnis secara profesional dengan standar akuntabiltas tinggi, invest di Indonesia itu bukan keputusan bisnis yang bagus. Kecuali anda mau bisnis rente dan culas, Indonesia adalah ladang bisnis yang paling menguntungkan. SDA boleh dijarah. Pengawasan lingkungan yang lemah dan longgar. Law enforcement yang lemah. Dan semua aparat bisa diatur dengan uang. Dan standar AML juga longgar sehingga uang rente bisa bebas keluar masuk perbankan. Itulah kita dulu dan kini. Sama saja. Engga berubah. Kecuali yang kaya makin kaya.
Modus kriminal.
Kalau korupsi uang APBN itu kelas nyamuk. Kalau mark up proyek itu kelas capung. Tapi kalau korupsi dana non budgeter, nah itu kelas buaya. Penguasa indonesia itu sangat jenius mendesign dana non budgeter yang mudah di rampok secara berjamaah. Hebatnya, aturan dan kelembagaan itu sengaja dibuat grey area tanpa ada pengawasan publik.
Di bidang Telkomunikasi, ada namanya, USO (Universal Service Obligation). USO ini dana yang dipungut dari operator telekomunikasi sebesar 1,25% dari pendapatan kotor. Untuk apa dana USO Itu ? untuk membangun akses telekomunikasi, terutama di wilayah-wilayah terpencil, terluar, dan terdepan (3T) yang tidak digarap operator karena tidak memiliki skala ekonomi dan bisnis yang menguntungkan. Dana USO ini kelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), dibawah Keminfo
Nah karena dana ini bukan APBN atau non budgeter, aturan penggunaan jadi longgar. Zaman SBY dipakai untuk proyek Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan. Itu jadi proyek mangkrak. Uang habis hasil engga jelas. Era Jokowi pengawas independent BAKTI, yaitu BRTI ( Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) dibubarkan. Maka setelah itu BAKTI semakin mudah dibancakin. Kelasnya engga lagi ratusan militar tapi triliunan seperti kasus kemarin ditangkapnya Menkoinfo.
Modus kriminal rampok dana non apbn itu terjadi luas, bukan hanya di Menkoinfo, juga terjadi pada Kelapa Sawit, batubara dan lain lain. Apa penyebab sehingga dana non budgeter itu mudah jadi modus kriminal ? Apapun namanya dana tunai terkumpul pasti mengundang maling dan oportunis datang. Dan ini pasti engga kerja sendiri. Ini konspirasi dari elite partai, pejabat tingkat pusat sampai daerah. Sangat sadis caranya. Benar benar pesta mereka. Kalau sampai ada yang masuk penjara, itu karena pembagian engga rata saja.
Ambil contoh, Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS). Berdasarkan pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, dana iuran berupa CPO Suppoting Fund (CSF) digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Dari 2015-2019 dana terkumpul Rp. 47,28 triliun. Apa yang terjadi ? Anggaran BPDPKS 89% untuk subsidi pabrik biodisel. Apa anda yakin jumlah subsidi tepat sasaran? Apalagi penikmat subsidi atau insentif itu hanya segelintir perusahaan saja.
Seharusnya dana non budgeter itu tidak perlu dalam bentuk Uang. Tiru Ahok mengelola Dana Fasum dari iuran developer. Prinsipnya sama, bagaimana pengembang punya sosial obligation terhadap orang yang tidak mampu beli rumah. Ahok tidak minta uang cash dari pengembang, tapi RUSUN. Yang bangun RUSUN ya developer, bukan pemda DKI. Tujuan dana Fasum tercapai dan modus korupsi bisa dihindari. Kalau tunai, tuh lihat kasus korupsi proyek RUSUN DP 0% DKI
Mindset kaya miskin
Jalanan di kota besar semakin macet, jalan tol pun kadang macet. Bandara penuh sesak orang bepergian, restoran di hari minggu ramai, tempat wisata ramai disaat liburan. Kelompok ini yang dianggap mampu untuk membeli hal-hal di luar kebutuhan mendasar, seperti hiburan, kendaraan pribadi, asuransi kesehatan, dan lainnya. Nah jumlah mereka di Indonesia kalau menurut laporan Bank Dunia dalam “Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” (2020), jumlahya dibawah 10% dari populasi Indonesia. Mereka ini disebut kelas menengah atau middle income.
Jadi kalau Srimulyani mengatakan bahwa sarat agar indonesia lepas dari minddle income trap maka pertumbuhan ekonomi harus diatas 6%. Untuk kkeluar dari jebakan Middle Income, fokus kebijakan jangka menengah-panjang meliputi mengurangi ketimpangan SDM (Human Capital Gap), ketimpangan infrastruktur (infrastructure gap), dan ketimpangan institusional (institutional gap). Artinya agar dibawah 10% penduduk Indonesia itu bisa jadi berpenghasilan tinggi, harus diberi dukungan lewat fiskal dan moneter. Mantul.
Lantas gimana dengan data garis kemiskinan penghasilan Rp2.324.274,00/rumah/bulan yang berjumlah 26,36 juta orang indonesia. Artinya kalau garis kemikinan dinaikan jadi Rp. 5 juta/bulan, mungkin jumlah orang miskin mencapai 200 juta. Apakah masuk hitungan.? Jadi terlalu naif kita bicara tentang program keluar dari middle income trap. Karena kita sebenarnya belum masuk negara yang berpenghasilan menengah. Kita masih masuk negara berkembang yang dipenuhi kubangan kemiskinan.
Menurut saya kelas menengah di Indonesia itu lahir dari skema korupsi lewat APBN dan business rente. Buktinya? Walau ekonomi kita tumbuh diatas 5%, namun tidak terjadi transformasi ekonomi dari SDA ke industri dan innovasi. Bahkan kontribusi sektor industri terhadap PDB malah turun. Bagaimana bicara middle income country kalau malah deindustrialisasi
Tapi di Indonesia pemerintah itu bebas bicara dan rakyat percaya saja. Karena kita memang bangsa yang punya mentality victim. Artinya bangsa yang doyan dikorbankan oleh politik. Bahkan walau miskin tetap saja tidak terima kalau pemerintah disalahkan. Sangat miris. Human capital gap antara kaya dan miskin sebenarnya lebih kepada gap mindset. ORang kaya berusaha mendekati pemerintah dan menikmati rente. Orang miskin berusaha memuja pemerintah dan tetap miskin… bahkan mau diadu domba ditahun politik..
No comments:
Post a Comment