Minggu lalu saya datang ke Medan.
Saya bertemu dengan bekas mentor bisnis saya.
Sudah lama tidak bertemu. Terakhir saya bersama dengan dia tahun 1996.
Kami berpisah karena dia memutuskan untuk mundur sebagai businessman. Usahanya di serahkan kepada professional dan
dia hanya berindak sebagai presiden komisaris. Belakangan putranya berhasil
menempati posisi sebagai Presiden direktur. Posisi yang di capai oleh putranya
itu tidak dengan mudah. Karena harus melalui
proses berkompetisi dengan professional lainnya. Dia mendidik putranya tidak
dibawah bayang bayang dirinya tapi
memang memberikan kebebasan putranya untuk berkembang. Harta tidak membuat
keluarganya mabuk tapi menyadarkan keluarganya bahwa harta itu adalah berkah
yang harus mereka syukuri dengan menjaganya agar menjadi sarana berbagi untuk
ribuan karyawan dan mitra.
Saya tidak akan membahas tentang
putranya tapi saya ingin membahas tentang dia. Setelah pension sebagai
businessman , dia kembali ke daerah dimana dia pernah di lahirkan. Dia kembali
ke desa dimana dia merasa pulang kepada ke sejatiannya. Setelah sekian jauh
jalan di tempuh , tergiring arus besar dan di lamun ombak sehingga mengantarkan
dia ke segala penjuru dunia mencari rezeki Allah. KIni dia menemukan keramahan
atas dasar ketulusan. Sangat berbeda dengan kehidupan dia yang sebelumnya
dimana segala sesuatu harus pamrih dan memastikan harus berujung ada uang yang
di dapat. Di desa dia menemukan orang hidup dengan cara sederhana. Bukan mereka
tidak butuh kekayaan dan malas bekerja keras. Tapi memang mereka tidak
menjadikan hidupnya habis untuk memikirkan uang dan kehormatan. Sikap hidup
seperti ini tidak salah namun tidak juga seratus benar. Hidup adalah bergerak
dan berubah karena waktu. Menerima pasrah atas kehidupan tidak sesuai dengan
fitrah manusia dan sunatullah.
Karenanya dengan pengalaman dan
pengetahuan yang dia punya, dia ingin berbuat sesuatu terhadap penduduk desa. Setiap hari ada saja orang kampong datang ke
rumahnya untuk bersilahturahmi. Setiap waktu pula dia tidak lupa memotivasi mereka agar berbuat sesuatu yang
bisa memakmurkan mereka. Tidak elok membiarkan waktu dan potensi hilang begitu
saja. Agama memang mengajarkan kita tidak perlu mengejar harta tapi Tuhan tidak
pernah mengirim makanan ke sarang burung.
Kemakmuran harus di perjuangkan seperti burung yang terbang melintasi
pulau menghadang musim untuk mendapatkan makan. Kepala desa mengumpulkan orang kampong
untuk mendengar pencerahan dari dia. Semakin hari semakin banyak orang di
sadarkan bahwa kesempatan selalu ada dan kemakmuran itu bukan hal yang tak
mungkin asalkan ada kemauan untuk berubah.
Berawal dari usaha peternakan
sapi dengan memanfaatkan kebun sawit yang dimilikinya dan kemudian dari rumput
yang ada dari kebun sawit di samping untuk pakan ternak juga di ekspor ke Australia.
Sampah pelepah pohon sawit dan cangkang sawit di olah jadi pallet untuk bahan
bakar listrik yang juga di ekspor ke China. Semua di kerjakan secara gotong
royong oleh penduduk desa. Bukan hanya satu desa tapi beberapa desa yang ada di
sekitar perkebunan sawit ikut bergabung.
Berawal dengan niat baik untuk memperdayakan orang lain akhirnya berimbas positip
terhadap dirinya sendiri. Ketika harga sawit jatuh yang membuat bisnis tidak
feasible untuk di kelola, justru usaha sosialnya memberikan manfaat bagi warga
desa dan ini juga di manfaatkan oleh buruh sawit, tentu memberikan pemasukan
bagi perusahaan. Pemasukan itu bahkan lebih besar dari hasil kebun sawit
sebelumnya. Di kala krisis datang , kebersamaan dan gotong royong mampu menyelesaikan masalah keseharian tanpa harus meratapi keadaan. Semua karena pemahaman agama dan budaya tidak hanya sampai sebatas retorika tapi mampu diterjemahkan dalam bentuk perbuatan nyata sebagai sebuah spiritual sosial yang memberikan harapan bagi semua.
Menurutnya hidup ini memang harus
terus bergerak. Ketika saya pension orientasi saya bukan lagi uang tapi social.
Tapi kegiatan social yang didukung oleh pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni
bisa berguna bagi orang lain dan tentu akan membuat kita tidak pernah sendirian.
Akan selalu merasa di perlukan. Inilah yang membuat hidup kita penuh energi dan cahaya. Menjadikan
usia sebagai berkah Tuhan untuk berbuat dan berbagi. Karena pada akhirnya hidup
bukanlah apa yang kita dapat tapi apa yang kita beri. Bukan apa yang kita
pelajari tapi apa yang kita ajarkan.
Bukan apa yang kita ketahui tapi apa yang kita beri tahu. Dari sisa
usianya yang semakin menua dia berhasil membuat hidupnya lebih berarti. Masyarakat
dan perusahaan sama sama mendapaktan kemakmuran, yang pada gilirannya Negara akan
mendapatkan pajak untuk mendukung program social pemerintah membuat negeri ini
bergerak kedepan kearah sebuah harapan yang lebih baik…
No comments:
Post a Comment