Hasil Ijtimak Ulama dan Tokoh Nasional III memutuskan lima poin yang menegaskan ada kecurangan terstruktur, masif, dan sistematis dilakukan kubu paslon 01 dalam Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Atas dasar itu, ijtimak ulama III memutuskan agar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melakukan langkah menyikapi keputusan tersebut. Mendesak Bawaslu dan KPU memutuskan membatalkan atau mendiskualifikasi Pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01. Teman saya bertanya kepada saya apakah ulama bisa mengeluarkan maklumat seperti itu? Saya katakan bahwa itu pernyataan sikap politik, bukan agama. Namun memang kebetulan mereka yang hadir itu adalah mereka yang menyebut dirinya ulama.
Mengapa saya katakan itu bukan berkaitan dengan agama? Dalam urusan dunia, walau kita tidak bisa menerima, namun kita diminta untuk memaklumi. Kemungkinan salah atau curang itu bisa saja terjadi. Itu dilakukan oleh kedua kubu. Fitrah manusia memang tidak sempurna. Bahkan dalam urusan agama, Nabi pernah bersabda “ Sungguh agama ini mudah, dan tidaklah seseorang berkeras-keras dalam menjalankannya kecuali ia akan kalah. Akan tetapi (yang benar adalah) jalankanlah dengan sempurna, (kalau tidak mampu) maka mendekatlah pada kesempurnaan, (kalau ada yang tidak mampu) maka berilah kabar gembira…..” ( Bukhari muslim).
Masalah Pemilu itu sudah dilakukan dengan niat baik agar proses terjadi secara sempurna. Engga percaya? perhatikan. KPU Itu didirikan berdasarkan UU. KPU adalah lembaga indepedent atau bukan organik dibawah Presiden. Jadi engga mungkin Presiden bisa kendalikan untuk kepentingannya agar bisa menang. Karena KPU tidak tunduk dengan presiden kecuali kepada UU. Anggota KPU itu dipilih oleh anggota DPR. Walau masing masing fraksi di DPR berhak memilih anggota KPU namun mereka yang terpilih itu bukan partisan, dan tidak pernah terkait dengan ormas atau Partai Politik sedikinya 5 tahun. Jadi hampir tidak mungkin anggota KPU akan berpihak kepada salah satu calon.
Sudah cukup? Belum. Ketika pemilihan umum dilakukan, semua partai dan paslon punya hak mengirim saksinya. Saksi itu ada di setiap TPS. Negara juga melengkapi dengan adanya BAWASLU, untuk memastikan proses PEMILU terlaksana tanpa ada kecurangan, dan wasit independent. Bahkan pengamat pemilu pun dari dalam dan luar negeri berhak memantau langsung sampai ke TPS. Dengan demikian tidak mungkin ada rekayasa untuk memenangkan salah satu paslon.
Hasil pemungutan suara itu dari setiap TPS itu, di hitung secara manual. Kemudian di rekap. Rekapitulasinya dihadiri semua saksi, Bawaslu dan dilakukan berjanjang dari tingkat kecamatan sampai ke pusat. Sementara itu KPU juga membuat perhitungan suara ( SITUNG) secara online dan di publis terbuka. Tujuannya agar masyarakat bisa ikut mengkoreksi perhitungan itu. Hasil final bukanlah Situng tetapi rapat pleno atas rekap suara tingkat pusat. Itupun dihadiri semua paslon. Jadi benar benar terbuka atau transparan. Semua proses itu diawali oleh hasil quick count yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan dan dibenarkan oleh KPU sebagai bagian dari sistem keterbukaan. Hasil quick count sebagai banmark atau patokan untuk memastikan tidak ada rekayasa dalam perhitungan real count.
Secara sistem memang benar benar KPU itu di design sangat sempurna. Namun namanya perbuatan manusia tentu tidak ada yang sempurna. Pasti ada salah. Makanya UU Pemilu membuka peluang untuk mengajukan gugatan melalui jalur hukum, MK. Disanalah perseteruan bagi yang merasa dirugikan untuk mendapatkan keadilan. Apalagi ? apakah ulama yang sedang berkumpul mengeluarkan ijtimak paham soal sistem ini ? Dalam urusan agama saja Nabi mengatakan tidak ada manusia yang mampu melaksanakan secara sempurna. Bahkan kalau tidak bisa sempurna, kita hanya diminta untuk mendekati sempurna. Kalaupun tidak bisa mendekati kesempurnaan, maka ulama diminta untuk menyampaikan kabar gembira.
Apa itu kabar gembira ? Yaitu kabar gembira buat siapapun yang tidak mampu beramal ibadah sempurna, selama ketidakmampuan tersebut bukan karena niatannya maka tidak akan mengurangi pahalanya.” Jadi kalau pemilu sudah dilaksanakan atas dasar niat baik, dan dilakukan dengan sungguh sungguh sampai lebih 100 orang petugas meninggal berjuang agar pemilu dapat terlaksana, saya rasa itu adalah bukanlah kesalahan yang disengaja. Itu adalah pahala. Kalaupun ada ketidak sempurnaan, namun tidak mengurangi pahalanya di sisi Allah.
Tetapi mengapa harus dikeluarkan ijtimak ulama yang dihadiri oleh mereka yang bukan ulama, seperti Prabowo, Sandiaga Uno, Fadlizon? Sebenarnya para ulama yang dimaksud tersebut sedang berusaha nego dengan firman Allah “ Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Ali ‘Imrân/3:26]. Tapi Allah berbuat sesukanya. Walau doa dilantunkan mereka dengan berbusa mulut. Airmata jatuh ke bumi. Hasilnya bukan kehendak mereka yang terpilih sebagai presiden, tapi Jokowi-Ma’ruf Amin. Mengapa ? hanya Allah yang tahu. Seharusnya kita menerima dengan ikhlas dan berharap mendapatkan hikmah.
Tapi ulama yang melakukan ijtimak jilid 3 seharusnya meniru akhlak sebagian besar umat islam pada khususnya dan penduduk indonesia pada umumnya. 95% rakyat bisa menerima hasil pemilu walau pilihannya kalah. Mereka ternyata lebih beriman atas keputusan Allah walau mereka sebagian besar bukan kaliber Ulama.