Kemarin saya dinner dengan teman. Mereka direksi BUMN yang berbeda. Kami bicara santai di cafe anak muda. Saat itu suasana cukup ramai. Di samping table kami ada tiga orang wanita. Walau usia mereka tidak muda lagi tetapi mereka cantik cantik. Saya perhatikan kedua direksi BUMN itu nampak tidak serius lagi berbicara santai dengan saya. Karena kadang pandangan mereka diarahkan kesamping table kami. Saya lirik kesebelah. Para wanita itu memalingkan wajah ketempat lain dengan wajah masam. Selama 45 menit bertemu mereka, keadaan sudah tidak nyaman. Saya segera undur diri. Karena ada urusan lain.
Dari pintu keluar saya lihat tiga wanita di samping table kami itu bergabung dengan table teman saya. Saya geleng geleng kepala dan tersenyum sendiri. Ternyata saya memang tidak exciting bagi wanita. Atau dalam ilmu komunikasi saya bukan pria yang catching eyes. Hampir di setiap cafe berkelas didalam dan di luar negeri, pengalaman saya tidak pernah ada wanita tertarik dengan saya pada pandangan pertama. Makanya saya bisa berdiam seorang diri berlama lama di cafe tanpa diganggu. Saya pernah tanya sama istri " apakah saya pria yang menarik secara penampilan" Istri saya menjawab " papa itu limited edition. Hanya gua doang yang tertarik, bukan untuk semua wanita ."
Saya pernah di usir oleh petugas Financial Club di luar negeri. Setelah saya perlihatkan kartu keanggotaan saya, mereka nampak terkejut dan akhirnya tersenyum. Tetapi saya perhatikan ada orang lain, yang tidak pernah di cegat masuk ke dalam club, dan baru setelah duduk ditanya dengan hormat kartu keanggotaannya. Di pesawat, di business class. Dengan ramah pramugari menawarkan untuk tag jas pria bule. Bahkan pramugari membantu bule itu membuka jasnya. Sementara saya duduk disebelah bule itu , dicuekin saja. Tidak ada nampak ramah menawarkan agar jas saya juga di tag.
Saya memang tidak punya cover yang exciting berada dikalangan terbatas. Mengapa ? saya explore diri saya sendiri. Saya menemukan penyebabnya adalah kekurangan saya. Wajah keras dan penampilan yang sederhana. Sehingga tidak menarik bagi wanita. Mengapa saya ceritakan ini? karena saya perhatikan teman teman saya yang tidak mendukung Jokowi, sebagian besar lebih karena ketidak tertarikan mereka kepada penampilan Jokowi. Padahal kinerja SBY bukanlah hal luar biasa namun pemilih SBY adalah sebagian besar para wanita. Konon katanya, di Sumbar, SBY menang dalan pemilu, karena penampilan gagah. Ketertarikan pemilih kepada Anies dan Sandi, juga karena penampilannya yang exciting sangat membantu. Pemilih PS juga alasanya karene penampilan PS yang gagah.
Dalam kondisi pramodern, orang juga sudah menganggap sejarah bergerak karena penglihatan. Melalui ilmu, misalnya. Orang Jawa menyebut ”ilmu” sebagai kawruh. Kata ini punya akar dalam kata weruh, yang dalam kamus Jawa susunan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 berarti ”bisa menggunakan penglihatan” dan juga berarti ”mengerti”. Dan bila benar wayang adalah sumber kearifan, makin jelas bagaimana cahaya (dan akibatnya: bayangan) adalah teknologi purba untuk pen-cerah-an. Kecenderungan mengutamakan mata, oculus, sebagai sumber pengetahuan (dan penguasaan) itu bahkan sudah ada di Yunani Kuno: peradaban yang oculocentric dimulai jauh sebelum Plato. Plato pernah menyebutkan satu upacara purba, satu milenium sebelum dia, yang berlangsung di Eleusis: tiap musim semi ratusan orang berkumpul di sebuah kuil yang gelap pekat bagaikan gua, menantikan ajaran tentang kematian, kelahiran kembali, dan keabadian. Mereka ingin mengetahui hal-hal itu agar dapat mengatur hidup. Nah, Dewi Demeter akan tampil dalam sinar yang terang. Kebenaran akan disampaikan.
Kini jutaan orang, berkelompok atau menyendiri, menantikan informasi. Bukan di Eleusis, tapi melalui sinar di televisi, film, layar komputer dimana saja. Aku melihat, maka aku ada. Tapi hari ini Kindle dan iPad dan entah apa lagi sedang menghapus sumber informasi (bahkan ”kebenaran”) itu. Setiap hari digedor iklan yang tanpa jeda.Etalase-etalase mal yang memamerkan tubuh peraga yang rupawan, busana berpotongan memukau. Atau ratusan botol parfum yang lebih enak dilihat bentuknya ketimbang dicium harumnya. Atau makanan yang mengimbau lidah lewat fotografi. Dan di atas semua itu: logo, logo, logo. Dengan desain yang tak ingin terabaikan.
Kapitalisme, dengan kemampuannya merayakan apa yang visual, mencoba menebus sesuatu yang hilang. Ia bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia dan kehidupan, yang menghabisi sihir, pesona, dan aura yang dulu dirasakan hadir dalam alam. Sejak awal abad ke-19, ketika benda-benda dipajang di toko-toko besar, orang pun jadi konsumen yang ternganga-nganga takjub. Dengan teknik pemasaran yang piawai, lewat komoditas, pesona dikembalikan ke dunia. Kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan. ”Mata adalah peranti yang rapuh,” Artinya, jauh di dalam diri yang tak tampak, ada yang tak tertaklukkan. Kapitalisme mencoba menangkapnya, tapi kata + kisah yang fantastis, yang ”gelap”, menyembunyikannya kembali. Mungkin itu sebabnya kita selalu cemas akan kehilangan fantasi.