Aceh 26 desember 2004. Jam 9.10. Badai trusnami menghantam Aceh. Gelombang yang super dahsyat berkecepatan 100 Mill /jam telah menggusur apa saja yang dilewatinya. Kota yang bergitu tertata dengan rapi dan dibangun dalam waktu berabad abad dengan dana yang tidak sedikit , akhirnya luluh lantak dalam hitungan menit.. Secara sains sangat mudah menjawab fenomena alam ini. Namun bagaimana menjelaskan makna bencana ini kepada keluarga korban yang terpaksa kehilangan segala yang dicintainya.
Ketika kita saksikan ratapan tangis anak yang kehilangan orang tuanya. Orang tua yang kehilangan anaknya. Kita semua tertegun. Diam seribu bahasa. “ Jika tatanan dunia dibentuk oleh kematian, tidakkah lebih baik bagi tuhan jika kita menolak mempercayai Nya dan berjuang dengan seluruh daya melawan kematian tanpa perlu menatap surga tempat Ia duduk berdiam diri ? Demikian Albert Camus dalam La Peste. Ungkapan keluguan teologis namun sangat manusiawi. Karena Tidak ada manusia yang siap untuk diambil haknya dengan paksa. Namun , tidak dimikian dengan Musa yang akhirnya karena Allah , dia menemukan jawaban makna dari kasih allah yang tiada zolim kepada hambanya, dari seorang Nabi Allah bernama Khaidir.
“ Aku memang diminta oleh Tuhanku untuk berguru dengan mu hai Khadir. Tapi untuk menerima kenyataan dimana anak tidak berdosa engka bunuh , rumah penduduk engkau bakar dan perahu nelayan engkau hancurkan, jelas aku tidak dapat menerima. Aku lebih memilih tidak lulus dalam ujian. “ Demikian protes Musa kepada khadir. Syahdan , kemudian Nabi Khaidir menjelaskan apa yang dilakukannya terhadap apa yang dilihat oleh Musa. “ Ketahuilah Hai Musa bahwa Anak itu, ku bunuh karena kelak bila dewasa dia akan durhaka kepada ibu bapaknya. Rumah penduduk satu kampong saya bakar , itu karena kelak kampung ini akan mendapatkan murka allah karena mereka telah menelantarkan anak yatim piatu. Adapun perahu itu aku hancurkan karena , apabila perahu itu sampai diseberang maka semua penumpang perahu aku dibunuh oleh razim yang zolim” AKhirnya Musa , bertobat karena kesombongan dan kebodohannya kepada allah. Ternyata masih ada manusia dimuka bumi ini yang dapat melihat dari tabir kegegelapan. Melihat setiap bencana dari kacamata iman.. Ternyata bencana itu ada karena kasih allah kepada hambanya. Kematian bukan akhir dari kehidupan. Bencana adalah jalan bebas hambatan menuju kebahagiaan hakiki dan keabadiaan dialam surgawi, tentunya bagi orang yang ber tawakal dan ikhlas.
***
Dibalik pemandangan bangunan porak poranda , tangis warga dan mayat bergelimpangan di seluruh pelosok kota dan desa, yang segera bisa kita lakukan hanyalah doa, semoga dibalik musibah ini tersimpan hikmah dan kasih dari Allah buat warga Aceh. Semoga anak anak Aceh yang meninggal itu kini telah bermain main di surga bersama para malaikat dan teman teman barunya. Bukankah Allah berjanji bahwa anak anak yang belum berdosa itu kalau meninggal akan langsung menjadi penghuni surga ?
Allah mengutus Malaikat mengendarai Tsunami menjemput anak anak untuk pindah rumah dan bermain di alam surgawi. Mungkin Allah kasihan jika nantinya anak anak itu tumbuh berkembang dalam lingkungan yang salah karena dizolimi oleh pemerintah yang korup.
Begitupun para orang tua yang meninggal, mereka sudah lama teraniaya oleh perlakuan pemerintah yang tidak adil dan tidak jujur terhadap masyarakat Aceh. Kekayaan alamnya dikeruk keluar, ladang ganja yang dari dulu tumbuh liar kini jadi obyek perburuan dan pedagangan gelap hasil hutan, rakyanya telah lelah dan hampir putus asa karena dipolitisasi oleh kekuatan pemerintah. Ini terus berlangsung dari satu rezim ke rezim berikutnya.
Sungguh malang nasib warga Aceh. Padahal inilah daerah yang paling unggul melawan pemerintah kolonial. Bila seluruh wilayah Indonesia dijajah belanda selama 350 tahun maka Aceh hanya sempat diduduki oleh Belanda sekitar 40 tahun. Itupun dalam situasi tanpa kedamaian bagi Belanda di ACeh. Dalam perjuangan kemerdekaan , maka Aceh dikenal sebagai daerah yang memiliki peralatan tepur terlengkap , mandiri dan strategi tempur gerilya yang paling baik bila dibandingkan dengan wilayah lain. Ketika delegasi Indonesia akan berangkat ke Belanda untuk perundingan Meja Bundar, maka warga aceh tanpa diminta , mereka mengorbankan apa saja untuk dijual agar dapat membeli pesawat untuk disumbangkan kepada delegasi RI. Dan ini pesawat pertama yang dimiliki oleh pemerintah RI. Tidak usah diajarkan kepada masyarakat Aceh tentang nilai nilai kehormatan bangsa karena mereka telah membuktikannya dengan darah pertarungan tanpa henti. Mereka tidak pernah berkompromi dengan pemerintah yang zolim. Sejak era Soekarno sampai kini , masyarakat Aceh tanpil didepan memerangi ketidak adilan, kebobrokan moral. Kita semua marah kepada Soekarno ketika dia jatuh padahal kita memujanya ketika dia berkuasa tapi Aceh memeranginya ketika berkuasa. Kita semua marah kepada Soeharto ketika dia jatuh , padahal kita ikut menikmati keceriaan ketika dia berkuasa tapi Aceh memeranginya ketika berkuasa. Aceh bukanlah kumpulan masyarakat yang “nrimo “ atas ketidak adilan. Bukanlah masyarakat yang pandai menjilat karena pangkat , jabatan atau harta. Aceh dihuni oleh masyarakat yang mendengar dendang ibunya ketika mereka masih kanak kanak “ Nak , Bila kau besar kelak , berjuanglah untuk bangsa, berkorbanlah demi kehormatan agamamu dan andai kau harus mati maka ibu akan ikhlas karena engkau telah menjadi syuhada “
Hingga kamarin sebelum bencana, Aceh masih dalam status darurat Sipil. Artinya perjuangan mereka tidak pernah berhenti. Tuhan Maha kasih dan Maha mendengar jerit tangis terdalam mereka. Tuhan tahu kelelahan dan keputusasaan mereka.. Mereka perlu dipahami, diperhatikan dan dipeluk dengan hangat dan tulus sebagai saudara kandung yang syah dan terhormat dari bangsa Indonesia , seiman dan seagama... Tengisan itu sudah lama diteriakkan, tetapi kita tidak mendengarkan sungguh sungguh. Air mata mereka telah kering, sementara penderitaan terus berkelanjutan. Ribuan nyawa melayang oleh peluru yang dimuntahkan TNI/Polri. Kekhusukan beribadah dan ketekunan mencari ilmu yang menjadi etos orang Aceh hampir hilang karena tidak adanya stabilitas politik , keamanan dan ekonomi. Dan setelah bertahun tahun kita semua tidak mampu berbuat banyak membantu penderitaan mereka, Tuhan bertindak dengan cara Nya sendiri, yang secara lahiriah sulit dipahami karena menggunakan logika paradoksal. Hanya dalam hitungan menit, seluruh scenario yang dibuat para politisi berantakan digilas tsunami yang menawarkan proposal Tuhan untuk kita yang masih hidup…
Anak anak bersama orang tuanya dijemput oleh kereta kencana tsunami untuk diboyong ke syurga, berkumpul dengan para syuhada pejuang Aceh yang lebih dulu tinggal di sana. Kita yang masih hidup memperoleh tugas mulia untuk merancang scenario baru bagi masa depan Aceh yang damai, makmur , berdaulat, religius dan berkeadaban. Kita semua merindukan kembalinya kejayaan Aceh dimasa lalu sebagai pusat peradaban untuk direkontruksi kembali. Bukankah julukan Serambi Mekkah merupakan kebanggaan, prestasi dan sekaligus amanah yang harus dijaga dan dipertahankan, bukannya sebagai onggokan museum warisan masa lalu.
***
Musibah tsunami ini tidak saja menawarkan proposal baru bagi warga Aceh , tetapi juga bangsa Indonesia. Di antara hikmah yang muncul ke permukaan adalah bangkitnya gelora kemanusiaan dan kebangsaan yang mengagumkan, yang selama ini terpendam hiruk pikuk dan keluh kesah politik serta ekonomi yang melelahkan.
Kita pantas berbangga , bangsa ini masih memiliki nurani dan solidaritas tinggi , ditunjukkan oleh spontanitas untuk berpartisipasi meringankan penderitaan warga Aceh. Musibah ini bagai dirigen yang memimpin paduan suara, meneriakkan semangat kemanusiaan dan ke Indonesiaan tanpa pandang agama, suku dan afiliasi partai politik. Peringatan Tahun Baru dan Idul Adha menjadi lebih bermakna saat memperoleh teguran illahi yang ditiupkan ke hati kita melalui tsunami, tamu agung yang semoga meninggalkan hikmah dan berkah.
Kita berharap agar politisi , pejabat Negara , dan warga Indonesia mampu membaca , melihat dan mendengar dengan hati bening akan surat cinta Tuhan yang tertulis melalui bahasa kemarahan alam agar kita menjadi arif, rendah hati , dan sujud kepada Nya., bukan pada ego pribadi yang diproyeksikan dalam bentuk ketamakan, kerakusan dan kepongahan.