Ada teman yang juga CEO dari Holding company di China. Asset Holding company itu mencapai USD 1 triliun dollar atau lebih besar dari GNP negara kita. Saya berkesempatan minggu lalu makan malam di Beijing dengan dia. Saya merasa sangat terhormat dapat kesempatan makan malam dengan dia. Pria yang terkesan murah senyum. Bahasa inggerisnya sangat sempurna walau dia melafalalkan dengan lambat. Usai makan malam kami keluar dari Restoran.
Dia mengajak saya mampir disebuah outlet mini market yang tidak jauh dari dari taman Kota. Saya pikir dia mau beli rokok. Ternyata salah. Di dalam mini market itu dia bicara dengan seorang pemuda. Dia menatap saya dan memperkenalkan pria muda itu kepada saya “ Ini putra saya, “ Katanya. Saya menyalami hangat putranya.
“ Adiknya masih sekolah di Shanghai” Sambungnya. Saya terkejut. Seorang CEO yang juga salah satu pemegang saham perusahaan raksasa , punya putra pengusaha mini market. “ Bisnis ini di rintisnya dua tahun lalu. Ini langkah baik untuk dia belajar menjual. Setelah itu dia akan berproses menjadi pengusaha hebat..”
“ Dengan apa yang saya miliki “ Lanjut teman. “ saya tidak akan mencampuri takdinya namun saya akan selalu mendorong dia dengan cinta”. Untuk sampai bersikap seperti itu tidak mudah. Saya bisa merasakan sebagai seorang ayah, yang harus menanamkan kesederhanaan dan sikap kemandirian kepada putra putri saya.
Saya teringat dengan teman saya yang juga CEO perusahaan venture capital di China yang tidak merasa rendah dan bahkan bangga cucunya bekerja sebagai manager restoran. Peter Buffett adalah bungsu dari tiga bersaudara keturunan Warren Buffett orang terkaya nomor 1 di dunia. Sampai dia kuliah dia tidak pernah tahu apa pekerjaan ayahnya. Mengapa ? kehidupan keluarganya tidak ada yang berubah. Selalu sederhana. Itu juga yang dikatakan teman CEO di China bahwa keluarganya tidak banyak tahu seperti apa pekerjaannya.
Putri saya ketika di SMU, ditanya oleh gurunya apa pekerjaan saya. Dia bingung jawabnya dan bilang pekerjaan saya jadi travel guide. Mungkin karena saya sering keluar negeri. Mereka hanya tahu bahwa kami adalah seorang ayah yang selalu sibuk namun selalu ada untuk mereka.
Kebanyakan ayah bisa bersikap tegas namun kadang sulit berdamai bila ada tekanan dari istri, yang selalu ingin memanjakan anak. Tapi saya bersyukur bahwa istri saya sangat menghormati cara bagaimana saya mendidik putra putri saya. Ternyata sama dengan teman saya yang CEO di china dan Warren Buffet yang bisa konsisten mendidik anak hidup sederhana dan mandiri karena dukungan istri yang tidak meracuni anak anak dengan kekayaan dan jabatan ayahnya.
Anak bukanlah kita, anak punya takdirnya sendiri. Tugas kita sebagai orang tua menyediakan insfrastruktur untuk dia mandiri dengan bekal pendidikan dan mendorongnya untuk menikah agar dia tentram melewati goncangan hidup yang tidak ramah. Selebihnya kita hanya mendoakan agar dia dapat tumbuh diluar bayang bayang kita sebagai orang tuanya. Karena dia punya takdirnya sendiri dan berproses karena itu. Kelak dia bisa berkata kepada kita orang tuannya " Aku memang pantas dilahirkan untuk menjadi diriku dan sebaik baiknya diriku sendiri. "