Waktu saya kecil. Setiap habis sholat maghrib, guru mengaji saya berdongeng tentang kehidupan para Nabi. Itu caranya memberikan pelajaran keteladanan tentang akhlak. Tetapi yang jadi masalah, setelah sholat isya. Dia akan izinkan pulang kalau kami para muridnya bisa menjawab pertanyaan atas cerita kemarin. Nah saya selalu pulang paling belakang. Itupun setelah saya telapak tangan saya dipecut pakai rotan. Apa pasal? Karena saya gagal menjawab pertanyaannya. Saya pahami hakikat cerita. Tetapi menghapal detail cerita, jelas saya engga bisa. Saya ada penyakit disleksi.
Saya tidak mau terus dihukum. Lantas bagaimana caranya agar saya tidak terus kena hukuman.? Satu satunya cara adalah diam diam saya ambil buku sejarah islam yang ada dilemari masjid. Buku itu saya sembunyikan di lipatan sarung saya. Setelah itu saya baca di rumah dan saya hapalkan. Dari itu saya bisa lolos setiap ada pertanyaan dari guru mengaji. Tapi lambat laun. Guru mengaji saya heran.
“ Mengapa kamu bisa terus jawab pertanyaa saya.” Tanya guru saya.
“ Saya baca dari buku sejarah yang tuan Guru punya. “
“ Jadi kamu mencuri buku. Mengambil tampil izin dari saya? Bentaknya.
“Ya tuan Guru.Tapi saya kembalikan setelah usai membaca.” Kata saya dengan takut. Setelah itu saya kaki saya dipecut berkali kali oleh guru mengaji saya.
Saya ceritakan kepada ibu saya. “ Mencuri itu salah. Lain kali jangan lakukan ya” Kata ibu saya seraya memeluk saya. Tapi papa saya berkata kepada saya. “ Bagus itu tandanya kamu hidup berakal mati beriman.” kata papa saya tersenyum.
“Anak kita itu tidak sepintar orang lain. Tetapi dengan kelemahannya dia bisa gunakan akalnya untuk bertahan. Biasa saja. Yang penting, buku itu da kembalikan setelah tujuan dia tercapai. Soal dia dihukum gurunya, itu soal resiko. Itu soal pilihan. Pria memang begitu. “ lanjut papa saya.
Peristiwa itu menjadi inspirasi saya dalam mengarungi bahtera kehidupan sebagai orang dewasa. Hidup ini tidak bisa polos polos amat. Bahkan orang yang kita anggap suci saja, tidak akan bisa mengerti kita. Mungkin dia juga tidak pahami siapa dia. Dia berkata jadikanlah Rasul sebagai teladan. Keteladanan itu hanya bernuasa apokalipso saja.
Tetapi apakah ada kita dapatkan hikmah dari Guru tentang rasul Muhammad SWA dari sisi human being nya. Nabi harus jadi pegawai perempuan STW demi berniaga dapatkan rezeki. Dan akhirnya rasul yang berusia 25 tahun menikahi boss nya yang berusia 40. Sikap rasul adalah sikap berakal. Sebagai pria miskin menikahi perempuan STW yang berbudi baik, lebih masuk akal daripada menikahi perawan yang cantik tapi kere. Itu manusiawi, ripliksi dari Cinta. Karena Nabi beristri kaya, tugas kenabian lebih mudah.
Setelah Khadijah istri pertama Nabi meninggal. Nabi pernah berhutang secara personal kepada pria Yahudi. Itu lebih masuk akal daripada berhutang kepada teman seperjuanganya, Usman bin Afan yang terkenal kaya raya. Mengapa? itu bisa saja menimbulkan fitnah. Hutang piutang dengan Yahudi hanya soal bayar. Dibayar ya selesai. Dijamin tidak akan cerita kemana mana.
Proses penyampaian pesan Tuhan melalui tugas kenabian, apapun itu tidak mengabaikan nilai nilai human being atau manusiawi. Sama saja dengan Khalifah Murad IV yang mencekik sampai mati saudaranya Beyazid pada tahun 1635, diikuti oleh eksekusi terhadap 2 saudaranya setahun kemudian. Itu demi mempertahankan kekuasaannya. Ulama pada masa itu menghalalkan. Manusia cenderung kepada rasa aman dan menghindari mental pecundang. Kalau karena itu manusia lebih menggunakan akalnya untuk survival, itulah sunnatullah.
Yang bego itu akal dikaburkan oleh Agama. Ketika kalah, mengeluh menyalahkan siapa saja. Dan mendoakan agar Tuhan menghukum mereka yang dianggap kafir. Pada waktu bersamaan Tuhan-pun dikeluhkan agar dapat rezeki banyak. Padahal walau Tuhan menjamin rezeki setiap makhluk tetapi Tuhan tidak pernah kirim makanan ke sangkar burung. Tidak pernah Tuhan kirim uang ke ATM anda. Kerja! smart! itulah sumber rezeki yang tidak ada habisnya. Paham ya sayang.