Dua minggu lalu bunda maksa saya untuk datang melihat Masjid Kubah Mas di daerah Depok. Nama Masjid itu sebetulnya adalah Dian Al - Mahri. Mungkin karena kubahnya berwarna kuning keemasan makanya disebut Kubah Mas. Saya sebetulnya berat untuk melangkah ke sana. Karena bagi saya sholat dimanapun bagi Allah sama saja. Yang penting bukan tempatnya yang megah tapi kekhusuan sholat berjamaah itulah yang utama. Tapi karena desakan Bunda maka saya tak ada pilihan untuk tidak mengantarnya. Setelah melewati gerbang Satpam dan Parkir , maka kamipun masuk kedalam Masjid megah itu. Setelah keluar dari masjid itu saya berpikir , andaikan uang untuk membangun masjid yang megah ini dikelola secara professional dan hasilnya dipergunakan untuk kemanusiaan , tentu banyak sekali orang miskin yang dapat dibantu. Apalagi donator masjid ini juga siap dengan dana untuk membantu orang miskin.
Sebetulnya didalam Al Quran amalan yang paling sering disebut adalah memberikan makan orang miskin. Pembangunan masjid malah tidak ada dalam Al Quran. Bahkan ada pembangunan masjid yang dikecam dalam Al Quran yaitu pembangunan Masjid Dhirar ( QS. Taubah (9) Ayat 107.). Tapi mengapa pembangunan masjid di Indonesia menjadi tradisi ? Bahkan Inilah negeri dengan jumlah masjid terbanyak didunia. Hal ini tak lepas dari cara para Sultan terdahulu yang selalu menempatkan Masjid besar didepan alun alun. Tujuannya adalah agar penduduk dapat dipersatukan dalam dimensi agama. Sehingga para sultan tidak kesulitan untuk menggiring masyarakat sebagai perekat kekuasaan. Cara ini juga sebagai motivasi lahirnya icon kesatuan dari tingkat desa , kecamatan sampai ketingkat pusat dimana sang penguasa bertahta.
Selanjutnya dari masa kemasa Masjid terus bermunculan dan dibangun dengan segala daya dan upaya untuk tampil megah. Bahkan Yayasan Dakap dizaman Pak Harto bertugas menggalang dana untuk membangun masjid seantero nusantara. Model dan rancangannya yang serba segi lima sebagai bentuk penyamaan paham dimana pancasila sebagai azas tunggal. Kemudian para orang kaya pun berlomba lomba membangun masjid dengan namanya sendiri atau nama yayasannya. Sebatas nampak dari luar sebagai upaya untuk syiar agama maka itu dapat diterima. Hanya saja yang menjadi kekawatiran adalah apabila pembangunan masjid itu bertujuan untuk politik kekuasaan atau sebagai wahana untuk aktualisasi diri para pengurus dan donator pembangunan masjid. Karena apapun dalihnya selain karena untuk mencari ridho Allah maka itu adalah perbuatan sombong dan takabur.
Bukan rahasia umum bila pengurus masjid dan donator masjid selalu ditempatkan pada tempat yang terhormat dimasjid. Selalu ada dibarisan depan. Walau dia datang terlambat. Bahkan pejabat yang ikut memberikan santunan dinanti oleh pengurus masjid didepan gerbang dan ditempatkan pada posisi terhormat. Kadang sikaf ini melupakan masjid adalah milik Allah dan semua orang dihadapan Allah adalah sama. Tradisi seperti inilah yang merupakan sarana ampuh bagi Iblis untuk menggelincirkan orang kaya dan penguasa kepada sirik social , yang bahkan menimbulkan sifat sombong dan takabur. Padahal dalam Islam sebaiknya sumbangan itu tidak perlu ada orang yang tahu selain Allah. Tangan kanan memberi tanpa diketahui oleh tangan kiri. Begitu sunnah rasul.
Esensi masjid bukanlah dari keindahan masjid. Bukan. Tapi ramainya orang datang berjamaah dengan khusu serta dijalin oleh rasa persaudaraan yang tinggi. Sholat berjamah dan masjid adalah ujud social culture umat dalam memahami syariat Agama. Bahwa kebersamaan itu adalah segala galanya,. Masjid harus berfungsi tidak hanya sebagai tempat sholat dengan kemegahannya untuk dilihat tapi lebih kepada sebagai sarana perjuangan umat untuk meninggikan kalimat Allah. Dari berkumpulnya umat dalam satu tempat , banyak hal tentang syariat berjihad dapat diorganisir.Yang utama adalah bagaimana membantu mereka yang lemah dan terzolimi. Para ulama harus sebagai mentor untuk memeriahkan masjid dalam nafas perjuangan itu. Sehingga tak lagi nampak Masjid harus dijaga oleh Satpam, Tak harus masjid terkunci rapat ketika tidak dipergunakan untuk sholat berjamaah. Masjid 24 jam terbuka bagi siapa saja yang ingin berjihad.
Kita tidak perlu masjid megah tampilannya tapi kumuh program sosialnya. Kita cukup masjid yang sederhana tapi megah program sosialnya. Mungkinkah ?
Sebetulnya didalam Al Quran amalan yang paling sering disebut adalah memberikan makan orang miskin. Pembangunan masjid malah tidak ada dalam Al Quran. Bahkan ada pembangunan masjid yang dikecam dalam Al Quran yaitu pembangunan Masjid Dhirar ( QS. Taubah (9) Ayat 107.). Tapi mengapa pembangunan masjid di Indonesia menjadi tradisi ? Bahkan Inilah negeri dengan jumlah masjid terbanyak didunia. Hal ini tak lepas dari cara para Sultan terdahulu yang selalu menempatkan Masjid besar didepan alun alun. Tujuannya adalah agar penduduk dapat dipersatukan dalam dimensi agama. Sehingga para sultan tidak kesulitan untuk menggiring masyarakat sebagai perekat kekuasaan. Cara ini juga sebagai motivasi lahirnya icon kesatuan dari tingkat desa , kecamatan sampai ketingkat pusat dimana sang penguasa bertahta.
Selanjutnya dari masa kemasa Masjid terus bermunculan dan dibangun dengan segala daya dan upaya untuk tampil megah. Bahkan Yayasan Dakap dizaman Pak Harto bertugas menggalang dana untuk membangun masjid seantero nusantara. Model dan rancangannya yang serba segi lima sebagai bentuk penyamaan paham dimana pancasila sebagai azas tunggal. Kemudian para orang kaya pun berlomba lomba membangun masjid dengan namanya sendiri atau nama yayasannya. Sebatas nampak dari luar sebagai upaya untuk syiar agama maka itu dapat diterima. Hanya saja yang menjadi kekawatiran adalah apabila pembangunan masjid itu bertujuan untuk politik kekuasaan atau sebagai wahana untuk aktualisasi diri para pengurus dan donator pembangunan masjid. Karena apapun dalihnya selain karena untuk mencari ridho Allah maka itu adalah perbuatan sombong dan takabur.
Bukan rahasia umum bila pengurus masjid dan donator masjid selalu ditempatkan pada tempat yang terhormat dimasjid. Selalu ada dibarisan depan. Walau dia datang terlambat. Bahkan pejabat yang ikut memberikan santunan dinanti oleh pengurus masjid didepan gerbang dan ditempatkan pada posisi terhormat. Kadang sikaf ini melupakan masjid adalah milik Allah dan semua orang dihadapan Allah adalah sama. Tradisi seperti inilah yang merupakan sarana ampuh bagi Iblis untuk menggelincirkan orang kaya dan penguasa kepada sirik social , yang bahkan menimbulkan sifat sombong dan takabur. Padahal dalam Islam sebaiknya sumbangan itu tidak perlu ada orang yang tahu selain Allah. Tangan kanan memberi tanpa diketahui oleh tangan kiri. Begitu sunnah rasul.
Esensi masjid bukanlah dari keindahan masjid. Bukan. Tapi ramainya orang datang berjamaah dengan khusu serta dijalin oleh rasa persaudaraan yang tinggi. Sholat berjamah dan masjid adalah ujud social culture umat dalam memahami syariat Agama. Bahwa kebersamaan itu adalah segala galanya,. Masjid harus berfungsi tidak hanya sebagai tempat sholat dengan kemegahannya untuk dilihat tapi lebih kepada sebagai sarana perjuangan umat untuk meninggikan kalimat Allah. Dari berkumpulnya umat dalam satu tempat , banyak hal tentang syariat berjihad dapat diorganisir.Yang utama adalah bagaimana membantu mereka yang lemah dan terzolimi. Para ulama harus sebagai mentor untuk memeriahkan masjid dalam nafas perjuangan itu. Sehingga tak lagi nampak Masjid harus dijaga oleh Satpam, Tak harus masjid terkunci rapat ketika tidak dipergunakan untuk sholat berjamaah. Masjid 24 jam terbuka bagi siapa saja yang ingin berjihad.
Kita tidak perlu masjid megah tampilannya tapi kumuh program sosialnya. Kita cukup masjid yang sederhana tapi megah program sosialnya. Mungkinkah ?