15 tahun lalu saya pernah bertemu teman yang punya ide membuat packaging ramah lingkungan dari bahan singkong dan jagung. Hebatnya, bahan singkong itu hanyalah limbah dari pabrik tepung tapioka dan alkohol. Sebagai penyampur adalah limbah jagung dari pabrik minyak jagung. Jadi produksi packaging ini benar benar solusi industri ramah lingkungan. Dengan harga singkong ditingkat petani, masih tetap layak sebagai bahan baku, apalagi dari limbah tapioka. Tekhnologi itu hasil riset dari Universitas di AS. Teman saya menjelaskan produk packaging ( kemasan) ini sebagai peganti plastik yang dibuat dari bahan nafta. Bisa juga dibuat kertas tissue. Harga tekhnologinya mahal sekali.
Saya mendatangai BPPT dan salah satu kampus PTN. Ternyata tekhnologi itu sudah ada. Hasil riset hanya ditempatkan di perpustakaan. Sayapun mencoba mengajukan ide ke pemerintah untuk membangun pabrik packaging dan kertas dari limbah singkong dan jagung itu. Ternyata jawabanya tidak bisa. Alasannya tidak jelas. Tapi belakangan saya tahu, itu karena industri pengolahan tapioka dan alkohol dari Singkong keberatan. Kartel singkong itu kuat sekali. Udah eksis sejak era Soeharto. Mereka kawatir kalau Industri packaging dan kertas itu di izinkan akan mengurangi kebutuhan mereka akan bahan baku singkong dan jagung. Karena nilai tambah produksi kertas dan packaging jauh lebih tinggi daripada tapioka. Akhirnya terpaksa saya buat pabrik itu di China yang memberikan karpet merah kepada saya.
Kalau anda ke kampus PTN seperti ITB dan IPB, bertanya apa saja tentang tekhnologi menghasilkan produksi bernilai tambah, pasti mereka punya. Kalau anda punya modal, anda juga bisa pesan ke mereka untuk melakukan riset. Biayanya jauh lebih murah daripada melakukan riset sendiri. Kreatifitas bangsa indoensia itu jauh lebih tinggi dibandingkan bangsa china dan jepang. Itu saya tahu pasti dari pergaulan bisnis. Tapi mengapa tidak di implementasikan dalam bentuk industri ? Mereka tidak bisa menjawab dengan jelas.
Menurut saya penyebabnya hanya dua, yaitu, selama ini tidak ada dukungan political will dari pemerintah untuk mendorong terjadinya industrialisasi. Itu karena adanya kartel industri asing yang mencekoki pengusaha indonesia untuk jadi importir saja atau nyaman sebagai “ industri antara” untuk kebutuhan industri downstrean di luar negeri. Kedua, pada uumnya pengusaha besar yang eksis sekarang bermental pedagang, bukan mental indusriawan. Akibatnya terjadilah kartel bisnis yang didukung oligarki politik, yang sehingga industri kreatif tidak tumbuh. Ini masuk katagori mind corruption. Daya rusaknya lebih buruk daripada korupsi uang.
Di era Jokowi saya tahu pasti, dia berusaha memerangi kartel bisnis yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi itu.Tapi pada periode pertama kekuasaannya, kebijakan Jokowi hanya sebatas tata niaga. Belum sepenuhnya masuk ke produksi yang memungkinkan industri kreatif dapat tumbuh significant. Kita bisa lihat fakta, rendahnya kapasitas downstream CPO padahal kita penghasil CPO terbesar dunia. Rendahnya produksi downstream tambang, padahal kita penghasil tambang mineral terbesar dunia. Rendahnya downstream agro, padahal kita punya lahan pertanian terluas di dunia. Belum lagi lingkungan strategis kita yang dilewati 2/3 kapal niaga dunia. Pasar domestik kita termasuk terbesar ke empat didunia. Ini peluang yang tidak ada habisnya untuk memastikan kita leading dibidang industri.
Itu sebabnya Jokowi terkesan marah kepada Mentrinya dalam rapat kabinet terbatas. Karena secara akal tidak mungkin investor asing tidak tertarik melakukan relokasi industri di Indonesia. Masalanya mental para menteri tidak begitu punya nyali berhadapan dengan kartel industri yang di backup oleh elite partai dan DPR. Belum lagi itu bersenggama dengan kartel tanah yang dikomandani oleh Pemda. Benar benar negeri ini terbelenggu oleh para bedebah. Dampaknya matinya kreatifitas anak bangsa dan mundurnya investor asing. Semoga di periode kedua ini, Jokowi bisa lebih keras terhadap para bedebah itu. Bukankah bapak pernah mengatakan pada periode kedua ini bapak akan nothing to lose. Sikat pak. Jangan kendor!