Sunday, July 28, 2019

Feodalisme

Tahun lalu saya ketemu dengan teman lama dari Beijing. Dia usai mengikuti konvensi IMF di Bali. Di usia kepala empat dia nampak lebih muda dari usianya. Dia datang ke Jakarta khusus untuk bertemu saya.“ Kamu kan janji akan undang saya dinner. Kemana kita pergi ? Katanya ketika bertemu di loby hotel. Saya ajak dia ke kawasan Pecenongan makan seafood di restoran kaki lima. Dia menikmati suasana tempat kami nongkrong. Orang orang tidak tahu wanita yang sedang bersama saya itu adalah otoritas China.

“ Hampir semua Sino Indo ya. “ Katanya.
“ Ya ini kawasan China town di Jakarta. “
“ Oh Ya. “
Seorang pengamen datang membawakan lagu. Saya minta pengamen itu membawakan lagu “ You Liang Dai “ dari Teresa Tang. Kebetulan pengamen bisa membawakan dengan baik. Usai menyanyi itu, saya beri tip. Dia tersenyum. " Teresa Tang itu kelahiran Medan ya. "
" Oh ya. " Saya terkejut.
" Ya. Ada cerita. Dulu Deng mengharamkan mendengar lagu Teresa. Karana dia warga Taiwan. Tetapi ketika Deng meninggal, di kamarnya banyak sekali kaset Teresa. Ternyata pribadi Deng sangat romantis. Beda dengan kehidupan politiknya. Besok saya akan ke Medan“
“ Mau saya temanin ?
“ Engga usah. Kan kamu bilang besok kamu mau ke Hong Kong.
“ Ya. Besok saya ke Hong Kong. Hati hati di jalan ya.” Kata saya.
“ Saya membayangkan betapa hebatnya Indonesia. Dari data ekonomi yang saya baca, luar biasa sekali pencapaiannya dalam tiga tahun terakhir. China butuh 10 tahun untuk meletakan pondasi reformasi ekonomi. Ketika Deng memulai reformasi , kami diuntungkan pasar dunia sedang bergairah. Tetapi Presiden anda memulai reformasi ditengah krisis global dan defisit anggaran. Dan sukses melewati goncangan demi goncangan. Tentu yang terberat adalah tahun tahun awal dia berkuasa. Bagaimana itu bisa terjadi ?
“ Sebagian besar rakyat Indonesia memang tidak berharap banyak kepada Presiden terpilih. Kami hanya ingin jangan lagi ada pemimpin yang masih ada kaitannya dengan masa lalu. Lahir dari kaum feodal. Kami ingin mengubur masa lalu agar kami bisa melihat ke masa depan. Itu sebabnya presiden kami pilih. Setelah itu kami siap menerima perubahan walau harus menyakitkan. Kami sadar itu.”
“ Luar biasa. Tanpa revolusi kebudayaan, rakyat anda bisa memaklumi perubahan. Bagaimana bisa ?
“ Karena kami negara religius. Kami percaya kepada Tuhan dan sadar bahwa Tuhan tidak akan menolong kami bila kami tidak bisa menolong diri kami sendiri. Pemimpin hanya memberikan arah kemana kami harus melangkah. Dia bekerja keras melaksanakan amanah dengan rendah hati dan kami percaya itu. Selebihnya kamilah yang harus berbuat apa saja agar negeri ini bergerak kedepan untuk anak cucu kami.”
Dia nampak terpesona dengan ucapan saya. “ GNP indonesia telah tembus USD 1 tiliun. Indonesia masuk kelompok negara USD 1 triliun GNP. Tidak bisa dibayangkan indonesia akan seperkasa ini kalau melihat kejatuhan ekonomi tahun 1998. Tapi benar katamu. Semua karena pemimpin yang amanah dan rakyat yang sadar untuk berubah dan berdamai dengan masa lalu. Damai itu lebih baik walau memang menyakitkan. Ya, kan “ Katanya tersenyum.
Saya mengangguk.
“ Eh. tahun depan akan ada election ya. Kira kira gimana peluang MR. Jokowi ?
“ Kemungkinan akan terpilih lagi. Tetapi para oposan selalu mengangkat issue klassik soal kemiskinan dan harga naik. “ Kata saya dengan wajah sendu.
“ Bro, dengar ya. Penyakit kebudayaan negara yang pernah terjajah selalu tidak ingin ada orang baik membela kepentingan orang rakyat kecil. Penjajah melahirkan mental feodal. Bagi mereka negara dan bangsa itu hanya sebatas bungkus namun hakikatnya adalah bagaimana mengekalkan budaya feodal. Budaya menjajah. Padahal kemiskinan itu akan selalu ada. Harga akan selalu naik. Siapapun presidennya. Tidak ada sistem negara yang sempurna. Tuhan pun tidak menciptakan manusia semua kaya dan longgar. Ya, kan.
Siapapun calon pemimpin seharusnya tidak lagi menggunakan retorika kemiskinan untuk mendekati simiskin. Tetapi bagaimana mendelivery solusi untuk dekat kepada rakyat. Didalam sistem demokrasi yang saya perhatikan, kadang banyak pemimpin populis justru datang dari kaum feodal yang tidak pernah berbuat nyata ditengah rakyat. Mereka berada di istana gading feodalisme. Hadir di tengah seminar kemiskinan tetapi mereka tidak pernah dekat dengan orang miskin. Bahkan makan sesuai menu orang miskin pun hanya dilakukan ketika kampanye. Ini penyakit kebudayaan. Takut berjabat tanggan dengan rakyat.
Untunglah mayoritas rakyat Indonesia menyadari ini. Mereka cerdas memilih orang yang tepat untuk memimpin mereka. Jokowi orang yang tepat tentunya. Saya yakin dengan pencapaian yang dilakukan Jokowi selama periode kepempinannya tidak sulit baginya untuk mendapatkan dukungan mayoritas rakyat Indonesia. Kalian akan baik baik saja. Indonesia akan menjadi negara hebat. Menjadi insprasi dunia islam bagaimana pemimpin muslim itu seharusnya. Menjadi inspirasi bagi negara demokrasi bagaimana melaksanakan demokrasi dengan benar atas dasar nilai nilai kebebasan, kesetaraan dan perdamaian” Katanya.
“ Saya harap juga begitu. Eh gimana dengan China ?
“ Kami sedang berhadapan dengan kepongahan AS. Tetapi itu tidak terlalu mengkawatirkan. Karena sektor manufaktur hanya 17 % terhadap GNP kami. Yang terkena kan sektor manufaktur akibat perang datang. Sektor pertanian masih mayoritas penyumbang GNP. Data terakhir tingkat kepuasaan rumah tangga China semakin meningkat karena ekspansi pemerintah dalam stimulus ekonomi untuk pembangunan pedesaan dilakukan secara meluas. Dan lagi perang dagang tidak akan berlansung lama. Ini hanya pencitraan Trumps saja sampai rakyat AS lupa harga naik dan janji populisnya. Bagaimanapun AS adalah penyokong perdagangan bebas. Itu tidak akan berubah. “
“ Kamu selalu optimis?
“ Justru kamu yang optimis. Seperti indonesia tidak gampang. Musuhnya bukan orang asing tetapi dari dalam negeri sendiri. Mental Feodal. Mereka yang haus akan kekuasaan. Sementara china , kami hanya menghadapi musuh dari luar. Itu lebih jelas. Lebih jelas menghadapinya. Semoga kalian baik baik saja. “ katanya dengan tersenyum.
Kami akhiri pertemuan itu sambil berjanji akan bertemu kembali. Sebelum keluar dari restoran itu anak kecil menawarkan tissue. Dia membeli satu dengan memberikan pecahan Rp. 100.000 kepada anak kecil sambil membelai kepala anak itu dengan cinta layaknya seorang ibu. 

“ semoga kelak anak ini jadi presiden Indonesia. Presiden yang lahir dari wong cilik yang tahu arti kerja keras dan berbagi tentunya.” katanya melirik kearah saya.

No comments:

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...