Di beranda fb saya berseliweran kampanye tentang “ Indonesia tanpa pacaran” itu satu paket dengan propaganda Poligami. Tentu ini berkaitan dengan komunitas Islam. Menurut saya, ini bukan dakwah tetapi sudah merupakan bagian dari gerakan politasasi Islam. Tujuannya melepaskan budaya dan mengentalkan politik identitas. Praktek pernikahan yang tanpa pacaran itu diterapkan penuh di wilayah taklukan ISIS di Suriah dan Irak. Wanita tidak boleh menolak ketika dijodohkan dengan pria. Siapapun itu. Tugas wanita adalah memfungsikan vaginanya untuk kepuasan pria dan sekaligus sebagai pintu gerbang lahirya bayi. Ya sebagai inang untuk sperma berbiak.
Mungkin yang dibayangkan mereka itu budaya pacaran yang free sex. Padahal budaya free sex itu bukanlah cermin dari budaya pacaran yang ada. Itu hanyalah penyimpangan. Samahalnya orang bercadar dan baju gamis tapi berzina. Apakah cadar dan pakaiannya salah. Kalau alasan adanya penyimpangan atas budaya pacaran, lantas membuat slogan Indonesia tanpa pacaran, maka itu cara berpikir mundur. Mundur karena yang jadi korban adalah wanita. Mengapa ? Pacaran itu sebagai bagian dari hak wanita untuk mengenal pasangannya dan memberikan hak dia menentukan sikap sebelum dia memutuskan menikah.
Cara berpikir pragmatis, “ tanpa pacaran “ itu juga diterapkan dalam propaganda poligami. Alasannya sama, karena banyak penyimpangan atau perzinahan terjadi karena pria tidak bisa menahan libidonya. Lagi lagi yang jadi korban wanita. Padahal anjuran poligami dalam islam, adalah anjuran impossible untuk diterapkan. Makanya itu menjadi anjuran alternatif bukan perintah seperti rukun Islam. Artinya anjuran ini membutuhkan akal manusia untuk bersikap, bukan taklik buta dengan dalil nafsu. Hal yang sama, cara berpikir pragmatis juga berlaku bagi penggunaan cadar bagi wanita agar laki laki terhindar dari zina mata. lagi lagi kebebasan wanita jadi korban.
Kalau anda ingin menghapus cobaan; memastikan wanita tidak menjadi sumber kerusakan iman bagi pria, memastikan tempat ibadah agama lain tidak menjadi sumber kerusakan iman, memastikan simbol agama lain tidak merusak iman, memastikan orang tidak berpuasa tidak merusak iman, maka anda sedang berperang dengan Tuhan. Mengapa? Itu yang create Tuhan. Mengapa anda mau hapus? Pasti hasilnya paradox. Beragama tapi kelakuan setan. Contoh nya iSIS. Sudahilah mengangkangi Islam dengan kebodohan. Udahan ya. Perkuat sajalah keimanan itu dengan memerangi nafsu anda sendiri dan hadapi cobaan itu dengan rendah hati.
Menurut saya, dalil agama bersifat pragmatis, itu mencerminkan kekalahan iman sesungguhnya terhadap realitas yang memang penuh dengan cobaan. Mereka berusaha menghapus cobaan itu. Padahal Tuhan membentangkan kehidupan ini adalah sumber cobaan bagi orang beriman. Firman Allah: “ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Alankabut :2 ). Artinya cobaan itu bukan dihindari tetapi dihadapi dengan iman. Disitulah nilai anda dalam beragama. Jangan cemeng. Jangan pragmatis.
***
Pernah teman saya ngomong dengan kesan becanda. “ Nanti di akhirat kalau saya masuk neraka, yang pertama protes adalah penghuni neraka.”
“ Kenapa ?
“ Seharusnya saya masuk Sorga. Kan saya selalu berbuat baik kepada wanita malam. Kan sebagai pengusaha saya tidak bisa menghindari dari kehidupan maksiat. Tetapi saya juga royal ngasih tip walau engga sentuh mereka. Beda dengan anggota DPR onoh, udah maksiat bayar kurang lagi, eh dihina lagi tuh wanita. Kalau dia masuk sorga, yang protes dulu penghuni neraka. Seharusnya dia masuk neraka tapi penghuni neraka ogah dengan dia " Katanya berdalih.
" Jadi anggota DPR itu pindahin ke sorga aja.”
" Lah Penghuni neraka aja ogah apalagi penghuni sorga.”
Saya hanya tersenyum.
Ulama besar Sumatera Barat, Syekh Maulana Jambek, berdakwah bukan hanya di Masjid tetapi dia juga berada di tengah tengah orang berbuat maksiat, seperti judi pasar malam. Dia juga berada di tengah tengah pelacur. Dia tidak melakukan maksiat tetapi dia menebarkan kebaikan ditempat itu tanpa merendahkan orang yang bermaksiat. Dia berdakwah dengan perbuatan. Maksiat dan cobaan iman tidak dia hindari tetapi dia hadapi dengan berani, dan istiqamah. Apa yang terjadi? kalau orang akhirnya insaf, itu bukan karena orang takut masuk neraka tetapi karena cinta yang dia tebarkan lewat keteladanan.
Nabi isya dalam sejarah pernah diminta oleh orang ramai agar merajam wanita pezina. Itu kayakinan agama ibrani. Tetapi Isya tidak ingin menjadi hakim terhadap wanita itu. Dia hanya berkata. “ Siapa yang tidak pernah berdosa, silahkan lempar batu kepada wanita pezina itu.” Para yahudi yang tadinya garang dan ingin jadi penegak sabda Tuhan, jadi mundur niat merajam wanita itu. Mengapa ? karena tidak ada manusia yang suci. Setelah orang ramai meninggalkan wanita itu dalam kesendiran dan malu. Isya berkata “ pulanglah dan jangan lakukan lagi.” kalimat singkat. Namun itu lebih mengena daripada dakwah diatas mimbar berjam jam.
Agama itu bukan apa yang anda katakan, tetapi apa yang anda lakukan. Orang mungkin tidak paham akan Kitab Suci, dan teologi Agama namun mereka sangat paham kalau anda itu orang baik , apabila menjaga perasaannya dan membantunya, memaafkannya. Darisanalah orang ingin tahu mengapa anda bersikap seperti itu. Kalau anda bicara tentang agama sebagai landasan anda bersikap, maka mereka akan mendengarnya dan mencoba untuk mengerti dan mengikutinya. Tetapi kalau anda berdakwah dengan aura kebencian, walau semua itu bersumber dari kitab suci, bagi orang lain anda tidak lebih provokator , pedagang ayat yang memuakkan. Hanya orang bigot yang tertarik tetapi orang bigot tidak akan membuat agama bersinar, justru tenggelam dan memalukan.