Dalam buku Adnan Buyung Nasution,
Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, ada mengutp Pidato Kiai Haji Isa Anshary yang tercatat dalam
salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang diterbitkan
Sekretariat Konstituante, ”Kalau
saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam,
kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam
sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila
itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari
Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan
tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari
Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam,
tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….” Isa Anshary berani mengatakan itu setelah ia
terpilih sebagai anggota legislative dalam pemilu 1955 yang paling demokratis
dan paling jujur sepanjang sejaran republic ini. Dia mewakili Partai Masyumi.
Sikap tegasnya tidak dengan mengangkat senjata tapi dengan mengangkat otak . Sikap ini berbeda dengan Kartosuwiryo yang merasa perlu mengangkat senjata ketika keinginannya
mendirikan Negara islam tidak mendapat legitimasi. Isya Anshary dan
Kartosuwiryo telah berbuat dengan keyakinannya walau pada akhirnya sia sia saja.
Indonesia tetap dengan dirinya
sendiri bersama Pancasila, dan belakangan Pancasila di era Reformasi di jadikan
simbol belaka tanpa kaitan hukum dengan UUD. Saya memang berharap agar negeri
ini berlandaskan kepada Islam. Cukuplah islam sebagai dasar apapaun. Namun ketika teman aktifis berkata kepada saya bahwa
apakah bentuk kontruksi negara islam itu? Bukankah Rasul tidak pernah
memberikan contoh bagaimana model kekuasaan itu harus ada. Padahal era Rasul
sudah ada model kekuasaan seperti Kerajaan Sasania (Irak ) dan Kerajaan Romawi.
Teman ini melanjutkan dengan hipotesanya bahwa Imam Al Syathibi, ia hidup di masa
pemerintahan Bani Ahmar yang merupakan keturunan keluarga besar sahabat
Rasulullah SAW dari kalangan Anshar yang bernama Sa’ad bin Ubadah. Imam al
Syathibi menulis kitab al Muwafaqat yang menjelaskan konsep al maqasid al
syariah agar para ulama dalam mengambil penafsiran fikih selalu berpegang pada
maksud hakiki syariah, berpegang pada roh syariah, bukan sekadar pada
formalitasnya. Awalnya, beliau akan menamakan kitabnya al Ta’rif bi Asrar al
Taklif (penafsiran atas hukum syariah yang tertulis). Namun, beliau tidak ingin
kitabnya dianggap sebagai satu-satunya penafsiran. Maqasid Syariah mengandung
lima hal, yaitu 1) melindungi agama ,2). melindungi jiwa.3) , melindungi
keutuhan keluarga besar . 4). Melindungi akal 5). melindungi hak atas harta.
Ketika islam berkuasa di Spanyol,
konsep Maqasid Syariah diterima luas di Grenada yang heterogen: Muslim,
Katolik, Protestan, dan Yahudi, karena ia melindungi semua orang. Tidak ada
lagi tirani minoritas yang terjadi sebelum masuknya Islam ke Spanyol, tidak
juga dominasi mayoritas karena melindungi akal pendapat dalam Maqasid Syariah,
termasuk akal pendapat kaum minoritas. Konsep inilah yang disebut demokrasi
dengan perlindungan bagi kaum minoritas, suatu konsep yang jauh lebih baik dari
sekadar demokrasi. Saya terpesona. Tahukah kamu kata
teman saya bahwa konsep al maqasid al
syariah mungkin bisa dikatakan senapas dengan Pancasila. Cobalah perhatikan yaitu
pertama, melindungi agama yang dalam Pancasila disebut ‘Ketuhanan Yang Maha
Esa’. Kedua, melindungi jiwa yang dalam Pancasila disebut ‘Perikemanusiaan yang
adil dan beradab’. Ketiga, melindungi keutuhan keluarga besar yang dalam
Pancasila disebut ‘Persatuan Indonesia’. Keempat, melindungi akal pendapat yang
dalam Pancasila disebut ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan’. Kelima, melindungi hak atas harta yang dalam
Pancasila disebut ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Itu sebabnya
ketika Pancasila ditawarkan sebagai konsep filosofis berdirinya negara
Indonesia,semua pendiri negara berbulat hati untuk menerimanya tanpa ada yang
keberatan.Ini mungkin bisa dimaklumi karena sebagian besar para pendiri negara
adalah para pemimpin berkaliber ulama.
Kita menginginkan berdirinya
daulat islam di negeri ini agar keadilan tegak , kebenaran dibela dan kebaikan
diutamakan. Namun kawan, kita tahu ,
ketika para ahli agama sebagaimana kaum ideolog—merasa diri jadi penyambung lidah
Yang Maha Sempurna dan merasa paling benar maka riwayat agama-agama tak bersih
dari darah dan kebengisan. Ketika yang cacat tak kunjung dapat dihilangkan,
doktrin pun membentuk diri dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk dan
akhirnya dibinasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si kafir. Dengan tegas dikatakan bahwa seharusnya islam
kafah atau sebuah totaliter diterapkan agar islam menjadi rahmat bagi alam
semesta. Teman itu tersenyum dan berkata dengan lembut kepada saya bahwa yang
sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan
tentang kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan tentang ”yang sempurna”
ini—yang oleh para psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya
lahir dan tumbuh dari rasa risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat. Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat selama-lamanya. Tapi
kita tahu, debat soal itu tak akan habis. Ya, Dunia ini hanyalah permainan saja sebagai cara Allah berdialogh dan mendidik umatnya agar sempurna.Bertengkar itu salah, apalagi saling membunuh.Kalau hidup bisa damai dalam perbedaan maka kita sudah menjadikan akhlak segala galanya. Bukankah itu tujuan rasul dikirim kedunia.? demikian kata teman saya menyimpulkan. Bayangan saya kemasa kebelakang dimana masyarakat yang total sulit tercapai. ”Negara Islam” telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya
sebuah iktikad baik yang mencoba-coba.