Saya sering datang berkunjung kekantor instansi pemerintah. Tentu setiap kedatangan saya dengan alasan berbeda.. Saya bukanlah satu satunya pengunjung. Di instansi pemerintah itu selalu saja ramai dikunjungi orang.. Ramai atau tidak pengunjung namun suasana kantor tetap dengan irama yang sama. Seperti pegawai negeri yang asyik baca koran. Berdiskusi soal acara sinetron yang tadi malam ditonton. .Berbisisk bisik diantara mereka. Kadang terdengar juga suara tawa tertahan. Ketika pulang , maka kesimpulan saya juga sama bahwa saya memandang satu bentuk yang bernama pemerintah, yang tak lebih menyerupai loby hotel.
Anehnya, setiap orang berbicara tentang pemerintah bila harga melambung, jalanan macet, jalanan berlubang. Seakan ”pemerintah ” adalah kata kunci untuk dimintai pertolongan. Saya bingung bila eksistensi pemerintah masih dianggap ada. Bagaimana kita bisa berharap kepada orang orang yang suka duduk di kantor sambil diskusi soal sinetron, baca kora , berbisik bisik dan kadang kala beristirahat lebih dari 8 jam sehari atau bahkan ada yang datang sebentar dan kemudian pulang. Bagaimana bisa dipahami bila soal sepele perijinan butuh waktu lebih dari 30 hari untuk sampai kemeja walikota setelah berputar putar dari satu meja kemeja berikutnya. Disebelah lain,lihatlah kelakuan elite politik disenayan. Tidak jauh beda. Rapat paripurna diisi oleh manusia kardus yang tertidur pulas. Rapat kerja yang hanya dihadiri segelintir anggota. Selebihnya ngobjek diluar. Hebatnya , Republik ini tidak runtuh, walau jembatan rubuh, bendungan jebol, Jalan rusak berat , rel kereta dicuri orang, rumah sakit di BOT kan , Universitas di komersialkan. Republik ini semakin pongah dan kantor Pemerintah terus direnovasi dari tahun ketahun.
Mungkin, dari sudut kacamata orang asing , ini adalah negeri ajaib karena dengan APBN yang 70% habis terkuras untuk belanja pegawai negeri , republik ini masih utuh dan rajin membagi bagikan uang kepada rakyatnya lewat Bantuan Tunai Langsung. Ada alasan yang terus diungkapkan dalam setiap seminar bahwa birokrasi ada bukti kekuatan dari mesin pemerintahan yang efektive. Benarkah itu ? Ini bukan keajaiban melainkah upaya kolektive saling memahami dari keberdaan system yang korup. Lihatlah , pemerintah membiarkan para pegawainya berpura pura kerja supaya merekapun bisa terus berpura pura menggaji mereka. Masyarakatpun larut dengan budaya pura pura ini karena semua bisa dibuat pura pura legal untuk mendapatkan cap dan tanda tangan. Dengan ini dapat disimpukan adalah ,pertama jadilah birokrasi sebagai ilusi tentang ketertiban dan keadilan. Kedua, sebagai tempat menampung lapangan kerja bagi mereka yang bermental sapi
Penjara yang setiap hari tidak berhenti kedatangan pendatang baru. Rumah sakit tidak pernah sepi dari mereka yang sakit kurang gizi. Infrastructure ekonomi yang terus rusak tambal sulam tapi gedung pemerintah terus dipercantik dan ditambah. Lembaga barupun terus bermunculan dan pegawai barupun ditambah. Republik ini tetap saja exist dan birokrasi tetap jalan. Karena rakyat membayar pajak dan pegawai minta disuap oleh rakyat. Bila sudah begini maka pemerintahan bermakna ketertiban dan keadilan adalah sebuah fiksi. Fiksi ini harus terus dibangun karena masyarakat takut dengan revolusi yang akan melahirkan chaos. Itu sebabnya negara bukanlah status yang menarik bagi Karl Max dan menjengkelkan bagi penganut neo liberal. Kalr Max , membayang negara akan terdulusi bila masyarakat sama rata sama rasa terbentuk. Neo liberal yang dimotori oleh Partai Republik AS , juga berpikir peran negara harus terdulusi bila mekanisme pasar bekerja dan terintegrasi secara global.
Bagi orang cerdas , energic , inovative, negara tidak lebih adalah a necessary evil. Makhluk jahat yang dipaksakan ada karena takdir namun harus diminimalkan perannya, kalau ingin peradaban manusia terjaga adil. Yang minimal ini, adalah negara yang mengurus catat mencatat, tidak teknorat, tidak sentralisasi. Peran negara dilaksanakan oleh organisasi yang diisi oleh orang orang yang bermental negarawan, amanah dan religius. Para ahli dan professional berada di obit luar pemerintahan untuk menjadi fuel dan rakyat sebagai mesin untuk terciptanya masyarakat madani. Mungkinkah ini dapat terjadi di Indonesia , ditengah situasi jual beli kekuasaan terus terjadi...
Anehnya, setiap orang berbicara tentang pemerintah bila harga melambung, jalanan macet, jalanan berlubang. Seakan ”pemerintah ” adalah kata kunci untuk dimintai pertolongan. Saya bingung bila eksistensi pemerintah masih dianggap ada. Bagaimana kita bisa berharap kepada orang orang yang suka duduk di kantor sambil diskusi soal sinetron, baca kora , berbisik bisik dan kadang kala beristirahat lebih dari 8 jam sehari atau bahkan ada yang datang sebentar dan kemudian pulang. Bagaimana bisa dipahami bila soal sepele perijinan butuh waktu lebih dari 30 hari untuk sampai kemeja walikota setelah berputar putar dari satu meja kemeja berikutnya. Disebelah lain,lihatlah kelakuan elite politik disenayan. Tidak jauh beda. Rapat paripurna diisi oleh manusia kardus yang tertidur pulas. Rapat kerja yang hanya dihadiri segelintir anggota. Selebihnya ngobjek diluar. Hebatnya , Republik ini tidak runtuh, walau jembatan rubuh, bendungan jebol, Jalan rusak berat , rel kereta dicuri orang, rumah sakit di BOT kan , Universitas di komersialkan. Republik ini semakin pongah dan kantor Pemerintah terus direnovasi dari tahun ketahun.
Mungkin, dari sudut kacamata orang asing , ini adalah negeri ajaib karena dengan APBN yang 70% habis terkuras untuk belanja pegawai negeri , republik ini masih utuh dan rajin membagi bagikan uang kepada rakyatnya lewat Bantuan Tunai Langsung. Ada alasan yang terus diungkapkan dalam setiap seminar bahwa birokrasi ada bukti kekuatan dari mesin pemerintahan yang efektive. Benarkah itu ? Ini bukan keajaiban melainkah upaya kolektive saling memahami dari keberdaan system yang korup. Lihatlah , pemerintah membiarkan para pegawainya berpura pura kerja supaya merekapun bisa terus berpura pura menggaji mereka. Masyarakatpun larut dengan budaya pura pura ini karena semua bisa dibuat pura pura legal untuk mendapatkan cap dan tanda tangan. Dengan ini dapat disimpukan adalah ,pertama jadilah birokrasi sebagai ilusi tentang ketertiban dan keadilan. Kedua, sebagai tempat menampung lapangan kerja bagi mereka yang bermental sapi
Penjara yang setiap hari tidak berhenti kedatangan pendatang baru. Rumah sakit tidak pernah sepi dari mereka yang sakit kurang gizi. Infrastructure ekonomi yang terus rusak tambal sulam tapi gedung pemerintah terus dipercantik dan ditambah. Lembaga barupun terus bermunculan dan pegawai barupun ditambah. Republik ini tetap saja exist dan birokrasi tetap jalan. Karena rakyat membayar pajak dan pegawai minta disuap oleh rakyat. Bila sudah begini maka pemerintahan bermakna ketertiban dan keadilan adalah sebuah fiksi. Fiksi ini harus terus dibangun karena masyarakat takut dengan revolusi yang akan melahirkan chaos. Itu sebabnya negara bukanlah status yang menarik bagi Karl Max dan menjengkelkan bagi penganut neo liberal. Kalr Max , membayang negara akan terdulusi bila masyarakat sama rata sama rasa terbentuk. Neo liberal yang dimotori oleh Partai Republik AS , juga berpikir peran negara harus terdulusi bila mekanisme pasar bekerja dan terintegrasi secara global.
Bagi orang cerdas , energic , inovative, negara tidak lebih adalah a necessary evil. Makhluk jahat yang dipaksakan ada karena takdir namun harus diminimalkan perannya, kalau ingin peradaban manusia terjaga adil. Yang minimal ini, adalah negara yang mengurus catat mencatat, tidak teknorat, tidak sentralisasi. Peran negara dilaksanakan oleh organisasi yang diisi oleh orang orang yang bermental negarawan, amanah dan religius. Para ahli dan professional berada di obit luar pemerintahan untuk menjadi fuel dan rakyat sebagai mesin untuk terciptanya masyarakat madani. Mungkinkah ini dapat terjadi di Indonesia , ditengah situasi jual beli kekuasaan terus terjadi...
No comments:
Post a Comment