Milton Friedman tahu précis bagaimana melahirkan pemikiran yang langsung menjadi kitab mulia terbaik diplanet bumi, dipuja oleh orang. Karena dia memberikan analogi précis seperti iblis meyakinkan Adam untuk memakan buah terlarang. Konsep free to choose memang ampuh membuat manusia lupa penciptanya. Kalau Kitab Mulia yang diturunkan oleh Allah melalui para Nabi masih
banyak diperdebatkan tafsirnya, hingga menimbulkan berbagai mahzab namun Free to choose menjadi inpirasi para intelektual sekular untuk sepakat dalam isme baru itu. Para orang
pinter terdidik di kampus terbaik di AS, merasa sangat bangga untuk
menyebut diri mereka sebagai creator dunia baru. Mereka tampil sebagai pencerah
para pemimpin di lima benua. Advice mereka menjadi sami’na waatakna bagi Budiono ketika dia menjadi Menteri Keuangan untuk mengganti LOI IMF dalam bentuk Structure Adjustment Program (SAP). Dengan demikian, program penghapusan subsidi, privatisasi layananan publik harus terlaksana secara efektif. Target SAP semua itu harus selesai pada tahun 2015. Negara harus keluar dari fungsi sosialnya melindungi rakyat yang lemah dari kekuatan pasar.
Milton Friedman, memang dikenal
seorang orator yang baik dan negosiator yang handal. Ketika China membuka diri
di Era Deng, Friedman tampil memukau dihadapan elite yang kelak menjadi mentor
dan creator tampilnya china sebagai
kekuatan ekonomi nomor dua didunia. Pada China , Friedman berhasil mengiring
Negara komunis yang otoriter , kaku, sok paling benar , menjadi emansipasif
terhadap rakyat yang berjumlah diatas 1 miliar itu. Mungkin china suka akan
Friedman dalam kerangka teoritis bagaimana membangun emansipasi aktif rakyat
dalam berproduksi tapi tidak menjadikan free to choose sebagai isme Negara.
Yang pasti disatu sisi Free to chose memang berhasil memberikan inspirasi bagi
elite partai komunis bagaimana membangkitkan potensi terpendam rakyat China
untuk menjadi locomotive pertumbuhan ekonomi lewat produksi dan pasar. Untuk
itu Friedman, boleh berbangga sebagaimana bangganya sebagai peraih hadiah nobel
bidang ekonomi science.
Tapi tidak begitu yang dialami
Eropa, dan para Negara follower Friedman. Bahkan juga di AS dimana Friedman
dibesarkan dan berkiprah bak celebratis dipanggung kampus terbaik. Kebebasan
pasar yang tak boleh disentuh oleh Negara, telah membuat AS, Eropa dan lainnya
meradang dalam berbagai krisis ekonomi. Namun tak ada satupun para ekonom
berani menyalahkan Friedman. Mereka mulai berdalih dengan berbagai tesis yang
tetap membenarkan Friedman. George Soros menyebut Friedman sebagai bapak fundamentalisme pasar; Paul Krugman
menamakannya absolutisme laissez faire. Namun Amartya Sen dalam tulisannya di
The New York Review of Books bertanggal 26 Maret 2009 tak memberi nama apa pun.
Tapi ia menyebut kesalahan Friedman yang tak bisa dengan jelas membedakan
keniscayaan (necessity) pasar dari keserbacukupan (sufficiency) pasar. Sen,
berani berbeda pendapat karena dia melihat pasar tak selalu ada bandrol dan di
etalage.
Bagi Sen, di tiap pasar selalu
ada yang bukan-pasar dan itu dibutuhkan. Sen menunjukkan bahwa para penerus
Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai bapak paham kapitalisme itu,
telah keliru bukan karena sang bapak salah. Mereka keliru karena Smith, dalam
bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang
menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar,
oleh kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith, sebagaimana dikutip Sen,
juga berbicara tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan
semangat kebersamaan. Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar.
Mereka justru diperlukan Pasar agar berjalan beres. Sebagaimana dicatat oleh
sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul sebelum ada sistem hukum dan
praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan berjalannya
perekonomian yang berdasarkan kepemilikan.
Albert Hirschman mengatakan hal
itu dalam esainya, Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some
Categories of Economic Discours: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap
orang bahwa ia dapat mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public
spirit, dan hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, sistem itu
akan menggerogoti vitalitasnya sendiri. Sebab vitalitas itu berangkat dari
sikap menghormati norma-norma moral tertentu, sikap yang katanya tak diakui dan
dianggap penting oleh ideologi resmi kapitalisme. Kini memang terbukti: Pasar
yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus seperti yang dikumandangkan oleh
risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed pada akhirnya
terguncang oleh skandal Enron, Madoff, Lehman Brothers. Kepercayaan runtuh,
orang ramai kembali datang ke Lembaga Negara , bahwa tidak ada free of choose
tanpa kearifan!.
Benar bahwa keberadaan
institutional bernama Negara tidak sepenuhnya bisa mengendalikan prinsip moral
itu tapi bukan berarti Negara dan rakyat terpisah. Ada perekat antara Negara
disana dan rakyat disini. Yaitu agama. Makanya kebutuhan agama dalam lembaga Negara sangat penting untuk mengatur
apa yang tersembunyi dalam diri manusia , agar fitrah manusia yang free to choose bisa diarahkan kepada kebenaran, kebaikan dan keadilan…Ya dalam bahasa
romantis bahwa agama berkata, Negara memakai. Sami’na waatakna hanya kepada
Agama, karena disitulah Allah bertitah untuk cinta dan kasih sayang , untuk
lahirnya kesejahteraan bagi semua, ya kan Pak Budiono...