Saturday, December 18, 2021

Hidup berproses.

 


Baru selesai makan malam, Udin kedatangan Malih di rumahnya. Sebagai anak rantau Udin berusaha ramah kepada Malih. “ Maaf Din, minta nasehat. “ Kata Malih setelah Kopi dihidangkan upik.


“ Wah, Bang Malih. Salah alamat kalau minta nasehat. Saya ini bukan sarjana. Bukan terpelajar. Hanya orang kampung. Saya hanya tahu sedikit itupun dari keseringan mendengar, membaca dan meliat. Itu aja” kata Udin.


“ Kemarin waktu lihat Lu Din leraikan Sobarun berkelahi dengan  Anan, saya yakin lue orang yang tepat untuk beri nasehat gua. “ kata Malih. Udin senyum aja. “ Gini Din, kenapa hidup gua blangsat terus. Padahal gua sarjana. Apapun usaha dan kerja udah gua coba. Tetapi kerja engga diterima, usaha bangkrut. Gua pernah ikut rukyah, tetapi hasilnya sama saja. Tetap aja blangsat. Apa nasehat untuk gua Din “ lanjut Malih.



“ Berap usia kamu ?


“ 32 tahun. “


“ Kamu sedang berproses. Kegagalan dalam bisnis dan kerja, itu jalan kamu. Biasa saja. Apalagi usia kamu baru 32 tahun. “ kata Udin.


“ Maksud gua, apa kira kira yang pas untuk jalan hidup gua ?


“ Ya engga tahu. Yang paling tahu adalah diri kamu sendiri. Kalau sampai sekarang kamu tidak tahu. Itu bagus. Karena kamu tahu bahwa kamu tidak tahu. Artinya jalan mencari ladang hidup sedang berproses. Sabar aja. Nanti juga ketemu bisnis atau kerjaan yang pas“


“ Sabar gimana Din ?


“ Pandailah bersyukur. Dibanyak keluhan kamu itu, buktinya sampai detik ini kamu masih bernapas dan sehat. Coba kamu sedikit belajar syukur, kamu akan bisa tenang menemukan ladang yang tepat sesuai bakat kamu. Dan kelak bila kamu temukan, kamu akan bersemangat menjalankannya, tanpa rasa takut apapun “


“ Oh Terimakasih Din. Paham gua. Jadi itu pentingnya bersukur. “


“ Ya. “ kata Udin tersenyum. Senang mendengar malih mengerti apa yang dia katakan. 


“ Din, gua mau tanya. Orang China  itu kan kaya kaya. Kenapa mereka tidak berbaur dengan orang kita. Sepertinya mereka menjaga jarak dengan kita. Maunya bergaul dengan sesama mereka saja “ kata Malih.


“ Engga juga begitu. Mereka mau bergaul dengan orang yang sama mindset nya dengan mereka. Siapapun itu. Mereka engga peduli. Bahkan dalam bisnis, walau anak atau adik sendiri engga satu mindset mereka engga mau bisnis. Walau Jawa atas padang seperti saya ini, mereka senang saja bermitra. Karena dianggapnya satu mindset. Kalau nyatanya kebanyakan mereka bergaul dan berbisnis dengan orang china juga, itu kebetulan saja. “ kata Udin. 


“ Tetapi orang china kaya kaya. “


“ Engga semua. Kamu pergi deh ke sengkawang, banyak sekali orang China hidup  di bawah garis kemiskinan.  Engga usah jauh jauh, di kampung Jawa, Kebon sayur jakarta, banyak orang china miskin. Tangerang di teluk naga juga banyak yang miskin. Jadi sama saja dengan kita. Ada yang sangat kaya dan ada yang blangsat. Kaya miskin itu ditentukan oleh sikap mental atau mindset. “ Udin mencerahkan.


“ Oh kaya miskin itu tidak ditentukan oleh suku ya Din. Semua tergantung mindset ya. “


“ Ya. Betul “


“ Bisa kasih nasehat gimana soal mindset itu “


“ Kalau kamu tak mampu menjadi beringin, yang tegak di puncak bukit, jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau. Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau kamu tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang, menuntun orang ke mata air. Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya …. Bukan besar kecilnya harta atau jabatan kamu yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu, Jadilah saja dirimu …. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.”


“ Indah sekali Din. Bijak banget lue “kata malih.


“ Itu bukan kata saya, tetapi itu puisi dari Taufik Ismail atau Douglas Malloch yang berjudul Be the Best of Whatever You Are. Artinya siapapun kamu, jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. “ Kata Udin.

“ Terimakasih din. Gua senang kenal lue. Jadi semangat untuk berjuang dengan tetap  bersukur dan bersabar.


Tuesday, December 07, 2021

Menerima kenyataan.


 



Saya naik Ojol. Supirnya sarjana. Alih profesi karena situasi dan kondisi. Kena PHK akibat COVID. Setahun setelah itu rumah tangga bubar. Anak ikut istri. Alasannya istrinya selingkuh. Dari wajahnya tidak nampak dia stress. Menjawab pertanyaan pun dengan santai. “Istri tertarik dengan pria lain, akhirnya selingkuh. Itu wajar saja. Dia butuh rasa aman. Kebetulan dia tidak aman bersama saya, yang kena PHK dan miskin. “ Katanya.


Itu sebabnya tidak ada yang pantas disebut korban dalam setiap peristiwa. Karena korban juga tidak ada jaminan bersih dari kesalahan. Yang merasa paling benar, bisa saja justru dia penyebab semua masalah. Kira kira itu yang dipahami supir Ojol. Dia tidak ingin menyebut dirinya korban ketidak setiaan istrinya. Saya yakin ada banyak orang seperti supir Ojol ini. Dia tidak suka mendramatisir hidupnya. Biasa aja.


Saya suka, melihat persoalan hidup ini dengan cara sederhana. Apa itu ? Berdamai dengan kenyataan. Itu artinya saya harus membunuh ego saya dan menghilangkan hasrat memiliki. Karenanya saya bisa senyum dalam menghadapi segala masalah. Koruptor itu memang merugikan negara dan memadamkan harapan rakyat lemah. Investasi tumbuh, APBN ribuan triliun, tetapi masih banyak pengangguran dan kimiskinan. Tetapi tidak ada kelaparan seperti di Afrika atau Venezuela, atau seperti era Orla atau era kolonial. 


Itu karena ruang dan zaman semakin terbuka, dan bebas. Orang kaya atau miskin, itu biasa saja. Karena yang kaya bisa saja jatuh miskin dan miskin bisa kapan saja kaya. Pejabat dan rakyat, itu hanya posisi. Kapanpun pejabat bisa jadi pesakitan masuk penjara. Rakyat bisa kapan saja jadi presiden. Lihat contohnya Pak Jokowi. Jadi soal status sosial bukan lagi bagi segelintir orang, tetapi bisa bagi siapa saja. Peluang untuk terjadinya perubahan bagi siapa saja itu terbuka. Masalahnya siapa yang bisa meliat peluang itu? Lagi lagi ini soal kebebasan memilih.


Lantas mengapa kita merasa kawatir dengan kehidupan ini?  Itu karena kita inginkan hidup seperti kita mau. Maunya kita hidup tanpa ada orang jahat, tanpa ada korupsi, tanpa ada orang kikir,  tak ada kemiskinan, tanpa ada orang maksiat. Itu mau kita, ya seperti mimpi negeri khilafah. Emangnya kita pemilik kehidupan?  Bumi yang kita tempati ini dalam gugusan tata surya hanya se-ukuran debu, dan mereka bergerak karena hukum ketatapan Tuhan. Apalah kita sebagai manusia yang mau mengatur hukum sebab akibat yang sudah ditetapkan Tuhan? 


“ Gunakan saja otak reptil yang ada untuk bertahan, dan gunakan otak mamalia untuk menikmati hidup. Dan gunakan otak intelektual dan spiritual kita untuk berdamai bahwa hidup memang tidak ramah. Kalau kita tidak bisa menerima kenyataan, itu artinya secara intelektual dan spiriual kita sudah mati” Kata teman. Saya tersenyum berusaha untuk paham


Thursday, December 02, 2021

Tahu diri.

 




Waktu merantau ke jakarta. Saya hanya tamatan SMA.  Pertama saya datangi adalah keluarga Ibu saya. Selama tinggal di rumahnya saya tahu diri. Pagi setelah sholat subuh saya pel lantai rumah dari dapur sampai ke depan.  Cuci piring kotor. Tetapi belum seminggu. Saya dibawa kerumah sepupu papa saya. Di rumah paman. Saya juga berusaha menempatkan diri sebaik mungkin. Bersihkan rumah. Suapin anaknya makan. Apapun disuruh saya kerjakan.  Namun belum sebulan, saya diantar ke rumah sepupu papa saya yang lain. Baru datang. Ditanya, kapan pulang.  Saya tidak menyalahkan keluarga besar ibu dan papa saya. Kalau sedara saya  tidak mau dibebani itu karena bagi mereka saya tidak ada masa depan. Hanya tamatan SMA. Tidak lulus PTN. Orang tua tidak mampu. Saya tidak iri dengan mereka yang juga tinggal di rumah sedara saya, yang dapat perlakuan baik. Itu karena mereka kuliah di Jakarta. Orang tua mereka mampu biayai. 


Saya tinggalkan rumah sedara saya. Saya jalan kaki dari Senen ke tanah abang dengan ransel dipunggung saya. Tidak ada tujuan. Sejak itu saya bertekad, untuk kerja apa saja asalkan dapat survival. Saya tetap mencintai sedara saya. Tidak ada prasangka buruk apapun. Itu wajar saja. Mereka pasti ada alasan. Kalau saya tidak mengerti sikap mereka. Maka yang pasti salah adalah saya. Bukan mereka. Saya harus berusaha mengerti sediri. Ini hidup saya, tentu hanya saya dan Tuhan saja. Tidak ada urusan dengan orang lain.


Di tanah abang saya buka notes kecil berisi alamat sedara saya di Jakarta. Dia dagang di tanah abang. Sampai di tokonya, dia beri alamat rumah. Saya disuruh ke rumahnya. Pertama kali saya lihat ketika pintu rumah terbuka adalah anak gadis yang masih pakai seragam SMU. “ Bang Jeli ya. Masuklah. “ Katanya tersenyum. Saya ceritakan bahwa saya dari kampung. Mau kerja apa saja. " Tinggal disini aja. Ayah ada usaha konveksi. Abang bisa jahit kan. " Katanya. Saya mengangguk. Dia adalah adik sepupu saya.  Kelak 3 tahun kemudian, gadis yang buka pintu rumah ini jadi istri saya.


Seperti biasa pagi pagi saya bersihkan rumah dari dapur sampai depan rumah. Pagi saya buka toko di tanah abang. Setelah itu saya kerja jahit pakaian kodian. Hanya setahun saya sudah dapat kerjaan sebagai penata buku dan juga ngajar kursus malam hari. Saat itu saya merasa sedikit ada sayap untuk berproses jadi elang. Tidak lagi tinggal di rumah sepupu. Mandiri. Namun setiap minggu hari libur saya tetap datang ke rumah sepupu saya. Apa saja saya kerjain di rumah. Termasuk ngajarin sepupu saya bahasa inggris dan tatabuku.  Kadang kerjakan PR matematikanya. Begitu cara saya berterimakasih.


Kalau akhirnya saya pindah jalur jadi pengusaha. Itu karena perasaan diskrimasi sebagai anak tamatan SMU. Saya merasa lebih keras kerja. Lebih rajin tetapi tetap tidak ada harganya. Saya tahu betapa tingginya status sarjana. Sementara adik saya 5. Saya anak laki laki tertua. Kalau hanya jadi pegawai penatabuku, memang cukup untuk hidup saya. Tetapi bagaimana saya bisa membantu orang tua saya, menjadi tongkatnya dimasa tua.


“ Kalau sudah tahu engga ada masa depan. Engga ada respek, ngapain terus berharap dari kerja. Rasa hormat itu kita sendiri yang ciptakan, bukan orang lain. Kalau orang lain menghargai kita, itu karena kita memang punya nilai jual. Kalau engga, itu salah sendiri. Wajar saja.  Kami etnis China, jangankan jadi PNS, kuliah di PTN aja walau pintar, tetap saja sulit diterima. Ya jadi pedagang  juga engga buruk. Nikmati sajalah hidup ini apa adanya dan tahu diri siapa kita.” Kata teman saya mencerahkan saya.  Kata katanya itu tercata baik di buku harian saya. Sampai kini kami tetap bersahabat. 


Kemarin saya bertemu dengannya.  “ Jel “ serunya “ Dalam usia menua ini, kita harus bersyukur kepada Tuhan. Nikmat terbesar itu adalah kesehatan. Kita berdua engga ada penyakit yang serius. Saya masih bisa setir jauh. Engga ada asam urat, kolestrol , diabetes. Darah tinggi jelas engga ada. Di Spa saya lihat kamu Treadmill bisa satu jam. Itu nikmat lebih dari harta. Apalag anak anak udah mandiri. Walau kita bukan konglomerat tetapi Tuhan beri kita kesehatan.  Itu lebih dari harta apapun. Kalau kita punya  financial freedom, itu karena hidup kita sederhana. Kesederhanan itu kita dapat berkat pengalaman hidup yang pahit, terabaikan dan bangkrut berkali kali “ Katanya.


Politisasi agama

 




Dulu waktu masih usia 20an saya termasuk yang terprovokasi kebencian kepada Syekh Siti Jenar. Hampir semua ajarannya dianggap sesat oleh Guru ngaji saya. Tetapi usia 30an saya berusaha mendapatkan informasi objectif terhadap Jenar. Buku yang ada tidak didasarkan referensi yang kuat. Bahkan sebagian sejarawan  berpendapat bahwa sosok Syeh Siti Jenar hanyalah legenda yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Soal ajarannya “manunggaling kawulo gusti” itu sebenarnya copy paste atas pemikiran dari Al-Hallaj yang mengatakan “ana al-haq”. Ya semacam satire rakyat yang tidak suka kepada Ulama yang melakukan politisi agama untuk dapatkan akses kepada raja.


Tentang sosok pribadi Syeh Siti Jenar dari referensi yang ada. ia hidup pada abad ke-16 Masehi (1348-1439 H/1426-1517 M). Ia adalah putra Syekh Datuk Saleh, adik sepupu Syekh Datuk Kahfi, seorang penyebar agama Islam terkenal di Jawa Barat. Syekh Siti Jenar memiliki hubungan darah dengan dengan Sunan ampel.  Saat beranjak dewasa, Syekh Siti Jenar pergi ke Persi dan tinggal beberapa lama di Bagdad. Setelah itu, ia pergi ke Gujarat dan kembali lagi ke Malaka. Ia menikahi seorang wanita dan memiliki beberapa orang anak, antara lain Ki Datuk Bardud dan Ki Datuk Fardun.


Dari mentor spiritual saya, saya tercerahkan. Setidaknya saya berhenti paranoid tentang Siti Jenar, baik ajarannya maupun pribadinya. Mengapa ? “ Waktu itu ulama dari para wali sangat besar sekali pengaruhnya kepada kerajaan di jawa. Para raja ini memanfaatkan emosi agama agar rakyat patuh kepada raja. Setiap alun alun pasti ada Masjid raya. Dimana mana dibangun masjid. Itu cara politik ulama untuk memperkuat bargain politik kepada penguasa. Jenar, engga suka itu. Dia inginkan agama itu urusan pribadi antara manusia dengan Allah. Tidak ada definisi dan analogikan yang dipaksakan untuk memaknai Tuhan. “


“ Mengapa ? Tanya saya.


“ Kalau Tuhan bisa dianalogikan dan dikondisikan atas dasar dalil agama, maka manusia tidak lagi berTuhan, Tetapi sudah jadi kerumunan yang dikomado oleh iblis berwajah ulama. Mereka akan mudah jadi mangsa kekuasaan. Mudah jadi buih ditengah lautan. Agama sebagai rahmat bagi semua, menjadi rahmat bagi ulama saja. Itulah yang ditentang oleh Jenar.” 


Kala itu banyak pengikut Syekh Siti Jenar. Mereka tercerahkan akan kebebasan Individu dalam beragama dan bersosial. Umumnya rakyat jelata.  Yang diam diam menolak ulama berpolitik. Itu sebabnya atas provokasi ulama, Sultan Demak berusaha menghabisi pemikiran Jenar. Namun setiap berdebat. Para wali kehilangan narasi melawan Jenar. Mengapa ? karena kehebatan ilmu nalarnya ( Ilmu logika/akal). Dalil tentang syariat gampang sekali dipatahkan oleh Jenar. 


Bahkan dengan satire dia bilang. Manusia tidak perlu sholat kalau ingatan mereka tentang sorga dan takut kepada Tuhan masih ada dibenakannya. Tuhan itu sumber cinta, dan dekati Dia dengan Cinta. Manusia bisa mati karena kebencian dan rasa takut, tetapi tidak akan mati karena kemiskinan dan kezoliman penguasa. Karena cinta membuat manusia terus hidup bersama Tuhan. Cukuplah Tuhan dan aku saja. Ya eling lebih utama daripada ritual, apalagi ritual untuk citra politik.

Saturday, November 27, 2021

Berbagi

 






Sore jam 5 saya pulang ke rumah. Perut keroncongan. 


“ Maaf. Kamu sudah makan ? Tanya saya ke supir taksi.


“ Tadi siang sudah pak.”


“ Bisa temanin saya makan? Tanya saya.


“ Saya antar aja bapak ke restoran. Biar saya tunggu di tempat parkir”


“ Temanin saya makan aja . Mau ya?


“ Terimakasih pak. Biar saya tunggu “


“ kamu tolong saya. Saya engga bisa makan sendirian. “


“ Kenapa ?


“ Ya engga apa apa. “ kata saya. Dia akhirnya mau temanin saya makan.   


“ Pak.. serunya. Ketika makan di restoran bersama saya. “ Usia saya sudah 50 tahun. Dulu pernah usaha. Tetapi gagal. Terlilit hutang. Habis semua. Sejak itu saya engga ada keberanian lagi bisnis. Sekarang inilah hidup saya. Dua anak saya jadi buruh. Hanya tamatan SLA” katanya dengan datar. Seperti ada sesal di raut wajahnya. “ Saya takut dan kawatir dengan hidup saya dan anak anak” lanjutnya 


“ Sebenarnya. Tidak ada orang yang benar berani. Saya berkali kali bangkrut namun saya terus bangkit lagi. Itu bukan karena saya punya keberanian. Tetapi itu hanya cara survival saja. Apapun pilihan tidak ada yang bagus. Tidak ada yang aman. Namun kita hasus memilin. Jadi sebenarnya dibalik keberanian itu ada rasa takut luar biasa dan itu membuat kita sulit bedakan takut dan berani. Akibatnya kita kebal dengan situasi apapun. Berlalunya waktu, kita baru sadar ternyata semua yang datang akan berlalu. Apapun itu. “ kata saya.


“ Wah dalam sekali pemahaman bapak”


“ Engga usah terlalu dipikirkan yang belum terjadi. Yang penting nikmati hari ini dengan suka cita. Gunakan kesempatan untuk terus berbagi. Karena alasan kita dilahirkan Tuhan adalah untuk berbagi kepada orang lain. “


“ Ya Terimakasih. Pantas bapak engga bisa makan sendirian” katanya tersenyum.


“ Walau hidup tidak ramah tetapi dengan cara makan bersama ini, saya bisa meyakinkan kepada diri saya bahwa saya pantas dilahirkan. Soal besar kecil, kaya atau miskin itu soal ukuran saja. Esensinya berbagi..”


Tuesday, November 02, 2021

Kepemimpinan.

 




Pada satu saat saya makan siang dengan teman di resto jepang. “ Sepertinya saya harus bercerai dengan suami. “ Katanya dengan mimik tenang.

“ Kenapa ? Kata saya terkejut.

“ Dia suami dan pria yang tidak responsif. 

“ Maksud kamu ?

“ Saya sedang bicara tentang masalah saya, pada saat dia sedang baca koran. Dia tidak berhenti baca koran. Terus aja. Paham kan, seperti itu contohnya. Artinya dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Tanpa peduli dengan saya.”

“ Oh i see. Apakah itu penting ?

“ Gimana sih kamu. Dia itu pemimpin keluarga. Seharusnya dia itu responsif. Engga bisa cuek begitu. “ Katanya dengan nada kesal.


“ Pemimpin itu ada dua jenis. Pertama, pemimpin yang memimpin. Dia tidak sibuk dengan masalah kecil dan keluhan. Karena dia percaya dengan pendelegasian tugas dan wewenang. Dia hanya focus melaksanakan visinya sebagai pemimpin. Bagaimana sumber daya yang ada bisa dioptimalkan agar kepemimpinannnya efektif melaksanakan ide besarnya. 


Kedua, pemimpin yang responsif. Dia selalu sibuk dengan masalah kecil dan mendengar keluhan. Karena dia menganggap orang dibawahnya seperti anaknya yang selalu dia kawatirkan dan jaga. Dia pasti tidak ada waktu memikirkan agenda besar. Dia mudah lelah dan mungkin mudah dikendalikan. “ Kata saya.


“ Dalam konteks keluarga gimana ?


“ Nah dalam keluarga, ide besar suami itu adalah bagaimana menjaga istri dan anaknya terhindar dari aib besar. 


“ Apa itu aib besar ? 


“ Kemiskinan. Miskin harta dan moral. Dia focus kesana saja. Untuk itu pria akan memilih istri yang mampu menjadi mitranya untuk melaksanakan ide besar itu. Makanya soal cantik dan pintar, engga penting amat. Ukurannya adalah kompetensi wanita sebagai ibu dan mitra bagi dia.


Jadi kalau kamu anggap dia tidak responsif , itu karena kamu  tidak siap punya suami sebagai pemimpin yang memimpin. Kamu inginkan suami yang mau menurut dengan semua keluhan kamu dan mendengarkan rengekan kamu. Yang salah bukan suami, tetapi kamu yang salah memilih. Mungkin juga dia salah memilih kamu“ Kata saya.


“ Jadi..” Katanya mengerutkan kening.


“ Perbaiki sajalah niat. Tentu yang tahu niat itu, hanya kalian  saja. Biasanya kalau menikah karena Tuhan, Tuhan juga yang akan menuntun agar memilih jodoh yang tepat. Bukankah satu sama dengan nol, dua sama dengan satu. Kalian harus saling menguatkan dan tahu menempatkan dirinya dengan tepat. “ Kata saya tersenyum karena melihat dia mulai tercerahkan.


***

Anda semua kenal siapa itu Bill Gate. Sang billioner kelas dunia yang hidupnya kini lebih focus kepada kegiatan amal. Bagaimana dia bisa mundur dari Microsoft tanpa ada kawatir akan masa depan Microsoft? Itu karena ada Paul Allen, tangan kanannya yang sedari awal berdiri Microsoft mendampinginya. Anda juga tahu siapa itu Steve Jobs. Pendiri Apple. Dia bisa bebas berkreasi karena ada orang kepercayaanya bernama Steve Wosniak. Begitu juga dengan Mark Zuckerberg, yang sukses mengembangkan facebook. Itu berkat ada orang hebat disampingnya yaitu Chris Cox.


Di Hong kong saya ada James. Dia adalah tangan kanan saya. Semua operasional holding yang berkaitan dengan sumber daya perusahaan seperti SDM, Uang dan material dia yang urus. Bisnis proses dari sejak keputusan bisnis dibuat sampai menghasilkan uang, itu dia yang lakukan. Saya hanya memberikan visi dan membuat keputusan strategis berkaitan dengan rencana ekspansi dan memberikan solusi disaat sistem organisasi perusahaan tidak mampu melaksanakannya. Selebihnya, hari hari dia yang melaksanakan detail operasional. Di Jakarta juga saya ada Jessica yang jadi tangan kanan saya.


Dalam bisnis anda tidak perlu 100 orang kepercayaan. Cukup 1 aja. Itu udah berkah. Dengan adanya orang kepercayaan yang menjalankan roda perusahaan, anda bisa focus kepada visi dan strategi untuk mengembangkan bisnis. Artinya anda harus ada mitra atau tangan kanan yang berpikir dengan otak kirinya melaksanakan bisnis proses. Sementara anda focus kepada otak kanan memadukan instuisi dan kekuatan spiritual untuk membangun organisasi yang transformatif.


Lantas bagaimana dapatkan tangan kanan yang bisa dipercaya ? Itu tidak bisa didapat dengan cepat. Butuh proses sampai anda yakin dia orang yang tepat. Tentu ada test lewat pengalaman dan kebersamaan. Tetapi intinya adalah anda harus lebih dulu merebut hatinya. Kalau itu sudah diyakinkan, dia akan mengerti anda dan selanjutnya dia bisa loyal. Nah loyalitas itu bukan karena gaji dan tunjangan tetapi karena dia percaya dengan visi anda.


Lantas bagaimana mengelolanya? jangan sedikitpun ragu terhadap dia. Berikan kepercayaan penuh baik secara management maupun secara personal. Jangan pernah intervensi kebijakannya. Jangan! Tetapi terus pantau perkembangannya. Baca laporannya dengan teliti. Kalau kurang skill ya suruh dia kursus atau ikut seminar. Kalau ada kesempatan usahakan memberikan pencerahan secara spiritual sesuai visi anda. Yakinlah. Dengan adanya tangan kanan, walau bisnis banyak, anda tidak kehilangan privasi sebagai pengusaha. Anda tetap kapten atas hidup anda.


Dalam keluarga juga sama. istri itu tangan kanan anda. Beri dia kepercayaan penuh dan siapkan semua sumber daya agar dia nyaman menjalankan amanah sebagai CEO rumah tangga.

Dalam kehidupan negara dan politik juga organisasi perusahaan, Dua jenis pemimpin itu akan nampak. Kalau semua dikerjakan karena pemimpin responsif maka yakinlah tidak akan ada perubahan yang berkelanjutan. Tetapi kalau semua dikerjakan dengan hebat berkat pendelegasian, maka perubahan akan terus terjadi kearah yang lebih baik. Karena kepemimpinan menjadi efektif dan transformatif.

Thursday, October 28, 2021

Berbagi Cinta.

 

bersama anak panti



10  tahun lalu  waktu lebaran saya berkunjung ke rumah ibu saya. “Amak mau mendirikan panti asuhan untuk putri.” Kata ibu saya.

“ Amak engga muda lagi. Istirahat ajalah. “ Kata saya. Itu diaminkan oleh semua adik adik saya. 

“ Amak udah sewa rumah untuk panti. Nanti kalau berkembang barulah cari tanah untuk bangun sendiri.”

“ Darimana amak dapatkan uang” Kata saya. Itu sekedar alasan agar menahan rencannya dan kami tidak akan mendukung secara financial.

“ Dari Tuhan. “ Katanya tegas. Saya tidak bisa lagi berdebat. 


Setahunn setelah itu saya datang lagi ke lampung untuk berlebaran. Ibu saya ajak saya pergi ke suatu tempat “ Apa ini mak?Kata saya ketika sampai di lokasi.

“Amak dapat kepercayaan dari aisyiah untuk gunakan tanah wakaf dibelakang TK. Inilah yang akan dijadikan lahan untuk panti” Kata ibu saya bersemangat. “ Kalau bangun ini selesai, anak panti engga lagi sewa rumah.”

“ Sewa?

“ Ya. Amak sewa rumah untuk mereka.”


Kemudian ibu saya ajak saya ke rumah  yang disewanya untuk panti. Saya terharu. Setahun beroperasi, ibu saya bisa menghidupi anak panti tanpa sepeserpun bantuan dari saya. Yang lebih terharu, ternyata tidak nampak kelelahan dari ibu saya yang sudah menua. Semangatnya tidak berkurang.


“ Berapa anggaran biaya panti ini? Kata saya.


Ibu saya memberikan proposal. Lengkap dengan gambar design panti. Profesional sekali.


“ Aku tanggung semua biayanya. Bangunlah.” Kata saya spontan.


“ Anakku, membangun panti itu bukan sekedar mambangun phisik. Tetapi yang lebih utama adalah membangun gerakan cinta. Bukan berapa banyak orang sumbang. Tetapi seberapa banyak orang mendukung. Semakin banyak orang terlibat, semakin besar nilai moral dan sosialnya. Kalau engga ada uang, ya tenaga, Engga ada uang dan tenaga, ya pikiran. Engga ada pikiran, ya empati. Itulah hakikat dari gerakan sosial untuk membela anak yatim dan miskin.


“ Mengapa ?


“ Kalau gerakan cinta itu berkembang, maka tidak perlu lagi rumah panti. Orang akan senang hati menampung anak yatim di rumahnya untuk mereka rawat dan jaga dengan cinta.”


Saya terhenyak. “ Ya udah mak. Aku paham. Gini aja mak.” Kata saya negosiasi.” Aku sediakan dana stimulus aja. Dengan dana stimulus itu akan menggugah orang untuk ikut nyumbang. Dana itu bisa dipakai untuk bangun fondasi dulu. Nah kalau orang udah lihat ada pembangun, mereka juga percaya dan tergugah untuk sumbang. Gimana?


“ Itu baru anak amak. Jadi jeli mau bantu?”


“ Ya. tetapi dengan syarat. Engga boleh stress mikirkan anggaran. Nanti kalau melemah lagi aliran sumbangan, aku keluarkan lagi dana stimulus. Begitu saja sampai selesai.” Kata saya. Ibu saya rangkul saya. 


Setahun setelah itu bangunan panti sudah selesai. Kini sudah ada dua panti yang selesai dibangun. Saya hanya memberikan stimulus. Kalau yang pertama saya keluarkan anggaran stimulus 80%. Namun yang kedua justru dana stimulus saya keluar hanya 5%. 95% dari donasi masyarakat. Jadi pesan sosial menggalang  cinta untuk kemanusiaan bagi anak yatim tercapai.  Sebagaimana sholat memang tidak dilarang sendirian tapi alangkah lebih baiknya dilakukan secara berjamaah, kata teman saya. Begitupula dalam gerakan spiritual social, bagi yang kaya raya tentu tidak salah bila mereka membangun project social atas nama dirinya atau lembaganya,  tetapi alangkah lebih baiknya bila pembangunan itu dilakukan secara berjamaah. Karena ketika berjamaah, semua yang beriman mendapatkan kesempatan untuk terhindar dari golongan pendusta agama ( QS AL Ma’un ). 


Tak penting berapa yang bisa mereka berikan untuk kegiatan amal , yang penting adalah nilai kebersamaan, nilai berjamaah berbuat karena Allah , ikhlas karena Allah. Itulah yang penting. Dari kebersamaan ini akan lahir masyarakat yang berempati untuk menegakkan keadilan kepada mereka yang lemah. Sama seperti yayasan  Tzu Chi yang berkembang bukan karena donatur segelintir orang tetapi oleh banyaknya orang yang terlibat sebagai donasi. Donasi dalam  bentuk apa saja. Bukan hanya uang, bisa pikiran, tenaga, dan empati. Memang membujuk orang menggalang kebersamaan itu tidak mudah. Berat sekali. Lebih mudah gelontorkan dana, selesai. Tetapi value spritual tidak ada. Yang ada adalah rasa sombong seperti kaum filantropis. Ya value kapitalis..


Pemerintah Suriah jatuh.

  Sebelum tahun 2010, kurs pound Syuriah (SYP) 50/1 USD. Produksi minyak 400.000 barel/hari. Sejak tahun 2011 Suriah dilanda konflik dalam n...