Uang adalah konspirasi yang tak diucapkan. Dia mungkin hadir dalam ruang sempit dan sejuk. Kita juga tahu bahwa ia hanyalah selembar kertas atau selembar cek atau logam atau emas. Dia menjadi status dan khayalan bagi siapa saja. Berpindah terbang semudah angin dari satu rekening kerekening lintas benua. Tapi bagaimanapun , kita semua , membuat uang begitu penting. Money is the second god on the world, begitu kata orang Yahudi. Sejumlah uang menggiring orang berdemotrasi. Sejumlah uang Pemilu tidak lagi rahasia. Sejumlah uang dapat berinitial suap atau upeti atau hadiah atau apa saja yang tentu menggairahkan bagi yang menerima. Rezim otorites terbentuk dan uang mengalir kepundi penguasa. Demokrasi terbentuk dan uang mengalir kekantong anggota dewan dan partai. Ini budaya setua peradaban manusia sejak dahulu kala.
Uang, bahkan ia sanggup membuat kumpulan orang orang terhormat di senayan menjadi betah disana. Menciptakan ruang berdebat dan bertanya kepada pemerintah. Disana lebajikan menjadi hablur manakala uang berbicara walau tak bersuara. Koalisi dibentuk dan uang terdistribusi. Kompromipun menjadi kewajaran selagi pendapatan sama. Namun, karena uang pula BI dengan integritas tinggi pencetak uang terjebak diruang terhormat itu. Uang ada di BI dan mengalir keruang DPR komisi IX. Para petinggi ketika itu berkuasa , ada yang sekarang duduk sebagai ketua BPK dan satu lagi besan President dan sebagian sekarang menjabat sebagai dewan Gubernur. Uang berbicara dan besuara. Semua berdalih dan berlindung dibalik hokum. Uang, jarak antara hokum dan moral memang tidak ada. Jarak antara nasionalis dan criminal tidak ada.
Bagaimana suatu tugas moral terpilih atas nama rakyat harus menetapkan tarip dari sebuah kompromi tentang kebijakan masa depan pengelolaan moneter Negara seperti RUU Likuidasi Bank, RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Kepailitan, dan RUU Transfer dana. Mengapa BI harus mengeluarkan dana dari YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia) sebesar Rp. 100 milliar. Inilah yang harus dijawab oleh hukum daripada mengejar siapa yang menerima dan memberi. Tapi lagi lagi esensi moral memang tidak pernah tersentuh hokum manakala berbica soal uang. Peristiwa korupsi berupa uang sogok telah membuat perhatian public teralihkan dari masalah esensi tentang keberadaan RUU itu sendiri.. Padahal masalah ini lebih penting diusut untuk mengetahui sejauh mana manfaat UU tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Mengapa pejabat BI begitu berambisi untuk meng golkan RUU sehingga uang bertaburan dalam setiap pembahasan Rancangn Undang Undang.? Mengapa ?
Dari informasi yang saya dapat dari pejabat bank asing mengatakan bahwa ini semua berkaitan dengan RUU Lembaga Penjamin Simpanan dan RUU transfer dana. Sebagian lembaga Asuransi Asing dan Lokal berusaha mengambil manfaat dari RUU Lembaga Penjamin Simpanan. Busness Re insurance dari Lembaga Penjaminan Simpanan memang menyangkut business dengan fee raksasa. Ini ladang business baru dan peluang besar untuk mendapatkan untung dari system moneter bebas. Juga ada pesan sponsor agar BI melakukan modernisasi Transfer Dana dan menghilangkan border dengan Global Payment Management System. Akibatnya lintas dana menjadi borderless dan serba digital atau script less. Ini adalah grand design untuk meng integrasikan system moneter kita kedalam globalisasi pengelolaan dana. Dengan UU ini maka International Private Banking menjadi legitimate untuk interconnection dengan Offshore Financial Center ( OFC) , tentu tujuannya adalah memanjakan pemilik rekening kakap dan uangpun dapat bebas berbicara tanpa bersuara tak terlacak. Akhirnya uang dalam system kapitalisme modern memang harus "non disclosure" atau tidak mengenal transfarance. Demokrasi , paradox bila soal uang, tidak ada bedanya dengan rezim otoriter...Siapakah sponsor dibalik ini semua ???
Uang, bahkan ia sanggup membuat kumpulan orang orang terhormat di senayan menjadi betah disana. Menciptakan ruang berdebat dan bertanya kepada pemerintah. Disana lebajikan menjadi hablur manakala uang berbicara walau tak bersuara. Koalisi dibentuk dan uang terdistribusi. Kompromipun menjadi kewajaran selagi pendapatan sama. Namun, karena uang pula BI dengan integritas tinggi pencetak uang terjebak diruang terhormat itu. Uang ada di BI dan mengalir keruang DPR komisi IX. Para petinggi ketika itu berkuasa , ada yang sekarang duduk sebagai ketua BPK dan satu lagi besan President dan sebagian sekarang menjabat sebagai dewan Gubernur. Uang berbicara dan besuara. Semua berdalih dan berlindung dibalik hokum. Uang, jarak antara hokum dan moral memang tidak ada. Jarak antara nasionalis dan criminal tidak ada.
Bagaimana suatu tugas moral terpilih atas nama rakyat harus menetapkan tarip dari sebuah kompromi tentang kebijakan masa depan pengelolaan moneter Negara seperti RUU Likuidasi Bank, RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Kepailitan, dan RUU Transfer dana. Mengapa BI harus mengeluarkan dana dari YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia) sebesar Rp. 100 milliar. Inilah yang harus dijawab oleh hukum daripada mengejar siapa yang menerima dan memberi. Tapi lagi lagi esensi moral memang tidak pernah tersentuh hokum manakala berbica soal uang. Peristiwa korupsi berupa uang sogok telah membuat perhatian public teralihkan dari masalah esensi tentang keberadaan RUU itu sendiri.. Padahal masalah ini lebih penting diusut untuk mengetahui sejauh mana manfaat UU tersebut untuk kesejahteraan rakyat. Mengapa pejabat BI begitu berambisi untuk meng golkan RUU sehingga uang bertaburan dalam setiap pembahasan Rancangn Undang Undang.? Mengapa ?
Dari informasi yang saya dapat dari pejabat bank asing mengatakan bahwa ini semua berkaitan dengan RUU Lembaga Penjamin Simpanan dan RUU transfer dana. Sebagian lembaga Asuransi Asing dan Lokal berusaha mengambil manfaat dari RUU Lembaga Penjamin Simpanan. Busness Re insurance dari Lembaga Penjaminan Simpanan memang menyangkut business dengan fee raksasa. Ini ladang business baru dan peluang besar untuk mendapatkan untung dari system moneter bebas. Juga ada pesan sponsor agar BI melakukan modernisasi Transfer Dana dan menghilangkan border dengan Global Payment Management System. Akibatnya lintas dana menjadi borderless dan serba digital atau script less. Ini adalah grand design untuk meng integrasikan system moneter kita kedalam globalisasi pengelolaan dana. Dengan UU ini maka International Private Banking menjadi legitimate untuk interconnection dengan Offshore Financial Center ( OFC) , tentu tujuannya adalah memanjakan pemilik rekening kakap dan uangpun dapat bebas berbicara tanpa bersuara tak terlacak. Akhirnya uang dalam system kapitalisme modern memang harus "non disclosure" atau tidak mengenal transfarance. Demokrasi , paradox bila soal uang, tidak ada bedanya dengan rezim otoriter...Siapakah sponsor dibalik ini semua ???