Jauh sebelum MRS datang dari Makkah, baliho tentang dirinya sudah ada. Di tempatkan hampir di semua sudut kota. Bahkan di kawasan perumahan, baliho itu hanya sejengkal dari pos Polisi. Semua diam. Padahal semua tahu. Jangankan pasang baliho besar, reklame nempel di gedung atau ruko punya sendiri saja, tak lama sudah ada petugas Pemda menanyakan izin reklame. Kalau tidak ada izin, reklame itu harus diturunkan. Mengapa ? karena reklame, billboard, baliho itu salah satu sumber PAD pemda. Tetapi anehnya khusus untuk baliho MRS, Pemda tidak punya nyali bersikap tegas. Kalau diturunkan oleh satpol PP, tak lama akan dipasang lagi oleh FPI.
Sepertinya FPI/ MRS mempermainkan kekuasaan Pemda. Suatu pembangkangan sipil terjadi di depan aparat dan secara vulgar disaksikan oleh rekyat : betapa pemerintah kalah oleh Ormas. Saya tidak yakin FPI punya kekuatan begitu besar tanpa ada dukungan politik real. Siapa itu? ya Partai. Setelah mereka desain, MRS dipulangkan ke tanah air. Mereka diam nonton apa yang akan terjadi kemudian. Tentu berharap sesuai dengan desain. Dalam waktu singkat, gerakan MRS akan jadi gelombang besar melanda semua kota. Namun yang tidak pernah mereka perhitungkan sama sekali adalah sikap TNI yang cepat sekali berbalik ke arah Jokowi. Makanya mereka terkejut ketika TNI masuk arena politik. Ya, TNI terlibat dalam menghadapi fenomena MRS / FPI. Sikap TNI tegas demi UU dan konsitusi. Dalam politik, bila presiden didukung militer maka dialah yang lead politik real.
Perhatikan sikap partai berikut ini. Yang jelas mendukung MRS dan menolak keterlibatan TNI adalah PKS, Gerindra, Nasdem, PPP, PKB. PKS berkomentar “Reformasi menempatkan TNI sebagai kekuatan pertahanan untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI. Tugas utamanya perang melawan musuh negara yang mengancam kedaulatan, kelompok sparatis, dan kekuatan asing yang mengancam. Sehingga mohon jangan sampai sikap, kata, dan tindakannya terjebak politik praktis menyangkut dinamika politik di dalam masyarakat, Nasdem “ Aspek keamanan lingkungan itu domain aparat keamanan, bukan pertahanan. Urusan kriminal, itu urusan polisi. Soal baliho, itu urusan Satpol PP. Jadi mestinya, dalam hal ini, Satpol PP yang melakukan itu. Gerindra “ Rakyat Indonesia mencintai TNI. Kami tidak rela muruwah TNI turun karena urusan baliho. Urusan baliho itu urusan Satpol PP. Kalaupun ada pelanggaran hukum, itu urusan kepolisian, bukan TNI. TNI adalah tentara rakyat. Mari bersama kita jaga NKRI untuk tetap Jaya”
Nah yang mendukung sikap TNI adalah Golkar, PDIP. Golkar berkomentar “ Apa yang diutarakan Pangdam Jaya sudah sesuai dengan aturan UU yang berlaku. Mereka tuh melanjutkan apa yang Panglima TNI ucapkan sebelumnya. Jadi ini sudah searah, dan juga ini menegakkan aturan UU. Jadi tidak ada yang dilanggar, justru ini menegakkan.” Sementara PDIP “ mendukung langkah TNI yang mencopot baliho Habib Rizieq Syihab. Dia menilai, TNI harus turun tangan ketika ada ancaman terhadap negara.”
Sementara PD bersikap dengan nada menyidir kepada pemerintah “ Kerterlibatan TNI itu menandakan bahwa negara sudah tidak mampu memainkan perannya sehingga harus menurunkan TNI untuk mencopoti spanduk Habib Rizieq" Apa yang menjadi sikap PD senada dengan Jusuf Kalla “ Kenapa ratusan ribu orang itu, kenapa dia tidak percayai DPR untuk berbicara? Kenapa tidak dipercaya partai-partai khususnya partai Islam? Untuk mewakili masyarakat itu. “
Dari politik Baliho ini kita dapat cermati untuk mengetahui peta politik terkini.
Pertama, bahwa fenomena MRS tidak datang dengan sendirinya. Ini by design. Engga mungkin dilakukan oleh FPI sendiri, tanpa bantuan mesin partai dan logistik kuat ( pengusaha rente). Mudah ditebak siapa di balik itu semua. Bisa dilihat dari sikap mereka terhadap keterlibatan TNI menurunkan Baliho itu. Proses dan dinamika politik yang terjadi tidak bisa lepas dari operasi intelijen yang rumit. Sehingga ada yang kena trap dan keselek bakiak. Ada yang tersenyum menikmati semua itu.
Kedua, yang menarik adalah sikap JK yang dengan cepat menyimpulkan bahwa kekuatan formal politik tidak capable dalam sistem demokrasi sehingga terjadinya fenomena MRS. Artinya rakyat tidak percaya lagi dengan kekuatan formal. Rakyat butuh alternatif yang mereka percaya. Ini sinyal kepada partai beraliran islam bahwa dia punya posisi tawar untuk menentukan kontestan capres/cawapres 2024. Menurut saya kesimpulan JK terlalu prematur. Dia harusnya tahu bahwa jumlah massa MRS tidak mencerminkan seluruh rakyat Indonesia. Kekuatan real partai itu ada di akar rumput, dan itu tidak perlu gebyar bawa massa. Itu akan dibuktikan dalam Pemilu.
Ketiga, keterlibatan TNI dan Polri dalam menyelesaikan fenomena MRS adalah politik negara. Presiden sebagai kepala Negara bersikap pada momen tepat, yaitu membela konstitusi, NKRI, Pancasila dan UUD 45. Namun tidak dilakukan secara formal melalui Kepres tetapi melalui orang yang loyal kepada presiden. Dan mereka seperti POLRI dan TNI dasarnya adalah UU.
Keempat. Dengan adanya fenomena MRS ini, proses rekonsiliasi diantara elite dapat berlangsung dengan tanpa ada bargain apapun. Semua berpatokan kepada konstitusi dan UU. Tidak ada lagi politik identitas. Yang ada pancasila. Tugas TNI dan Polri selanjutnya adalah membersihkan segala bentuk gerakan radikalisme politik identitas. Yang jelas mimpi Anies jadi presiden pupus sudah. Indonesia akan baik baik saja. Siapapun nanti tahun 2024 yang jadi presiden, engga penting lagi. Karena dia menang bukan karena politik identitas tetapi Pancasila.
***
Catatan
FPI di tengah gelombang reformasi.
Setelah Soeharto jatuh, yang dikawatirkan oleh TNI adalah dinamika politik yang dipicu oleh mahasiswa pro demokrasi bisa menggiring Umat islam masuk dalam arena. Ini bisa menimbulkan Chaos. Maklum dendam umat islam kepada Soeharto itu beralasan sekali. Tragedi Tanjung Priok yang menelan korban ulama dan rakyat tidak sedikit. Belum lagi kasus lainnya. Itu tidak mudah hilang dari ingatan. Itu bisa tersulut menjadi api besar bila tidak segera diantisipasi. Tahun 1998 bulan agustus atau 4 bulan setelah Soeharto lengser, FPI didirikan.
Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam buku Premanisme Politik (2000) mengungkapkan pembentukan FPI tak dapat dilepaskan dari tiga peristiwa: Kerusuhan Ketapang, Sidang Istimewa MPR, dan pembentukan organ paramiliter Pengamanan (Pam) Swakarsa. Ketiga peristiwa ini merupakan lanjutan gelombang demonstrasi Reformasi 1998 yang bergulir sejak Mei 1998.
Kerusuhan Ketapang (November 1998) adalah pertikaian antara Etnis Ambon ( kristen ) dan Betawi (Islam). Bayangkan, kalau kerusuhan terjadi di ibukota. Itu dampaknya luas sekali. Akan menyulut bentrokan horizontal berskala nasional dan meluas menjadi kerusuhan agama. Nah, saat itu TNI menggunakan FPI untuk menjadi pendamai. Berhasil. Karena itu nama Rizieq Shihab menjadi fenomena. Dia memang punya kharisma di hadapan muslim betawi. Saat itulah dia dianggap aset bagi TNI.
Menjelang Sidang Istimewa 10-13 November 1998 yang melantik B.J Habibie sebagai presiden; lagi lagi TNI gunakan FPI agar massa umat islam lainnya tidak masuk arena yang bisa memanaskan politik. Tahun 1999 Sidang Umum MPR, FPI juga dimanfaatkan oleh TNI. Dalam rangka pembendung demonstrasi mahasiswa yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya, FPI juga dimanfaatkan. Saat itu, FPI masih bernaung dalam Pam Swakarsa, sebuah organ paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa.
Bukan rahasia umum bila FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto. Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998.
Yang jadi masalah adalah FPI punya agenda menjadikan Habibie terpilih lagi dalam pemilu 1999. Namun Golkar kalah. PDIP menang. Lebih kecewa lagi ketika itu Golkar dikuasai oleh HMI. Menolak pertanggungan jawab Habibie. Sehingga peluang bertarung dalam sidang umum MPR gagal. Yang terpilih adalah Gus Dur. Kembali TNI manfaatkan FPI di era Gus Dur. Tahun 2004. FPI ada digaris depan mendukung Wiranto sebagai Capres Golkar dan mendiskriditkan SBY dalam konvensi Golkar. SBY keluar dari Golkar dan buat partai Demoktrat. Pemilu 2004 SBY menang. Wiranto kalah. Setelah itu bisa ditebak. FPI oposan terhadap SBY.
Selama era SBY, Wiranto dan keluarga cendana serta Prabowo dekat sekali dengan FPI. SBY hadapi FPI dengan memberikan kesempatan berkembang ormas islam lain yang dianggap militan, seperti Majelis Rasulullah, HTI dan FUI. Sehingga ada penyeimbang. 2014 FPI ada di kubu Prabowo berhadapan dengan Jokowi. Prabowo kalah. Jokowi menang. Wiranto masuk dalam kabinet Jokowi. Tentu FPI kecewa walau terpaksa harus menerima. Tahun 2016, FPI menjadi motor menjatuhkan Ahok dengan target akhir menjatuhkan Jokowi. Setelah Aksi 411 dan kemudian 212, pamor Wiranto semakin menurun. FPI pun ikut kena imbas. Namun hubungan dengan Prabowo semakin mesra, begitu juga dengan keluarga Soeharto.
Tahun 2017 MRS terpaksa menjauh dari arena politik. Namun tidak mengurangi dukungannya kepada Prabowo. Pemilu 2019, FPI ada di belakang Prabowo. Berharap Prabowo menang. Ternyata kalah. Dan lebih menyedihkan lagi adalah Prabowo justru bergabung dengan Jokowi dalam kabinet. Selama di makkah, ada yang tidak disadari oleh MRS yaitu, Jokowi berhasil melakukan konsolidasi TNI agar TNI focus menjadi prajurit profesional. FPI engga lagi asset bagi TNI. Mengapa ? Engga lagi jadi good boy TNI. Apalagi FPI sudah masuk dalam putaran politik kanan. Ya hukum alam berlaku. Kau ( TNI) yang memulai, kau ( TNI) yang mengakhiri (FPI).
No comments:
Post a Comment