Baru selesai makan malam, Udin kedatangan Malih di rumahnya. Sebagai anak rantau Udin berusaha ramah kepada Malih. “ Maaf Din, minta nasehat. “ Kata Malih setelah Kopi dihidangkan upik.
“ Wah, Bang Malih. Salah alamat kalau minta nasehat. Saya ini bukan sarjana. Bukan terpelajar. Hanya orang kampung. Saya hanya tahu sedikit itupun dari keseringan mendengar, membaca dan meliat. Itu aja” kata Udin.
“ Kemarin waktu lihat Lu Din leraikan Sobarun berkelahi dengan Anan, saya yakin lue orang yang tepat untuk beri nasehat gua. “ kata Malih. Udin senyum aja. “ Gini Din, kenapa hidup gua blangsat terus. Padahal gua sarjana. Apapun usaha dan kerja udah gua coba. Tetapi kerja engga diterima, usaha bangkrut. Gua pernah ikut rukyah, tetapi hasilnya sama saja. Tetap aja blangsat. Apa nasehat untuk gua Din “ lanjut Malih.
“ Berap usia kamu ?
“ 32 tahun. “
“ Kamu sedang berproses. Kegagalan dalam bisnis dan kerja, itu jalan kamu. Biasa saja. Apalagi usia kamu baru 32 tahun. “ kata Udin.
“ Maksud gua, apa kira kira yang pas untuk jalan hidup gua ?
“ Ya engga tahu. Yang paling tahu adalah diri kamu sendiri. Kalau sampai sekarang kamu tidak tahu. Itu bagus. Karena kamu tahu bahwa kamu tidak tahu. Artinya jalan mencari ladang hidup sedang berproses. Sabar aja. Nanti juga ketemu bisnis atau kerjaan yang pas“
“ Sabar gimana Din ?
“ Pandailah bersyukur. Dibanyak keluhan kamu itu, buktinya sampai detik ini kamu masih bernapas dan sehat. Coba kamu sedikit belajar syukur, kamu akan bisa tenang menemukan ladang yang tepat sesuai bakat kamu. Dan kelak bila kamu temukan, kamu akan bersemangat menjalankannya, tanpa rasa takut apapun “
“ Oh Terimakasih Din. Paham gua. Jadi itu pentingnya bersukur. “
“ Ya. “ kata Udin tersenyum. Senang mendengar malih mengerti apa yang dia katakan.
“ Din, gua mau tanya. Orang China itu kan kaya kaya. Kenapa mereka tidak berbaur dengan orang kita. Sepertinya mereka menjaga jarak dengan kita. Maunya bergaul dengan sesama mereka saja “ kata Malih.
“ Engga juga begitu. Mereka mau bergaul dengan orang yang sama mindset nya dengan mereka. Siapapun itu. Mereka engga peduli. Bahkan dalam bisnis, walau anak atau adik sendiri engga satu mindset mereka engga mau bisnis. Walau Jawa atas padang seperti saya ini, mereka senang saja bermitra. Karena dianggapnya satu mindset. Kalau nyatanya kebanyakan mereka bergaul dan berbisnis dengan orang china juga, itu kebetulan saja. “ kata Udin.
“ Tetapi orang china kaya kaya. “
“ Engga semua. Kamu pergi deh ke sengkawang, banyak sekali orang China hidup di bawah garis kemiskinan. Engga usah jauh jauh, di kampung Jawa, Kebon sayur jakarta, banyak orang china miskin. Tangerang di teluk naga juga banyak yang miskin. Jadi sama saja dengan kita. Ada yang sangat kaya dan ada yang blangsat. Kaya miskin itu ditentukan oleh sikap mental atau mindset. “ Udin mencerahkan.
“ Oh kaya miskin itu tidak ditentukan oleh suku ya Din. Semua tergantung mindset ya. “
“ Ya. Betul “
“ Bisa kasih nasehat gimana soal mindset itu “
“ Kalau kamu tak mampu menjadi beringin, yang tegak di puncak bukit, jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau. Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau kamu tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang, menuntun orang ke mata air. Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya …. Bukan besar kecilnya harta atau jabatan kamu yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu, Jadilah saja dirimu …. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.”
“ Indah sekali Din. Bijak banget lue “kata malih.
“ Itu bukan kata saya, tetapi itu puisi dari Taufik Ismail atau Douglas Malloch yang berjudul Be the Best of Whatever You Are. Artinya siapapun kamu, jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. “ Kata Udin.
“ Terimakasih din. Gua senang kenal lue. Jadi semangat untuk berjuang dengan tetap bersukur dan bersabar.