Mungkin sebagian anda sering mendengar istilah fiksi. Dalam benak anda bahwa fiksi itu lawan dari fakta. Sebenarnya bukan begitu. Fiksi itu adalah sebuah Prosa naratif yang bersifat imajiner. Meskipun imajiner sebuah fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Kebenaran dalam sebuah dunia fiksi adalah keyakinan yang sesuai dengan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan. Dari definis fiksi tersebut maka dapat saya singkat bahwa fiksi itu bukan realita, namun dia bisa juga fakta yang ada dalam keseharian kehidupan kita.
Kalau kita analogikan maka Jokowi itu adalah fakta. Sementara lawannya adalah fiksi. Lawanya sengaja membangun narasi imajiner tentang negeri makmur dan sejahtera dibawah lindungan syariat islam. Sangking makmurnya semua murah dan bahkan gratis. Pajak rendah dan pendapatan negara dari SDA terkonsentrasi untuk seluas luasnya bagi rakyat banyak. Saya katakan itu fiksi karena tidak akan bersua dengan realitas. Itu sama dengan dongeng negeri utopia. Namun bukan berarti tidak sesuai dengan fakta yang ada. Karena bisa saja terjadi walau tidak sesempurna yang digambarkan dalam narasi fiksi.
kIsah fiksi negeri yang digambarkan oleh pengusung syariat islam itu ternyata faktanya sebagian bersua dalam kepemiminan Jokowi. Pembangunan terjadi merata lewat penyediaan infrastruktur ekonomi dan distribusi modal lewat dana desa dan kredit mikro. Keadilan sosial tersentuh lewat program jaminan sosial, kesehatan dan pendidikan. Kehidupan beragama tegak. Bahkan alokasi APBN untuk Kementrian agama masuk yang terbesar anggarannya. Hukum tegak dengan semakin banyaknya pejabat yang kejaring OTT KPK. Kejujuran teraplikasikan lewat transfaransi APBN dan sistem pemerintahan. Jokowi sendiri tidak terkontaminasi kehidupan elite yang korup, kolutif, nepotisme. Dari itu semua, walau negara lain mengalami penurunan ekonominya, Indonesia tetap tumbuh dan percaya diri.
Namun fakta yang dikerjakan oleh Jokowi itu tenggelam dengan narasi fiksi negeri utopia yang digambarkan oleh Prabowo- sandi dalam setiap kampanye. Walau Prabosan tidak pernah bicara dalil agama, namun dalam bisik bisik semua narasi Prabosan itu diterjemahkan oleh mereka para pendukungnya sebagai narasi syariah islam yang tegak. Di akar rumput diskusi tentang fiksi negeri utopia itu sangat inten. Sehingga melahirkan militansi perjuangan ganti system, ganti presiden. Itulah lawan Jokowi sebenarnya. Lawannya adalah mereka yang mengusung fiksi negeri utopia dibawah panji islam.
Namun gerakan syariat islam dalam bingkai fiksi negeri utopia itu, oleh sebagian besar rakyat Indonesia dianggap tidak masuk akal. Semakin kencang gerakan fiksi utopia semakin kencang pula gerakan rasional, yangmana iconya adalah Jokowi. Jadi pemilu ini bukan pertarungan antara idiologi Pancasila vs Khilafah atau syariat islam. Bukan pertarungan partai nasonalis dengan partai identitas. Tetapi antara seorang Jokowi dan kaum utopian. Seandainya semua Parpol koalisi PDIP bergabung dengan Gerindra mendukung Prabowo-Sandi, tetap hasilnya tidak akan berbeda. Jokowi yang akan menang. Seandainya Jokowi tidak kampanye. Diam saja. Hasilnya tetap akan sama. Jokowi pemenang.
Sebaliknya, seandainya bukan Prabowo lawan Jokowi, hasilnya engga akan jauh berbeda. Jokowi menang tipis. Apa kesimpulannya ? ini bukanlah pertarungan kekuatan mesin partai. Tetapi antara fakta dan fiksi. Bagi kaum utopian, fiksi itu adalah realitas itu sendiri. Makanya mereka tidak mengakui kekalahan. Mereka memang hidup dalam fiksi. Dan kemenangan Jokowi adalah kemenangan akal sehat. Keputusan KPU kelak tidak akan diakui mereka. Selanjutnya mereka akan terus bergerak lewat narasi fiksi, sampai hari kiamat. Dan ini adalah cobaan bagi kita yang waras. Karena kesempurnaan tidak akan pernah ada, namun tanpa tangtangan orang tidak akan lebih baik. Biarkan aja mereka nyinyir tanpa bisa move on. Kita nikmati saja hidup sebagai orang waras.
No comments:
Post a Comment