Saya posting di Wall Facebook “Ubur Ubur atau
jellyfish adalah binatang yg hidup dari plankton yang ada didalam air laut.
Makanya kehadiran Ubur Ubur tidak setiap waktu. Tergantung musiman ketika
plankton banyak. Artinya Ubur Ubur hidup mengandalkan subsidi dari
lingkungannya dan ketika ligkungan tidak lagi memberi subsidi maka dia musnah.
Mengapa begitu? Karena Ubur Ubur tidak punya OTAK. Masih lebih baik udang walau
otak di pantat tapi ada. Jadi, hiduplah layaknya manusia. Jangan seperti Ubur
Ubur yang hanya hidup bila disubsidi.”.Gara gara postingan ini maka saya
mendapatkan response positip dari public yang bisa memahami dibalik analogi
itu. Tapi bagi yang gagal paham maka langsung menuduh saya anti orang miskin, yang apalagi sebagian
besar orang miskin di Indonesia adalah orang islam. Ada juga yang
berargumentasi bahwa Negara majupun memberikan subsidi kepara rakyatnya. Apa
salahnya subsidi.Bagaimanapun bagi mereka yang tidak paham dengan analogi saya
tentang Ubur ubur penerima subsidi itu , adalah penghinaan. Seperti ungkapan “Na'udzubillah.
Jikalah yang disebut ubur-ubur itu seorang muslim, celaka betul omongan Anda.
Di mata Allah, kehormatan muslim itu lebih mulia dari Ka'bah sekalipun. Hebat
betul Anda menyamakan seorang muslim dengan ubur-ubur. Keji sekali. Jahat
sekali.”. Karena ini masalah gagal paham dan saya sampaikan di forum public maka saya bertanggung jawab untuk
meluruskan maksud saya dengan analogi tentang ubur ubur.
Ubur Ubur itu adalah mahkluk Allah. Ia tidak diberi
kekuatan sebagai predator untuk mendapatkan makan. Ia juga tidak diberi otak
untuk mencari makan.Tapi Allah mendesign tubuhnya mampu menyerap makanan dari
lingkungan tempat dia hidup. Jadi tanpa harus berlelah mengejar mangsa untuk
dapat makan atau putar otak untuk survival , cukup dengan duduk diam, plankton
sebagai sumber makanan akan datang sendiri untuk dimakannya. Inilah keadilan
Allah. Ubur Ubur tidak punya otak, tidak punya organ tubuh sehebat hiu namun
Allah menjamin rezekinya dengan ekosistemnya. Nah, manusia bukanlah Ubur
Ubur.Manusia adalah makhluk sempurna dengan organ tubuh yang lengkap. Manusia tidak di design oleh Allah untuk untuk menjadi parasit. Manusia harus mandiri dan merdeka agar sempurna. Karenanya manusia harus
menggunakan panca indra dan otaknya untuk bisa makan, dan survival.
Lantas apa
masalahnya dengan SUBSIDI? Yang harus dipahami adalah subsidi itu beda dengan
jaminan social. Subsidi itu adalah kebijakan pemerintah yang mengintervensi
hukum pasar.Contoh subsidi konsumsi BBM atau Listrik,angkutan. BIla pemerintah
memberikan subsidi maka itu tidak hanya berlaku bagi orang miskin tapi juga
berlaku bagi orang kaya. Subsidi berlaku bagi semua pihak. Karena memang
tujuannya bukan untuk charity tapi untuk mensiasati pasar agar terjadi pemerataan berkosumsi.Mengapa? Karena pemerintah belum mampu memastikan semua rakyat mampu berkosumsi. Dengan adanya subsidi maka semua rakyat punya kemampuan berkonsumsi
sehingga produksi dapat diserap. Kebijakan ini seharusnya tidak permanen tapi sementara sampai sistem ekonomi bekerja efektif dimana semua orang punya kemampuan berkosumsi tanpa disubsidi. Sementara jaminan sosial sampai kapanpun harus tetap ada. Karena selagi dunia terkembang selalu ada orang miskin yang harus disantuni danitulah gunanya negara mengurus mereka yang tak mampu.
Masalahnya kebijakan subsidi yang sudah
berlangsung sejak era Soehato itu tidak berjalan seperti idealisme dari teori
ekonomi Rostow, bahwa subsidi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan pemerataan. Subsidi justru menciptakan distorsi pasar dan menjadi
beban tetap APBN yang dari tahun ketahun mengrogoti daya tahan APBN untuk
melaksanakan fungsi sosialnya. Sampai dengan era SBY, ruang fiscal yang
merupakan kekuatan real pemerintah menggerakan sector real tinggal hanya 8%. Jumlahnya
tidak cukup untuk membangun 50 KM jalan baru. Makanya selama Era reformasi (terakhir
era SBY ) tidak ada waduk baru dibangun, tidak ada pelabuhan laut baru dibangun,
tidak ada penambahan daya listrik secara significant.! Jumlah subsidi BBM dan sector
lainnya yang mencapai kurang lebih 30% APBN habis begitu saja setiap tahun tanpa ada penambahan modal tetap negara.
Ekonomi hanya di drive oleh 10 komoditas yang 90% dikuasai oleh konglomerat, yang menguasai 60% kapitalisasi nasional, dengan
sumbangan angkatan kerja hanya sebesar 10%. Sementara petani dan nelayan serta
UKM yang menyumbang angkatan kerja nasional 90% tidak terjangkau oleh APBN
untuk diurus karena ruang fiscal tidak cukup untuk membangun satu waduk baru. Jadi
kebijakan subsidi sebetulnya adalah paradox, APBN meningkat berlipat tapi kemakmuran tidak tercipta,
bukannya kemakmuran yang didapat tapi malah mendorong Negara terjebak hutang
dan desifit primer. Ini harus dihentikan agar tidak terjadi paradox
Lantas bagaimana dengan orang miskin? Rakyat
miskin tidak disubsidi. Di negara maju manapun orang miskin tidak disubsidi tapi disantuni dengan program jaminan social. Ini amanah UUD 45. Pemerintah
mempunyai program Kartu Indonesia Pintar untuk menjamin anak yang tidak mampu
mendapatkan santunan biaya pendidikan. Kartu Indonesia Sehat ( KIS) yang
menjamin premi asuransi kesehatan bagi orang miskin. Ada Kartu Indonesia Sejahtera ( KISs) sebagai dana jaring
pengaman social bagi orang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Juga ada
program dana bantuan desa untuk menggerakan ekonomi desa. Ada juga program pengadaan sejuta rumah bagi kaum
buruh didaerah perkotaan yang tidak mampu
membeli rumah. Lantas kemana dana subsidi yang tadi digunakan untuk konsumsi
BBM dan lainnya itu ? dana itu dialihkan ke sector real. Kalau tadi dana subsidi ada di pos belanja rutin pada APBN, kini dana subsidi ada di pos fiskal. 60% dana fiskal digunakan untuk mendukung sektor pertanian dalam bentuk irigasi,waduk, pupuk dan sarana kerja. Agar petani berdaya dan
kita swasembada pangan. Sisa dana fiskal digunakan untuk membangun
infrastruktur ekonomi seperti jalan,pelabuhan, agar logistic system dapat efisien
sehingga hasil produksi dapat murah sampai ditangan konsumen. Jadi kebijakan subsidi harga dan konsumsi sudah kita rasakan lebih dari 50 tahun dan kini saatnya kita kembali ke fitrah kita sebagai manusia (bukan Ubur ubur) ; Bekerja keras agar kita tidak menjadi beban negara dan kita bagian dari solusi memakmurkan bangsa lewat berbagi kepada yang tidak mampu.