Di zaman kini—persisnya di zaman ketika sekelompok
orang berkata bila kelompoknya memimpin negeri ini maka semua akan makmur
sejahtera karena Negara menjamin kebebasan setiap orang belanja dengan murah dan
karena itu negara mensubsidi kebutuhan umum public. Mereka tidak paham bila
kini nilai uang dan emas tergantung CDS. Tidak mau tahu bahwa Freeport sama dengan uwak Sam, cari ribut dengan mereka sama saja mati konyol. Mereka tidak mau tahu bahwa sumberdaya alam itu hanya potensi
ekonomi bukan potensi financial. Tanpa keberanian menghadang resiko, dan kerja
keras, potensi ekonomi tidak bernilai financial. Karena iman, pertolongan Allah
akan datang. Itu semua mudah, katanya. Benar , bahwa mukjizat tak pernah datang tanpa
mengecoh. Manusia punya kemampuan besar untuk membentuk khayal jadi janji—dan
mempercayai janji itu setelah mengemasnya dengan ”iman” atau ”ilmu”. Di zaman
”iman”, orang percaya akan deus ex machina, dewa yang keluar tiba-tiba dari
”mesin” dan menyelamatkan manusia dari tebing jurang bencana. Tapi, untunglah,
tak semua dan tak selamanya orang teperdaya. Mukjizat hanya laris ketika yang
terkecoh dan yang mengecoh bersatu, ketika ada hasrat yang diam-diam mencekam,
agar hari ini yang terpuruk dapat ditinggalkan dengan ”loncatan jauh ke depan”.Padahal,
sejarah tak pernah terdiri atas loncatan seperti itu. Hasrat buat mendatangkan
mukjizat selamanya gagal, bahkan ketika ia didukung ”iman” yang bergabung
dengan ”ilmu”. Contoh yang terkenal adalah cerita Trofim Lysenko di Uni Soviet
di masa kekuasaan Stalin. Pada 1927, dalam usia 29, anak petani Ukraina yang
pernah belajar di Institut Pertanian Kiev ini menjanjikan mukjizat. Koran resmi
Pravda (artinya ”Kebenaran”) menyebut Lysenko bisa ”mengubah padang gersang
Transkaukasus jadi hijau di musim dingin, hingga ternak tak akan punah karena
kurang pangan, dan petani Turki akan mampu hidup sepanjang musim salju tanpa
gemetar menghadapi hari esok”.
Dengan proses yang disebutnya ”vernalisasi”,
Lysenko mengklaim ia mampu membuat keajaiban itu. Partai yang berkuasa—yang
selamanya ingin dengan segera dapat kabar baik—mendukungnya, dan Stalin
mendekingnya. Tak seorang pakar pertanian pun yang berani membantah. Sejak
1935, Lysenko bahkan diangkat ke jabatan yang penting: memimpin Akademi
Ilmu-ilmu Pertanian. Di sini ia bisa menggeser siapa saja yang tak
menyetujuinya. Baru pada 1964, hampir sedasawarsa setelah Stalin mangkat,
ilmuwan terkemuka Andrei Shakarov secara terbuka mengecamnya: Lysenko-lah yang
bertanggung jawab atas kemunduran yang memalukan bidang biologi Uni Soviet,
karena ”penyebaran pandangan pseudo-ilmiah”, bahkan penyingkiran dan pembunuhan
para ilmuwan yang sejati.Kehendak untuk mukjizat acap kali berkaitan dengan
hasrat untuk super-kuasa: ”iman” atau ”ilmu” seakan-akan bisa membawa seseorang
ke sana. Itu sebabnya mukjizat yang mengecoh tak hanya terbatas pada kasus
macam Lysenko. Ada contoh lain dari Cina. Menjelang akhir 1950-an, Mao
Zedong—yang beriman kepada sosialismenya sendiri dan merasa sosialisme itu
”ilmiah”—menggerakkan rakyat di bawah kekuasaannya agar membuat ”loncatan jauh
ke depan”. Mao ingin agar Cina yang ”terkebelakang” akan dengan waktu beberapa
tahun jadi sebuah negeri industri yang setaraf Inggris. Caranya khas Mao:
mobilisasi rakyat. Di pedesaan Cina yang luas, ribuan tanur tinggi untuk
produksi baja dibangun dengan mengerahkan segala bahan yang ada. Hasilnya: baja
yang tak bermutu. Sementara itu, di seantero Cina yang luas, selama dua tahun
berjuta-juta petani telah dikuras tenaganya untuk itu, hingga sawah dan ladang
telantar—dan kelaparan pun datang. Berapa juta manusia yang mati akibat itu,
tak pernah bisa dipastikan.
Keinginan untuk mendapatkan mukjizat mungkin
sebanding dengan tingkat putus asa yang menghantui mereka yang mendambakan deus
ex machina. Manipulasi Lysenko terjadi ketika Uni Soviet menghadapi krisis
pangan setelah ladang-ladang pertanian diambil alih negara dan panen gagal
bertubi-tubi. Saya kira fantasi Mao tak bisa dipisahkan dari trauma macam yang
pada 1928 dilukiskan dalam A Learner in China: A Life of Rewi Alley tentang
bocah-bocah buruh perajutan sutra di Shanghai, yang berbaris panjang, berdiri
selama 12 jam di depan kuali-kuali perebus kepompong yang mendidih. Anak-anak
berumur sekitar sembilan tahun itu menatap lelah, sementara jari tangan mereka bengkak
memerah memunguti kepompong ulat sutra yang direbus itu. Para mandor berdiri di
belakang mereka dengan cambuk kawat, tak jarang mendera bocah yang salah kerja.
Ada yang menangis kesakitan. Di ruangan yang penuh uap dan panas itu, ”mereka
terlalu sengsara untuk bisa dilukiskan dengan kata-kata”, tulis Alley.
Kita tahu, kesengsaraan itu juga tanda
ketidakadilan. Dan memang tak mudah buat bersabar di hadapan itu. Maoisme
berangkat dari kehendak menghabisinya, dengan rencana yang cepat dan tepat.
Tapi apa yang ”tepat” dalam sejarah yang senantiasa bergerak, berkelok, dan tak
jarang jadi kabur? Baik ”iman” maupun ”ilmu” acap kali membuat hal-hal jadi
terlampau mudah diselesaikan. Tentu saja
harus dicatat: Indonesia hari ini bukan Uni Soviet di masa Lysenko, bukan pula
Cina di masa Mao. Di sini ”iman” dan ”ilmu” tak dibiarkan memegang monopoli.
Informasi mengalir leluasa, pertanyaan dan keraguan dengan bebas dinyatakan,
dan tiap pengetahuan diperlakukan hanya sampai kepada tingkat pengetahuan,
bukan kebenaran. Dan di sini, bahkan kantor kepresidenan tak bisa dan tak
hendak membungkam perdebatan. Jokowi tidak bicara mukjizat tapi proses kerja keras,
dan dari sana dia membangun insprasi untuk orang percaya akan mujizat ..