Tanggal 27 Juni 2016 buku yang saya tulis telah di terbirkan oleh PT.Elex Media Komputindo ( Gramedia&Kompas Group). Buku berisi kumpulan cerpen spiritual yang saya tulis sejak tahun 2006. Ada 56 cerpen yang di muat dalam buku ini. Ini merupakan kumpulan pengalaman keseharian saya bergaul dan berlajar dari universitas kehidupan. Saya tidak berusaha menggurui anda tapi sekedar mengungkap sisi lain dari ke hidupan yang saya maknai. Mungkin anda akan berkerut kening atau mungkin menangis. Cinta yang Kuberi sebagai judul dari buku yang sedang Anda baca
ini merupakan kumpulan cerita pendek tentang nilai nilai cinta yang berhubungan
dengan suami istri, anak, dan orangtua, antar sesama sahabat. Mungkin sebagian
Anda akan berkerut kening ketika membaca cerita pendek dalam setiap judul
karena memang tidak bersandar kepada standar etika. Mengapa? Karenakebenaran
pada etika adalah kebenaran akal yang bersandar pada filsafat. Ini kebenaran
yang bersifat subjektif yang tentu kebenaran itu tidak selalu benar tergantung
dengan tempat, situasi dan kondisi yang ada. Sedangkan tulisan saya bersandar kepada
akhlak. Bahwa akhlak itu sumber kebenaran itu berasal dari Allah. Ini bukan
buah pikiran akal dan bukan pula tesis filsafat. Ini firman Allah. Ia menembus
ruang dan waktu yang tak mungkin didebat. Karena dasarnya adalah akhlak, maka
kadang terasa aneh bila perbuatan baik tidak berbuah apresiasi seperti yang
kita mau.
Karena itulah akhlak, bahwa berbuat baik, berkorban, memberi,
bukan untuk nilai-nilai di hadapan manusia tapi di hadapan Tuhan. Setiap manusia
harus menggunakan umurnya yang terbatas ini untuk perjalanan spritualnya
menemukan makna dan kelengkapan di hadapan Tuhan. Ketika manusia berbuat atas dasar
akhlak maka sebetulnya dia sedang menebarkan cinta kepada siapa pun. Karena cinta
dia memberi, walau karena itu dia harus berkorban melepaskan sesuatu yang pada
waktu bersamaan dia sangat membutuhkannya. Dia ikhlas karena dia hanya percaya
perbuatannya hanyalah bentuk ibadah kepada Tuhannya. Melalui pengalaman sehari-hari berinteraksi
dengan berbagai kalangan, membaca fenomena pergaulan keseharian, saya berusaha
merekamnya dalam tulisan dan menyampaikan dengan perspektif agama yang saya yakini
dalam Cinta yang Kuberi Namun semua itu tak lebih cara saya mengungkapkan apa yang rasa dan potret dari kehidupan. Yang pasti buku ini tidak sempurna sebagaimana saya sendiri masih banyak kekurangan.
Untuk lebih jelasnya gambaran tentang isi buku dapat di lihat salah satu judul cerpen yang ada : Tertidur di atas sajadah"
***
”Bang....!!!”, terdengar suara teriakan di belakang. Muktar menoleh ke belakang. Nampak seorang wanita berjilbab melambaikan tangan ke arahnya. Dia hentikan sepedanya. Wanita itu berlari mendekatinya.
”Aku ikut denganmu, boleh kan, Bang?” tanya wanita itu.
Wanita itu berusaha menyembunyikan wajahnya di balik hijabnya. Muktar mengangguk sambil tersenyum. Dengan hati-hati wanita itu naik ke atas sepeda tanpa berusaha menyentuh tubuh Muktar. Sepeda melaju. Udara pagi itu sangat cerah. Apalagi ketika mereka melintasi lereng bukit yang di kiri kanannya kebun membentang dalam kehijauan. Benar-benar nikmat Allah yang menciptakan seisi alam.
”Sof”, Muktar menyebut nama wanita yang dipanggilnya Sof. Nama lengkapnya adalah Sofiah.
”Tak baik kamu ikut bonceng sepeda dengan aku. Apa kata orang nanti? Tentu ayahmu akan marah. Belum lagi teman-teman sekolah akan mentertawakan kamu”, kata Muktar sambil mengayuh sepedanya.
”Ayahku sedang ke Jakarta. Aku tidak peduli orang mau ngomong apa. Aku lebih senang ke sekolah tanpa mobil. Tanpa sopir yang selalu mengawasiku. Aku ingin seperti kamu, Tar. Boleh kan?”, kata Sofiah.
”Tentu boleh. Tapi mengikuti nasehat dan kemauan orang tua adalah lebih baik untuk seorang wanita”, kata Muktar lagi.
”Ah kamu, sama saja dengan Ayah..”, wanita itu merajuk.
Muktar hanya terdiam. Dia dapat membayangkan wajah Sofiah merengut, tanda tidak setuju dengan nasehatnya. Dia bukan hanya kawatir tentang Sofiah yang akan dimarahi orang tuanya. Tapi juga dia khawatir akan nasib Ayahnya yang bekerja sebagai supir keluarga Sofiah. Tentu, ayahnya akan mendapatkan damprat dari ayah Sofiah, bila mengetahui Sofiah berboncengan sepeda dengannya. Pilihan sulit tapi dia tidak berdaya.
Di pelankannya sepeda dan kemudian berhenti.
”Kenapa berhenti?”, Sofiah terkejut ketika Muktar turun dari sepeda.
”Lebih baik kamu turun di sini. Itu sekolah kita sudah nampak. Mengertilah..”, kata Muktar terkesan menghiba.
”Tidak! Ayo terus jalan”, Sofiah setengah berteriak kepada Muktar, yang akhirnya tak berdaya untuk menolak keingain wanita itu.
Malamnya..
”Pang...”, tangan keras ayah Muktar mendarat di pipinya. ”Kamu memang anak tidak tahu diri. Tidak tahu diuntung”, suara ayahnya meninggi. Muktar hanya duduk diam di pojok dinding rumahnya. ”Berkali-kali Ayah bilang jangan turuti kemauan Sofiah untuk pergi bersamamu ke sekolah, tapi kamu tetap saja bandel. Sadarkah kamu? Hidup keluarga kita tergantung dengan keluarga Sofiah. Ayah bisa berhenti bekerja kapanpun bila orang tuanya kehilangan kesabaran. Paham..!”.
Setelah itu Ayahnya pergi ke luar rumah. Tinggallah Muktar terduduk di beranda rumah sambil menahan sakit kakinya terkena rotan dan juga pipinya tergurat merah bekas tamparan ayahnya.
”Anakku.!”, seru ibunya sambil membelai kepalanya. ”Jangan sedih dengan sikap Ayahmu. Kita orang miskin. Sabar ya Nak. Kamu adalah anak kami satu-satunya. Tempat kami berlindung di hari tua kelak. Kamu harus terus sekolah. Pekerjaan sebagai supir itu sangat berarti bagi Ayahmu untuk meneruskan cita-citamu masuk universitas”.
Muktar hanya tertunduk. Ia menyadari kegelisahan Ayahnya dengan sikap Sofiah yang kadang manja kepadanya. Walau diam-diam, dia menaruh hati kepada Sofiah. Betapa tidak, Sofiah yang cantik, terlahir dari keluarga kaya raya namun tetap rendah hati dan soleha. Tapi hasratnya itu, dipendamnya dalam-dalam. Ia tidak ingin bagaikan pungguk merindukan bulan. Hidup dalam angan-angan adalah dosa. Bersikap realistis adalah kebijakan.
Belum lagi ia menamatkan SLA, ayahnya sudah tidak lagi bekerja di keluarga Sofiah. Muktar menyadari bahwa ini adalah puncak dari sikap Sofiah sendiri yang sulit dilarang untuk berusaha dekat dengannya. Untuk membantu beban orang tuanya, Muchtar ikut membantu ayahnya membuat anyaman dinding bambu untuk dijual. Ini dilakukannya setelah pulang sekolah. Tidak banyak uang yang dapat dihasilkan namun cukup untuk mereka tetap bertahan hidup.
Sofiah pun sudah jarang bertegur sapa dengannya, karena supir yang sekarang menggantikan ayahnya, terkesan sangat protektif. Apalagi belakangan, Muktar mengetahui Sofiah semakin akrab dengan anak seorang pejabat. Teman sekelasnya. Namanya Danny. Mereka memang nampak pasangan yang serasi. Nampak bahagia. Orang tua Sofiah sangat mendukung hubungan ini. Terbukti, orang tua Sofiah mengizinkan Danny memboncengnya dengan vespa ke sekolah.
Lambat laun seiring dengan semakin dekatnya Sofiah dan Danny, kemanjaan Sofiah kepadanya pun sirna sudah. Kalaupun bertemu di sekolah, Sofiah hanya melempar senyum tanpa sapa. Namun, Muktar tetap tidak bisa membuang panah cinta yang sudah terlanjur menghujam hatinya. Dia mengharapkan Sofiah. Mengharapkan menjadi istrinya. Menjadi ibu dari anak anaknya. Mungkinkah.
”Bertemu karena Allah dan berpisah pun karena Allah. Jangan tenggelamkan hatimu karena cintamu pada manusia. Perkuatlah tali cintamu kepada Allah, maka Allah yang akan menjagamu. Pergilah merantau. Jangan tinggalkan sholat. Jangan berzina, jangan berjudi, jangan minum alkohol. Berjalanlah dengan cara yang benar maka kamu akan sampai pada tujuan yang sebenarnya”, demikian nasihat Ibundanya ketika Muktar akan pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di rantau
***
Lima tahun sejak tamat SLA, Muktar termenung di koridor stasiun sambil memandangi orang yang lalu lalang sambil berharap ada yang menawar barang dagangannya. Sejak tamat SLA, Muktar pergi merantau untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Dua tahun setelah berjuang mandiri, barulah ia dapat masuk perguruan tinggi. Itupun bukanlah Universitas terkenal. Ia terima ini sebagai nikmat Allah dengan rasa syukur. Karena ada 99,8 % penduduk negeri ini, tidak mendapatkan kesempatan belajar ke jenjang lebih tinggi, dan ia mendapatkan kesempatan itu.
Dalam kelelahan dan rindu akan kampung halaman serta ayah ibunya, ia larutkan dalam doa di setiap sholat tahajudnya. Walau tubuh kerempeng namun wajahnya berseri. Ketika itu ia merasa pedagang buah yang tak jauh dari tempatnya berdagang selalu tersenyum kepadanya bila perpapasan. Tak lupa mengucapkan salam. Bila datang waktu Lohor, ia selalu betemu wanita itu. Orang-orang di sekitar stasiun tahu nama wanita itu adalah Nurmala. Wanita yatim yang harus menangggung biaya ibunya dan adiknya.
Walau Muktar dan Nurmala saling kenal namun jarang sekali mereka berbicara. Wanita itu tak berusaha untuk mendekat kepada Muktar dan Muktar sengaja menjaga jarak karena ia tak siap untuk menjalin cinta dengan siapapun, mengingat keadaannya yang masih belum punya apa-apa.
Usai sholat Ashar, perut Muktar terasa sakit. Sebagaimana biasanya, ia bisa menahan rasa sakit itu, namun kini sakit itu terasa menusuk dan seluruh tubuhnya berkeringat dingin.
“Kang, ada apa? Kenapa wajah Akang pucat?“, kata Nurmala ketika melihat Muktar ke luar dari masjid. Muktar tak sanggup menjawab pertanyaan Nurmala. Karena pandangannya semakin kabur dan setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar, di hadapannya nampak Nurmala berwajah sedih. Ia menggerakan tangannya memegang pinggiran tempat tidur namun Nurmala menahannya. “Kang, jangan bergerak dulu. Akang sekarang di rumah sakit“, kata Nurmala menahan tangan Muktar yang hendak berdiri dari pembaringannya. “Sebentar Akang tunggu ya. Saya panggil suster“.
Suster datang ke ruangan. “Pak, Kami akan melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan penyakit Anda”, kata suster itu. Keesokannya dokter mengabarkan bahwa Muktar terkena penyakit hepatitis. Ini dibutuhkan perawatan yang intensif. Selama di rumah sakit, Nurmala selalu menjaganya. Sampai saatnya Muktar keluar dari rumah sakit.
“Sebaiknya Akang tinggal di rumah Nur aja ya“, kata Nurmala. Muktar sadar bahwa ia butuh perawatan jalan dan selama itu ia belum bisa terlalu banyak bergerak, apalagi jika harus berdagang di stasiun. Ingin rasanya Muktar menolak uluran tangan Nurmala namun pancaran wajah ikhas Nurmala membuat ia sulit menolak.
Rumah Nur yang merupakan peninggalan almarhum ayahnya tidak begitu besar, namun tersedia tiga kamar. Muktar menempati satu kamar di bagian belakang. Sejak itu, hari-hari Muktar diisi dengan istirahat dan sholat. Diapun mengkhusukan dirinya menghapal Al Quran. Selama di rumah, Nurmala sangat telaten menjaga makan Muktar. Pakaian Muktar selalu dicuci bersih. Namun sebegitu baiknya Nurmala, Muktar tidak pernah bersetatap dalam berbicara. Muktar selalu mengalihkan wajahnya bila Nurmala berbicara dengannya. Nurmala pun tidak pernah lepas dari hijab, walau ia berada di rumah. Semua lakunya dijaganya agar tidak terkesan menggoda.
Dalam keseharian Nurmala sangat santun kepadanya. Melayani semua kebutuhannya. Ketika malam datang, dia acap mendengar Nurmala merintih halus dalam doa setelah usai tahajudnya. “Ya Allah kirimkanlah kepadaku pria yang bisa menjadi imamku, untuk membimbingku mencintaiMu dengan berbakti kepadanya. Hindari aku dari perbuatan zina. Hindarkan aku dari fitnah dunia. Berilah kekuatan kepadaku ketika aku lemah. Berilah kebijakanku ketika aku lelah dan kecewa dengan hidup yang kadang tidak ramah terhadap aku yang miskin dan yatim ini“.
Dalam kesunyian malam di dalam kamar, di atas bale-bale, Muktar menatap dinding kamar, tapi pikirannya kepada Sofiah. Ia masih merindukan Sofiah. Walau ia dapat merasakan bahwa Nurmala mencintainya, namun Nurmala terlalu halus memperlakukannya. Mengapa Sofiah yang diharapkannya, yang datang justru wanita lain yang kini ada di dekatnya? Muktar kembali menarik nafas. Dua orang wanita yang hadir dalam hidupnya, telah membuat dirinya tergadai. Sofiah, cintanya yang tergadai tak bersatu. Dan Nurmala, dirinya tergadai karena kebaikan hati Nurmala. Sofiah wanita modern dan Nurmala wanita sederhana.
Setiap pagi Muktar ke luar kamar duduk di teras sampai Nurmala selesai membersihkan kamar dan kembali ke kamar setelah Nurmala ke luar rumah untuk berdagang di stasiun. Begitulah hari-harinya. Dan Nurmala tak berkurang ikhlasnya menolong Muktar. Begitu pula Ibu dan adiknya mendukung upaya Nurmala merawat Muktar. Walau keluarga Nurmala bukan berasal dari kalangan berada, dan Nurmala tidak pernah menamatkan SMU namun mereka kaya hati untuk berbuat dan berkorban untuk membantu Muktar.
Setelah keadaan kesehatan Muktar memungkinkanya untuk kembali kuliah dan berdagang di stasiun, Nurmala tetap menawarkan Muktar untuk tetap tinggal di rumahnya. Setidaknya sampai Muktar punya cukup uang untuk membayar kos. Lagi-lagi Muktar tak bisa menolak karena ia memang butuh bantuan ini. Apalagi tiga bulan lagi ia harus membayar uang kuliah.Tentu tidak mungkin ada uang berlebih untuk membayar biaya kos. Berapalah pendapatan sebagai pedagang kaki lima di stasiun.
Seperti biasa, setiap pagi Nurmala menyiapkan sarapan pagi untuk Muktar dan memasukkan makanan di rantang untuk bekal Muktar makan siang. Ketika pergi ke stasiun, Muktar tidak pernah duduk di angkot berdekatan dengan Nurmala dan tidak pula bicara banyak. Muktar sangat menjaga pandangan mata dan kata-katanya terhadap Nurnala. Ia ingin menjaga kesucian persahabatannya dan tanpa terkesan menggoda Nurmala. Dan lagi cintanya tetap pada Sofiah. Tak berubah.
***
Hampir Muktar tidak percaya ketika ia menatap sosok wanita yang tak pernah hilang dalam pikirannya. Sofiah. Benarkah itu Sofiah? Sofiah setengah berlari mendekatinya.
”Bang Tar?”, teriak Sofiah.
”Ya, ini Aku Sof. Bagamana kabar kamu?”, tanya Muktar penuh kerinduan.
”Kabarku baik, Bang. Dua bulan setelah kepulanganku ke tanah air, aku menetap di sini. Aku bekerja di sini, Bang. Abang gimana?”
”Aku masih kuliah. Tahun depan selesai”, kata Muktar. Dilihatnya Sofiah sempat melirik ke arah dagangannya “Inilah usahaku untuk menyambung hidupku dan kuliahku”, sambung Muktar. Kebetulan Nurmala datang mendekat membawa rantang makan siang Muktar. Ia agak ragu untuk memperkenalkan Nurmala. Tapi Nurmala cepat tersenyum ke arah Sofiah.
“Kamu sudah menikah?”, tanya Muktar
”Denny brengsek. Aku benci dia. Kami sudah putus sejak dua tahun lalu”, jawab Sofiah.
”Oh...”
Mereka sempat terdiam sesaat. ”Wanita ini?”, tanya Sofiah kemudian.
”Bukan siapa-siapa”, entah mengapa Muktar menjawab spontan seperti itu. Tidak disadarinya Nurmala ada di belakangnya. Nurmala pasti mendengar apa yang dikatakannya. Pikirnya. Tapi ia abaikan sambil tersenyum kepada Sofiah. Sofiah seperti kembali ketika masa SLA dulu. Nampak manja di hadapan Muktar. Dia merasakan menemukan kembali Sofiah yang sebenarnya.
”Ini kartu namaku. Telpon aku ya..”, kata Sofiah sambil tersenyum manja kepada Muktar. Mereka berdua tidak memperdulikan kehadiran Nurmala yang nampak diam seperti patung. Muktar pun tak ketinggalan pula memberikan nomor Hpnya.
”Sofiah tentu beruntung sekali”, kata Nurmala ketika mereka berada di dalam angkot menuju pulang sore hari.
”Apa maksud kamu ?”, tanya Muktar.
”Cantik, terdidik dan mempunyai jabatan bergengsi. Ia wanita terhormat“, jawab Nurmala.
“ Iya“, Muktar menjawab pendek, pikirannya masih kepada Sofiah.
Setelah pertemuan di stasiun, Sofiah dan Muktar terus melakukan hubungan intensif. Suatu saat Sofiah memberikan amplop warna pink kepada Muktar. “Terimalah amplop ini. Di dalamnya ada surat. Itu surat dengan prangko lima tahun lalu yang tak pernah sempat aku kirim namun tetap aku simpan. Surat itu untukmu..”, kata Sofiah.
Muktar membaca surat itu. Airmatanya berlinang
“Aku tidak pernah mencintai Danny. Tapi hanya karena inigin membahagiakan Ayah maka aku berusaha untuk mencintainya, tapi tidak pernah berhasil. Ia terlalu kasar kepadaku. Ia tidak pernah menghormatiku maupun orang tuaku karena ia beranggapan usaha ayahku berhasil berkat dukungan ayahnya sebagai pejabat. Akhinrya, hubungan kami berakhir setelah Danny menikah dengan wanita lain”.
Sofiah terdiam sebentar sambil membuka kaca mata minusnya dan mengusap air matanya.
”Akupun mencintaimu, Sof”, kata Muktar.
Sofiah nampak tersenyum dan tertunduk. Hati mereka berbunga. Hari itu merupakan hari terindah dalam hdup mereka. Lima tahun mereka terkungkung oleh ruang dan waktu, akhirnya bertemu untuk bersatu menuju mahligai rumah tangga.
”Sejak kelas 1 SLA, aku sudah tertarik denganmu. Kamu pria yang berhati mulia dan santun kepada orang tua. Kamu cerdas di sekolah. Walau orang tuamu miskin namun kamu selalu menjadi bintang sekolah. Apalagi ketika kamu tampil menjadi juara Tilawatil Quran. Sejak itu aku bermimpi mendapatkan kamu sebagai imamku. Doaku kini terkabulkan setelah melewati proses waktu yang panjang. Benarlah, kesabaran selalu membuahkan kemenangan dan kebahagiaan”, kata Sofiah yang membuat Mukhtar merasa tersanjung dan bahagia.
Mukhtar terasa melambung ke atas awan dengan taburan bunga cinta di kepalanya. Tapi, ia sempat miris bila memikirkan Nurmala. Apa yang harus dikatakannya kepada Sofiah tentang hubungannya dengan Nurmala. Lantas bagaiamana pula perasaan Nurmala yang selalu setia dan santun kepadanya dengan segala pengorbanan merawatnya dan menjaga aqidahnya dari perbuatan zina.
Di sisi lain, Muktar pun menyadari bahwa perjalanan waktu, telah menimbulkan benih-benih cinta di dalam hati Nurmala kepadanya. Walau tak pernah disambutnya. Nurmala selalu hadir dengan senyum tanpa terkesan menggodanya. Disadari oleh Mukhtar, walau wanita ini tidak membuat dia jatuh cinta namun tidak ada alasan baginya untuk menyakiti perasaan Nurmala.
***
Tujuh bulan setelah pertemuan dengan Sofiah, Mukhtar tetap menjalin cinta dengan Sofiah. Walau Nurmala mengetahui hubungan percintaanya dengan Sofiah tapi tidak pernah sekalipun ia mempermasalahkannya. Nampaknya Nurmala menyadari siapa dirinya. Akhirnya suatu malam ketika usai sholat Isya, Nurmala berkata kepada Muktar,
”Kang”, seru Nurmala. Muktar masih tetap di atas sajadahnya sambil berzikir. Ia agak terkejut ketika mendengar Nurmala memanggil namanya.
”Ada apa?”
”Aku ingin bicara. Apakah Akang berkenan mendengarnya?”, kata Nurmala sambil tetap menundukkan kepalanya. Dia tidak ingin berlama-lama bertatapan langsung dengan Muktar. Ini sesuai dengan tekadnya untuk menjaga hubungan mereka tidak terjebak dalam zina.
”Bicaralah. Aku siap mendengar”, kata Muktar.
”Sebulan lalu, Aku sempat bertemu langsung dengan Sofiah. Kami berbicara dari hati ke hati sebagai wanita. Akang begitu berharga bagi Sofiah. Ia sangat mencintai Akang. Aku pun tidak bisa berdusta dengan perasaanku kepada Akang, bahwa Aku sangat mencintai Akang dan berharap menjadi istri Akang. Aku ceritakan semua tentang hubungan kita dan juga kesucian Akang yang tak pernah menyentuhku”, urai Nurmala.
Muktar terkejut mendengar kejujuran Nurmala. Namun ia nampak kawatir dengan sikap Sofiah setelah mengetahui cerita Numala. Akankah Sofiah mempercayainya?
”Sofiah mempercayai semua kata-kataku, Kang. Karena ia kenal betul sifat Akang yang sangat sholeh dalam beragama”, kata Nurmala seakan menangkap kekawatiran Mukhtar.
”Aku tahu Akang akan menikah dalam waktu dekat ini. Jangan ragu Kang. Nikahilah Sofiah. Ia sangat pantas mendapatkan cinta Akang”, kata Nurmala tanpa ekspresi apapun. Namun kemudian nampak ia membalikkan tubuhnya untuk membelakangi Muktar. Nurmala menangis. Muktar hanya diam menyaksikan kegalauan perasaan Nurmala dengan kata-katanya sendiri.
”Akang tidak berhutang sesenpun terhadapku. Apapun yang aku lakukan selama ini semata mata ikhlas karena Allah. Benar aku berharap, tapi aku berharap kepada Allah, bukan kepada manusia. Itu sebabnya aku tidak merasa kecewa bila Akang menikah dengan Sofiah. Jangan ditunda niat baik Akang. Hidup Akang akan lebih teratur bersama Sofiah. Apalagi ia sudah punya rumah dan penghasilannya lebih dari cukup untuk mendukung Akang meraih cita-cita jadi sarjana. Kini, menikahlah dengan Sofiah dan doaku selalu untuk Akang...”, kata Nurmala dengan tenang sambil mengusap airmatanya yang berlinang.
”Besok Sofiah akan antar aku pindah ke tempat kosku”, kata Muktar tanpa berani menatap Nurmala.
” Ya Kang....”, jawab Nurmala lemah.
***
Keesokan paginya di hari Minggu yang cerah, Sofiah datang menjemput Muktar di rumah Nurmala. Dengan ramah Nurmala menyambut kedatangan Sofiah. Muktar ke luar dari kamar dengan tas koper pakaiannya. Ia mendapati Sofiah dan Nurmala sedang bicara layaknya sahabat dekat.
“Itu Kang Mukhtar sudah siap“, kata Nurmala kepada Sofiah. Ditanggapi Sofiah dengan senyum indah kepada Mukhtar.
“Apa sudah siap, Bang?”, kata Sofiah seraya berdiri dan melangkah mendekati Muktar yang nampak mematung di hadapan Nurmala dan Sofiah.
“Ya, sudah siap“, kata Mukhtar menundukkan wajah di hadapan Nurmala.
“Mari kita pergi ..”, kata Sofiah dan memagut lengan Muktar.
Nurmala menatap ke tempat lain melihat keceriaan Sofiah bersama Muktar. Kemudian ia mendekat kepada Muktar dan Sofiah
“Jaga kesehatan ya Kang“, kata Nurmala melirik kepada Sofiah.
“Tenang aja. Aku akan rawat Bang Muktar“, jawab Sofiah.
“Jaga dirimu baik-baik. Aku berdoa semoga kamu mendapatkan pria yang dapat menjadi imammu “, kata Muktar kepada Nurmala.” Terimakasih untuk segala-galanya“, lanjut Muktar menyalami Nurmala.
Nurmala menatap kepergian Muktar dan Sofiah. Ia baru masuk ke rumah setelah Sofiah dan Muktar menghilang di ujung gang rumahnya. Ketika masuk ke rumah, Nurmala berlari ke pangkuan ibunya. Ibunya dengan lembut membelai kepalanya. “Ikhlas ya Nak. Kalau kamu benar benar mencintai Tuhan maka kamu harus siap melepaskan sesuatu di saat kamu sangat membutuhkannya..”.
“Ya Bu…”, Nurmala terus memeluk ibunya dan saat itu ia sangat merindukan ayahnya.
***
Keesokan paginya, di hari Minggu yang cerah, Sofiah datang menjemput Muktar di rumah Nurmala. Dengan ramah, Nurmala menyambut kedatangan Sofiah. Muktar ke luar dari kamar dengan tas koper pakaiannya. Ia mendapati Sofiah dan Nurmala sedang berbicara layaknya sahabat dekat.
“Itu Kang Mukhtar sudah siap“ kata Nurmala kepada Sofiah. Ditanggapi kalimat itu oleh Sofiah dengan senyum indah kepada Mukhtar.
“Apa sudah siap, Bang?” tanya Sofiah seraya berdiri dan melangkah mendekati Muktar yang nampak mematung di hadapan Nurmala dan Sofiah.
“Ya sudah siap“, kata Mukhtar menundukkan wajah di hadapan Nurmala.
“Mari kita pergi ..”, kata Sofiah dan memagut lengan Muktar.
Nurmala menatap ke tempat lain demi melihat keceriaan Sofiah bersama Muktar. Kemudian ia mendekat kepada Muktar dan Sofiah.
“Jaga kesehatan ya Kang“, kata Nurmala melirik kepada Sofiah.
“Tenang aja. Aku akan merawat Bang Rahmat“, jawab Sofiah.
“Jaga dirimu baik-baik. Aku berdoa semoga kamu mendapatkan pria yang dapat menjadi imammu “, kata Muktar kepada Nurmala.” Terimakasih untuk segala-galanya“, lanjut Muktar menyalami Nurmala.
Nurmala menatap kepergian Muktar dan Sofiah. Ia baru masuk ke dalam rumah setelah Sofiah dan Muktar menghilang di ujung gang rumahnya. Ketika masuk ke rumah, Nurmala berlari ke pangkuan ibunya. Ibunya dengan lembut membelai kepalanya. “Ikhlas ya Nak. Kalau kamu benar benar mencintai Tuhan, maka kamu harus siap melepaskan sesuatu di saat kamu sangat membutuhkannya..”.
“Ya Bu…”, Nurmala terus memeluk ibunya dan saat itu ia merasa sangat merindukan ayahnya.
***
Ketika malam datang, seusai berbicara melalui telepon dengan Sofiah, Muktar berwudhu untuk melaksanakan sholat Isya. Dua orang pria perkasa dengan berotot kawat datang menghampirinya. Pria itu membawanya ke suatu istana yang megah, namun istana itu tidak beratap. Dari atas istana tak beratap itu, seberkas cahaya yang sangat panas menerobos masuk sehingga membuat kulit Muktar hampir terbakar dan memerah.
”Siapa pemilik istana ini?”, tanya Mukhtar kepada dua orang pria perkasa itu.
”Ini adalah milikmu, sebagai ganjaran dari Allah atas segala amal kebaikanmu. Terutama karena kamu selalu menjaga sholatmu dan dapat menghindar dari perbuatan zina.” kata salah seorang dari kedua pria kekar itu.
”Tapi mengapa istana ini tidak beratap? Bagaimana aku dapat tinggal nyaman bila sinar matahari menerobos ke dalam istana dengan panas menyengat?” kata muktar
”Tadinya, istana ini beratap kokoh. Atapnya hilang karena kesombongan kamu dalam beribadah. Kamu begitu teguh menjaga aqidah tapi kamu melupakan kasih sayang kepada manusia. Kamu abaikan semua keikhlasan wanita yang telah memberikanmu tempat berlindung, melayanimu, memberimu makan dan merawatmu ketika sakit, hanya karena kamu lebih mengedepankan hawa nafsumu kepada wanita lain.
Ditambah lagi, kamu tidak pernah berterima kasih kepada semua kebaikan wanita itu, bahkan kamu tetap merasa pantas menerima kebaikannya dan membalasnya hanya dengan ucapan doa dan zikir. Ketahuilah bahwa karena kamu tidak berterima kasih kepada manusia, maka kamu termasuk golongan orang yang tidak bersyukur kepada Allah. Kamu sombong dalam beramal. Kamu bangga dengan ibadahmu, sehingga kamu lupa hakikat Islam tentang keikhlasan memberi dan berkorban karenanya. Padahal setiap kamu melihat wanita itu sholat dan tahajud, sebetulnya Allah sedang berdialog denganmu. Tapi kamu menulikan telingamu, membutakan hatimu, sehingga kamu lupa berterima kasih. Orang yang tidak pandai berterima kasih adalah orang yang paling merugi di ahirat kelak, karena amal ibadahnya berterbangan dan menyiksanya dalam sesal tak berujung” ungkap pria perkasa satunya lagi itu.
”Ooohhhh....”, kerongkongan Muktar terasa panas dan tersekat. Ia berusaha memegang kerongkonganya untuk menghilangkan rasa panas yang dideritanya itu. Ia berusaha berteriak keras. ”Aahhhhh”, akhirnya Muktar terjaga dari tidurnya. Muktar baru menyadari bahwa ia tertidur pulas dalam keadaan bersila di atas sajadahnya.
***
Pesan edisi khusus ( tanda tangan penulis) dapat hubungi Irfan atau Telp +62 811 331924. Saat sekarang dapat di peroleh di toko buku Gramedia di kota anda..